PERIODE sulit memperoleh iklan sudah dilewati Prambors
Rasisonia, radio siaran swasta niaga di Jakarta. Dengan semboyan
mumpung masih muda, harus gesit, kreatif dan jujur, stasiun
radio itu mengantungi sekitar Rp, 7 juta setiap bulan dari
siaran iklannya. Pendapatannya niscaya akan bertambah bila
pemerintah sungguh-sungguh mengapuskan iklan di TVRI mulai 1
April.
Sejak Dewan Pers (1 Maret 1980) membatasi koran dengan iklan
(30%) dan halaman (maksimum 12 halaman), penghasilannya jelas
menanjak. Tapi hasrat radio menyedot dan mengelola iklan, tanpa
mengganggu program siaran, tetap tidak mudah mewujudkanya. Sebab
tarif iklan radio cukup murah (Rp 20-50/detik), sedang
pengiklan menggap radio hanya sebagai media pelengkap -- bukan
media cuma untuk melancarkan kampanye.
Pengiklan dan biro iklan tetap memandang media cetak (koran dan
majalah) dan TVRI sebagai media utama untuk meluncurkan suatu
produk baru. Anggapan demikian masih tampil ketika sejumlah
tokoh dan manajer biro iklan mengutarakan pendapatnya dalam
suatu diskusi (31 Januari) di Hotel Sahid Jaya, Jakarta. Media
radio dianggap masih gelap buat sejumlah biro iklan utama di
Jakarta.
Hanya Diteriakkan
Nuradi, Managing Director Inter Vista, misalnya, menyebut bahwa
kebanyakan radio swasta niaga tidak memiliki data tentang usia,
golongan dan jumlah pendengarnya. Memang ada hasil penelitian
suatu biro riset Jakarta, tapi itu dinilainya masih bersifat
terlalu umum dan kurang terperinci. Akibatnya, "kami tidak tahu
secara persis mana radio yang paling baik," kata Nuradi.
Umumnya, biro iklan juga cenderung menyebut radio tidak mampu
memaparkan secara visual suatu produk yang diiklankan. Mobil,
misalnya, hanya bisa diteriakkan merk dan keunggulannya.
Biro iklan Indo Ad hanya memakai radio sebagai media reminder
(pengingat) buat mengiklankan suatu produk yang sudah mapan.
Billing Indo Ad ke radio tahun lalu hanya 15% dari keseluruhan
Rp 5 milyar. Sedang Inter Vista sekitar 20% dari Rp 6,7 milyar.
Menurut catatan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P31),
pengeluaran anggaran iklan seluruh Indonesia untuk radio, tahun
1979, hanya sekitar 8% dari total Rp 105 milyar. Sedang di Hong
Kong pada tahun yang sama, billing seluruh biro iklan masuk ke
radio cuma 2% dari HK$ 552 juta (Rp 68,5 milyar).
Fakta tersebut menunjukkan biro iklan Indonesia masih
memperhitungkan peranan radio -- sekalipun bukan merupakan
media utama. Mengapa? Mungkin karena tarifnya cukup murah di El
Shinta (Jakarta) Rp 50/detik, dibanding di radio WGN (Chicago,
AS) Rp 6.300/detik. "Tarif murah itu pun masih sering ditawar
biro iklan," kata Wahyu Adhitama, Direktur El Shinta.
Walau tarifnya sudah murah, sejumlah radio ternyata tidak
memiliki banyak siaran iklan. Dari sekitar 18 jam siaran --
sejak pukul 06.00 -- mereka punya waktu siaran iklan 2-3 jam
saja rata-rata, Masih miskin sekali siaran iklan itu.
Siaran iklan radio swasta niaga tidak diperbolehkan melampaui
batas 25% dari seluruh jam siarannya. Menurut Adhitama yang juga
Ketua I Persatuan Radio Siaran Swasta Niaga Indonesia (PRSSNI),
belum ada satu pun radio anggota PRSSNI mampu mencapai batas 25%
itu -- tidak terkecuali El Shinta. Tapi dengan rencana
penghapusan iklan di TVRI, ia berharap iklan akan melimpah ke
386 radio anggota PRSSNI.
Namun tidak seluruh radio swasta niaga mengharapkan banyak
iklan. Seperti PT Radio Geronimo (Yogyakarta), Kayumanis, P2SC
dan Prambors (Jakarta). Bahkan keempatnya mengungkapkan mereka
saat ini "tidak berani" mengudarakan iklan melebihi 20% waktu
siaran. Bila nekat melampaui batas tadi, menurut keempatnya,
pendengar akan protes. "Mereka akan teriak-teriak karena merasa
waktunya tercuri," ujar Amir H. Nasution, Manajer Penjualan
Prambors. "Pendengar akan beralih ke radio lain," tambah
Kustianto, Direktur PT Radio Kayumanis.
Dari RRI Stasiun Surabaya, iklannya mengudara hanya sekitar 3%
dari 20 jam siaran. Padahal RRI diperbolehkan sampai 10%. "Kami
memang tidak mencari iklan, kolportir pun kami tidak punya.
Iklan itu datang dari Jakarta," kata Djamalul, Kepala RRI
Surabaya. Penghasilan iklannya, seperti di stasiun RRI
lainnya harus disetor ke Kantor Kas Negara.
Radio swasta niaga tentu suka menonjolkan jumlah pendengar
(rating) jika bisa. Tapi itulah yang sukar diketahui di
Indonesia masa kini. Semakin tinggi rating suatu stasiun dan
siarannya -- apalagi bila diketahui usia dan kelompok
pendengarnya -- semakin kuat pula posisinya untuk memperoleh
iklan.
Sebagian kecil di antara mereka berusaha menyeleksi materi
iklan. Terutama PT Radio Merdeka Lokatama (Surabaya) dan El
Shinta menolak materi iklan yang ditujukan ke kelas masyarakat
bawah. Harap maklum, program kedua stasiun itu ditujukan ke
kelas menengah ke atas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini