Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Masih Miskin Iklan Via Radio

Siaran iklan di radio swasta niaga yang dibatasi 25% tak satupun pernah bisa mencapainya. biro iklan menganggap kurang tepat untuk melancarkan kampanye. setelah april diduga akan ada limpahan dari tvri.

14 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERIODE sulit memperoleh iklan sudah dilewati Prambors Rasisonia, radio siaran swasta niaga di Jakarta. Dengan semboyan mumpung masih muda, harus gesit, kreatif dan jujur, stasiun radio itu mengantungi sekitar Rp, 7 juta setiap bulan dari siaran iklannya. Pendapatannya niscaya akan bertambah bila pemerintah sungguh-sungguh mengapuskan iklan di TVRI mulai 1 April. Sejak Dewan Pers (1 Maret 1980) membatasi koran dengan iklan (30%) dan halaman (maksimum 12 halaman), penghasilannya jelas menanjak. Tapi hasrat radio menyedot dan mengelola iklan, tanpa mengganggu program siaran, tetap tidak mudah mewujudkanya. Sebab tarif iklan radio cukup murah (Rp 20-50/detik), sedang pengiklan menggap radio hanya sebagai media pelengkap -- bukan media cuma untuk melancarkan kampanye. Pengiklan dan biro iklan tetap memandang media cetak (koran dan majalah) dan TVRI sebagai media utama untuk meluncurkan suatu produk baru. Anggapan demikian masih tampil ketika sejumlah tokoh dan manajer biro iklan mengutarakan pendapatnya dalam suatu diskusi (31 Januari) di Hotel Sahid Jaya, Jakarta. Media radio dianggap masih gelap buat sejumlah biro iklan utama di Jakarta. Hanya Diteriakkan Nuradi, Managing Director Inter Vista, misalnya, menyebut bahwa kebanyakan radio swasta niaga tidak memiliki data tentang usia, golongan dan jumlah pendengarnya. Memang ada hasil penelitian suatu biro riset Jakarta, tapi itu dinilainya masih bersifat terlalu umum dan kurang terperinci. Akibatnya, "kami tidak tahu secara persis mana radio yang paling baik," kata Nuradi. Umumnya, biro iklan juga cenderung menyebut radio tidak mampu memaparkan secara visual suatu produk yang diiklankan. Mobil, misalnya, hanya bisa diteriakkan merk dan keunggulannya. Biro iklan Indo Ad hanya memakai radio sebagai media reminder (pengingat) buat mengiklankan suatu produk yang sudah mapan. Billing Indo Ad ke radio tahun lalu hanya 15% dari keseluruhan Rp 5 milyar. Sedang Inter Vista sekitar 20% dari Rp 6,7 milyar. Menurut catatan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P31), pengeluaran anggaran iklan seluruh Indonesia untuk radio, tahun 1979, hanya sekitar 8% dari total Rp 105 milyar. Sedang di Hong Kong pada tahun yang sama, billing seluruh biro iklan masuk ke radio cuma 2% dari HK$ 552 juta (Rp 68,5 milyar). Fakta tersebut menunjukkan biro iklan Indonesia masih memperhitungkan peranan radio -- sekalipun bukan merupakan media utama. Mengapa? Mungkin karena tarifnya cukup murah di El Shinta (Jakarta) Rp 50/detik, dibanding di radio WGN (Chicago, AS) Rp 6.300/detik. "Tarif murah itu pun masih sering ditawar biro iklan," kata Wahyu Adhitama, Direktur El Shinta. Walau tarifnya sudah murah, sejumlah radio ternyata tidak memiliki banyak siaran iklan. Dari sekitar 18 jam siaran -- sejak pukul 06.00 -- mereka punya waktu siaran iklan 2-3 jam saja rata-rata, Masih miskin sekali siaran iklan itu. Siaran iklan radio swasta niaga tidak diperbolehkan melampaui batas 25% dari seluruh jam siarannya. Menurut Adhitama yang juga Ketua I Persatuan Radio Siaran Swasta Niaga Indonesia (PRSSNI), belum ada satu pun radio anggota PRSSNI mampu mencapai batas 25% itu -- tidak terkecuali El Shinta. Tapi dengan rencana penghapusan iklan di TVRI, ia berharap iklan akan melimpah ke 386 radio anggota PRSSNI. Namun tidak seluruh radio swasta niaga mengharapkan banyak iklan. Seperti PT Radio Geronimo (Yogyakarta), Kayumanis, P2SC dan Prambors (Jakarta). Bahkan keempatnya mengungkapkan mereka saat ini "tidak berani" mengudarakan iklan melebihi 20% waktu siaran. Bila nekat melampaui batas tadi, menurut keempatnya, pendengar akan protes. "Mereka akan teriak-teriak karena merasa waktunya tercuri," ujar Amir H. Nasution, Manajer Penjualan Prambors. "Pendengar akan beralih ke radio lain," tambah Kustianto, Direktur PT Radio Kayumanis. Dari RRI Stasiun Surabaya, iklannya mengudara hanya sekitar 3% dari 20 jam siaran. Padahal RRI diperbolehkan sampai 10%. "Kami memang tidak mencari iklan, kolportir pun kami tidak punya. Iklan itu datang dari Jakarta," kata Djamalul, Kepala RRI Surabaya. Penghasilan iklannya, seperti di stasiun RRI lainnya harus disetor ke Kantor Kas Negara. Radio swasta niaga tentu suka menonjolkan jumlah pendengar (rating) jika bisa. Tapi itulah yang sukar diketahui di Indonesia masa kini. Semakin tinggi rating suatu stasiun dan siarannya -- apalagi bila diketahui usia dan kelompok pendengarnya -- semakin kuat pula posisinya untuk memperoleh iklan. Sebagian kecil di antara mereka berusaha menyeleksi materi iklan. Terutama PT Radio Merdeka Lokatama (Surabaya) dan El Shinta menolak materi iklan yang ditujukan ke kelas masyarakat bawah. Harap maklum, program kedua stasiun itu ditujukan ke kelas menengah ke atas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus