GUBERNUR Tjokropranolo mempunyai pandangan sendiri tentang dua
wadah kesenian di wilayahnya: Taman Ismail Marzuki dan Pasar
Seni Taman Impian Jaya Ancol. Berikut petikan wawancaranya
dengan TEMPO, sore hari di kantornya akhir Januari lalu.
Ancol itu lebih mudah dinikmati. Mau lihat apa saja, ada. Ada
keramik, ada teater, ada ngamen-ngamen, ada wayang kulit.
Masuk ke Pasar Seni Ancol itu, bagaimana ya, di sana itu kita
merasa hidup di tengah seniman. Di situ kita melihat kehidupan
seniman, kita merasa seakan-akan hidup seperti mereka. Jadi di
Ancol itu kita tidak sekedar menonton pertunjukan.
Semua itu tidak ditemukan di TIM. TIM tidak dinikmati masyarakat
luas.
Cara memperbaiki TIM? Wah, TIM itu independen, saya tidak ikut
campur. Tapi masalahnya manajemen. Manajemen itu meliputi
semuanya. Ya, publikasinya, ya dekorasi tempatnya, sampai
masalah tempat parkirnya.
Tapi saya tak bilang TIM itu tidak berhasil, lho. Beberapa
kesenian, saya kira kalau tidak dibina mereka tidak akan
menonjol. Contohnya, lenong. Kemudian banyak lagi. Juga seperti
pertunjukan musik dari luar negeri. Tapi sekali lagi, itu semua
bisa lebih berhasil kalau manajemennya lebih bisa ditangani.
Jadi TIM harus jadi pusat seni budaya. Harus mencari sudut yang
bisa memajukan kesenian Indonesia. Tapi juga harus
diperhitungkan daya tariknya kepada masyarakat, karena mereka
hidup dari subsidi. Daya tarik ini yang selalu kurang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini