DI depan loket itu berkerumun puluhan orang. Semua tampak
gelisah, tak sabar. Tapi semua juga menunjukkan wajah suram,
bahkan beberapa orang wanita memperlihatkan sorot mata yang
cemas.
Meskipun hampir terjadi setiap hari, pemandangan serupa itu
selalu menggetarkan hati laki-laki yang duduk di belakang loket.
Ia sadar sedang berhadapan dengan orang-orang yang dirundung
kesusahan. Karena itu tanpa berlarut-larut menurutkan
perasaannya, dengan sigap ia membenahi alat-alat kerjanya.
Begitu papan penutup loket ia buka, dari luar sana terdengar
suara lirih wanita. "Kiriman uang belum datang, pak," ucap
wanita itu.
Dan si wanita segera mencopot cincin dari jari manis tangan
kirinya. Suharto, juru taksir di Perusahaan Jawatan Pegadaian
cabang Kartosuro, Surakarta itu, hanya mengangguk lemah sambil
menerima cincin tadi. Sesaat ia meneliti perhiasan itu,
menimbangnya, menyelidik kadar karatnya--dan kemudian melihat
buku "Tabel Taksiran". "Cincin ini saya beri nilai pinjaman Rp
49.000," kata Suharto sambil menghela napas.
Wanita itu, istri seorang anggota ABRI yang sedang bertugas di
Jawa Timur, menampakkan wajah kurang puas. "Anak saya sedang
sakit, pak," katanya Tapi ia mengurungkan niatnya meminta
penilaian lebih tinggi lagi. Ia mengangguk. "Untung ibu datang
cepat, satu jam lagi uang di sini habis," kata Suharto sambil
menyerahkan uang.
Premi
Para penggadai di pegadaian Kartosuro umumnya terdiri dari
petani, pedagang kecil dan buruh. Mereka akan berduyun-duyun
meminjam uang terutama pada awal tahun ajaran untuk membayar
uang masuk sekolah si anak, dan menjelang musim tanam untuk
membeli pupuk. Lebih-lebih di saat panen gagal. Sebaliknya, para
penggadai akan beramai-ramai menebus barang kembali sesaat
setelah musim panen berhasil baik.
Menurut Suharto, cukup menyedihkan bila musim packelik tiba dan
petani beramai-ramai menggadaikan apa saja milik mereka asal
dapat menghasilkan uang "Tapi sering justru di saat itu dropmg
uang dari Jawatan Pegadaian Pusat belum datang," tutur Suharto,
"sehingga dengan sedih terpaksa barangbarang mereka kami tolak."
Namun, tambah laki-laki kelahiran Jatinom, Klaten itu, saat
menganggur karena belum ada droping uang, taklah menyenangkan.
"Sebab jika rumah gadai ini sepi, itu artinya kami akan mendapat
premi sedikit," katanya. Ia tak menjelaskan berapa besar premi
itu.
Suharto, 40 tahun, yang telah 20 tahun bertugas di pegadaian
itu, mengaku pada tahun-tahun permulaan dia bekerja di sana
adalah saat-saat suram bagi kehidupan rumah gadai--dan tentu
juga bagi karyawan-karyawannya. Gaji serba tak cukup, tanpa
fasilitas apa pun dan droping uang tak lancar. Karena itu, tutur
laki-laki berijazah SMP itu, suatu saat ia pernah menaksir
giwang istrinya untuk digadaikan. "Saya timbang, saya taksir dan
saya sendiri yang mengeluarkan uangnya," ia berkisah dengan
getir.
Tapi dengan status pegawai negeri golongan II-B sekarang, ia
merasa hidup berkecukupan untuk membesarkan ketiga anaknya.
Lebih dari itu ia selalu merasa senang, karena sering menolong
warga masyarakat yang kurang mampu. Terutama karena
tetangga-tetangganya disebuah desa tempat tinggalnya, tak jauh
dari Kartosuro, sering membawa barang yang akan digadaikan ke
rumahnya. Suharto pun membawanya ke kantor, menaksirnya, dan
uangnya ia bawa pulang untuk diserahkan kepada tetangga itu.
"Rumah saya seperti kantor cabang pegadaian" katanya setengah
bangga, "tapi itu sulit dihindari--maklum hidup di desa."
Dikenal sebagai pegawai rumah gadai oleh penduduk desa-desa
sekitar Kartosuro, Suharto dan teman-teman sekerjanya juga
sering berkeliling. Terutama di saat-saat menjelang lelang,
untuk menghubungi para pemilik barang. "Saya dan kawan-kawan
keliling pelosok, memberi tahu pada nasabah bahwa jika barang
mereka tak ditebus sampai tanggal sekian, akan dilelang," ungkap
Suharto. Tapi dalam kesempatan itu juga para pedagang barang
rombengan mereka datangi: agar ikut dalam lelang. Dengan bunga
4% sebulan, satu barang yang digadaikan akan dilelang jika telah
lewat waktu 6 bulan.
Rumah gadai di Sibolga, Sumatera Utara, selalu ramai dikunjungi
para penggadai di musim terang bulan. Jika diingat bahwa Sibolga
adalah kota nelayan, hal itu mudah dipahami. Sebab masa paceklik
para nelayan, nasabah utatna rumah gadai di sana, adalah tatkala
laut terang benderang oleh cahaya bulan dan ikan-ikan tak sudi
menampakkan diri. Dan dengan mudah pula ditandai, bila malam
telah gelap gulita, keesokannya para penggadai pun berebut
menebus barang mereka kembali.
