Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepekaan hati selayaknya terus diasah. Caranya, rajin-rajin menyambangi tetangga sekeliling. Itulah yang dilakukan Ken Zuraida, istri dramawan terkenal W.S. Rendra. Dia mendatangi rumah di kampung-kampung di sekitar markas Bengkel Teater Rendra, Desa Cipayung Jaya, Depok, Jawa Barat. "Saya jumpai banyak kesedihan di sini," katanya.
Adalah tuberkulosis (TB) sumber kesedihan itu. Ken menghitung, dari 24 ribu penduduk Desa Cipayung Jaya, setidaknya ada 200 warga yang mengidap TB. Kebanyakan dari mereka sedang berada pada usia produktif, 20-40 tahun, dengan penghasilan pas-pasan. Sepanjang tahun lalu, telah 14 penduduk Cipayung Jaya meninggal gara-gara TB.
Tuberkulosis memang bukan cerita baru. Inilah penyakit pembunuh manusia nomor tiga—setelah penyakit sistem sirkulasi dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam peringatan Hari TB Sedunia, 24 Maret lalu, lebih dari setengah juta warga Indonesia terkena tuberkulosis. Di negeri ini pula TB mencabut 140 ribu nyawa setiap tahun atau satu nyawa setiap empat menit. "Prestasi" Indonesia ini hanya dikalahkan India (1,8 juta penderita) dan Cina (1,5 juta penderita).
Ken Zuraida pun bukan orang baru dalam soal TB. Sejak tujuh tahun silam, perempuan separuh baya ini digempur rasa gelisah setiap kali bertemu dengan orang yang tubuhnya gering dimakan bakteri TB (Mycobacterium tuberculosis)—kegelisahan yang membuat ibu dua anak ini bertindak. Dia aktif mengantarkan tetangga yang kena TB berobat ke rumah sakit dan juga membantu mereka menebus obat. Semuanya dengan uang dari kocek sendiri.
Beberapa kawan, para seniman yang aktif di Bengkel Teater, turut mengulurkan tangan. "Setiap hari kami berkeliling, ngingetin para penderita TB untuk minum obat," kata Ken. Sampai kini, memang belum ada obat jitu untuk TB. Terapi yang diterapkan bersandar pada prinsip directly observed treatment short-course (DOTS), yang menuntut penderita minum obat secara teratur selama 6 bulan. Jika si penderita sering absen minum obat, koloni bakteri TB tetap akan tumbuh dan setiap saat bisa meledak merontokkan tubuhnya.
Tidak cuma mengantarkan pasien berobat, bersama kru Bengkel Teater, Ken berkeliling ke 45 SLTP di Jakarta, menyebarkan informasi tentang TB. "Kami pentaskan wayang di kelas-kelas," kata Ken. Adegan TB yang dibawakan kru wayang Ken cukup atraktif—apalagi dibandingkan dengan penerangan resmi petugas kesehatan.
Lama-kelamaan, Ken dan Rendra merasa perlu lebih serius memerangi TB. "Agar pertolongan lebih intensif dan menjangkau banyak orang," kata Rendra, yang mendampingi sang istri. Mereka menyulap bekas ruang rias Bengkel Teater menjadi semacam poliklinik bernama "Rumah Penanggulangan TB". Ongkos operasional rumah ini didapatkan dari para dermawan.
Rumah TB ini sederhana saja. Hanya ada kursi, meja, dan wastafel di ruangan berukuran 10 x 8 meter persegi itu. Nantinya akan ada mikroskop untuk mendeteksi kuman TB di dalam dahak. "Di sini juga ada dokter, sehingga para pasien bisa berobat," kata Ken.
Menteri Kesehatan Achmad Sujudi memuji Ken dan Rendra. "Sebaiknya memang harus ada rumah semacam ini yang dikelola masyarakat," kata Menteri Sujudi, yang hadir dalam acara peresmian Rumah Penanggulangan TB, dua pekan lalu.
Perang melawan TB, Sujudi menekankan, hanya efektif jika masyarakat ikut terlibat. Apalagi bila diingat bahwa satu penderita TB, melalui percikan dahak saat batuk (droplet nuclei), bisa menularkan kuman tuberkulosis kepada 10-15 orang lain. Dengan penularan yang begitu agresif, langkah membendung laju TB juga mesti digelar ekstraserius. Hanya dengan itu, rantai penularan bisa diputus.
Mardiyah Chamim, Sita Planasari (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo