Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sindrom bebek (duck syndrome) istilah ini digunakan untuk menggambarkan orang yang ingin terlihat memiliki semuanya. Perumpamaan itu seperti bebek yang tampak tenang di permukaan air, tapi kakinya mendayung. Merujuk Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders tanda dan gejalanya bervariasi, namun beberapa orang yang mengalami duck syndrome, biasanya berciri membandingkan diri dengan orang lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengutip Psych Central istilah duck syndrome pertama kali digunakan di Universitas Stanford. Penyebutan itu digunakan di kalangan mahasiswa. Tapi, bukan berarti duck syndrome hanya terbatas mahasiswa. Orang yang duck syndrome cenderung merasa enggan diawasi dan dikritik.
Agar duck syndrome tak berkepanjangan
Duck syndrome bisa saja makin serius kondisinya jika memunculkan depresi dan gangguan kecemasan, karena reaksi stres. Risiko kondisi duck syndrome perlu dipertimbangkan sebagai jika terkait depresi dan kecemasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Orang dengan kondisi duck syndrome biasanya memiliki sejumlah pengaruh secara biologis, psikologis, dan lingkungan. Secara biologis, depresi dan kecemasan, karena itu mungkin duck syndrome bisa dikaitkan dengan tingkat neurotransmiter yang tidak normal di otak.
Perlu pula memahami kecenderungan yang menandakan sindrom ini. Penyebab kekinian duck syndrome termasuk tekanan yang dipengaruhi media sosial untuk tampak mencapai kesempurnaan terlepas dari semua tekanannya. Faktor risiko duck syndrome diperkirakan mencakup banyak aspek dari pengalaman kuliah, termasuk tinggal jauh dari keluarga untuk pertama kalinya. Peningkatan yang signifikan dalam tuntutan akademik dibandingkan saat sekolah menengah dan tekanan sosial terkait kuliah.
Merujuk publikasi ilmiah A Study of Loneliness and Academic Anxiety Among College Students, psikoterapi berguna untuk membimbing atau perawatan orang yang mengalami duck syndrome. Terapi yang tepat bermanfaat untuk membantu pemulihan.
Orang tidak perlu berpura-pura seperti semuanya baik-baik saja, padahal sebenarnya tidak. Itu sebabnya membutuhkan dukungan pihak dari luar dirinya, misalnya bimbingan atau konseling di kampus jika tersedia fasilitas itu.
Adapun beberapa kiat merawat diri untuk mencegah atau mengatasi sindrom ini, yaitu melatih perhatian, menetapkan batas kemampuan, mempelajari keterampilan manajemen waktu, berbicara dengan orang yang dicintai, belajar menetapkan tujuan secara bijak.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.