Bangunan rumah gadai Sibolga yang dibuat Belanda tahun 1927 itu
tidak besar. Mungkin karena itu pegawainya hanya tiga orang.
"Termasuk saya," ungkap Kepala Cabang awatan Pegadaian Sibolga,
Marjohan Daulay, "padahal pekerjaan menumpuk sehingga sering
lembur." Akibatnya, tambah Daulay, "saya sering disindir
Walikota Sibolga karena jarang ikut rapat atau menyertai
kegiatan pemerintahan di kota ini." Tapi ayah sembilan orang
anak itu tak menyesal. Sebab kalau saya meninggalkan kantor
sebentar saja, sekian banyak nasabah akan kecewa.
Tapi akibat yang lain adalah rumah gadai itu cepat sesak oleh
barang-barang gadaian. Sehingga sejak beberapa waktu lalu Daulay
memerintahkan bawahannya agar menolak barang-barang pecah belah.
"Karena barang-barang itu memakan tempat," ucap Daulay.
Rumah gadai Batang Toru, di wilayah Tapanuli Selatan, lebih
menyedihkan lagi. Dengan ukuran gedung 10 x 6 meter, pegadaian
itu selalu penuh sesak. Terutama pada hari pasar. Sebab para
petani yang datang hampir dari segala penjuru Kabupaten Tapanuli
Selatan, tak hanya datang ke pasar untuk menjual hasil bumi.
"Terutama mereka membawa barang yang hendak digadaikan," tutur
Ahmad Jambak, Kepala Cabang Jawatan Pegadaian itu. Karena,
tambahnya, di seluruh kabupaten hanya di Batang Toru ada rumah
gadai.
Rentenir
Dengan dibantu seorang pegawai Syahbirin, tentu saja kesibukan
di rumah gadai itu menyita tenaga dan keringat. "Sehingga pada
hari pasar, kami harus bekerja sampai pukul 6 sore," kata Ahmad,
"padahal kantor kelurahan saja mempunyai sedikitnya 6 pegawai."
Karena itu pula, tambah Syahbirin, "kami berdua tak pernah
cuti." Malahan, dia mengaku, jika sedang melayani para nasabah,
"kencing pun kami tak sempat."
Tapi bukan itu yang dirisaukan Ahmad. Selain tak ada alat
keamanan untuk menjaga keamanan rumah gadai itu, menurut Ahmad,
mereka tak mempunyai senjata api lagi. "Diambil Laksus waktu
Operasi Sapujagat dulu," ungkap Ahmad. Sehingga, dia
menambahkan, kalau misalnya sekali waktu ada garong yang mau
menghabisi isi rumah gadai itu, "tentulah kami tak mampu berbuat
apa-apa." Untung di Batang Toru selama ini tak pernah timbul
kejahatan yang berarti.
Selain itu, Ahmad selalu risau jika ingat pada satu nama di
Batang Toru yaitu A Kan. Orang ini, menurut Ahmad, dikenal
penduduk kota itu sebagai rentenir. Dia membungakan uang dengan
rente 10% sebulan. Tapi daya tariknya adalah dia berani menilai
suatu barang lebih tinggi bila dibanding rumah gadai. Misalnya,
kata Ahmad, 2l2 gram emas bila digadaikan di rumah gadai hanya
dinilai sekitar Rp 12.500. "Tapi kepada A Kan, penggadai
memperoleh Rp 17.500--mendekati harga emas itu sendiri," kata
Ahmad.
Dan orang itu, tambah Ahmad lagi, bebas beroperasi -- bahkan
secara terang-terangan dan dengan aman pula. Padahal rentenir
sudah jelas dilarang pemerintah," ujar Ahmad setengah mengeluh.
Wing & Bintang Jasa
Rentenir seperti A Kan banyak beroperasi di sekitar rumah-rumah
gadai di Jakarta. Mereka mencegat calon-calon penggadai,
menawarkan penilaian yang tinggi--tapi tentu dengan bunga yang
tinggi pula. Para penggadai tak usah waswas kalau-kalau
barangnya dibawa kabur. Sebab para rentenir menjadikan halaman
rumah gadai sebagai kantor mereka: siapa yang mau menebus harus
pesan dulu, bes,ok barangnya dibawa.
Mereka juga beroperasi dengan terang-terangan, dengan tenang
pula. Para pegawai rumah gadai rupanya tak banyak menghiraukan
soal itu--barangkali karena mereka sibuk dengan pekerjaan
masing-masing. Terutama karena tak sedikit di antara penggadai
yang suka ngotot, minta agar barang gadaiannya dinilai lebih
tinggi. "Tapi kami telah mempunyai batas penilaian maksimum,
yaitu Rp 100.000," ungkap Sariyo Saryono, seorang karyawan rumah
gadai di Jalan Senen Raya, Jakarta Pusat.
Menghadapi penggadai yang ngotot, bukan hal baru bagi Sariyo
yang sudah 24 tahun bekerja di pegadaian. Tapi pengalaman yang
tak mungkin dilupakannya adalah ketika bertugas di rumah gadai
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Suatu hari, tutur Sariyo,
datang seorang wanita yang hendak menggadaikan wing penerjun
dari emas murni milik suaminya. Pada hari yang lain, seorang
laki-laki tua datang untuk menggadaikan bintang jasanya yang
juga terbuat dari emas. "Semua saya nilai apa adanya, meskipun
karena terharu, saya ingin menghargainya lebih tinggi," kata
Sariyo.
Menjadi karyawan rumah gadai memang selalu berhadapan dengan
orangorang yang serba kepepet. Entah ia petani, nelayan, maupun
pemegang bintang jasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini