Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Menaksir orang-orang kepepet

Suka duka (pengalaman) petugas pegadaian. mereka siap melayani orang yang kepepet butuh uang. misalnya: suharto, yang bekerja di rumah gadai di kartosuro, sedih jika musim paceklik tiba.

31 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI depan loket itu berkerumun puluhan orang. Semua tampak gelisah, tak sabar. Tapi semua juga menunjukkan wajah suram, bahkan beberapa orang wanita memperlihatkan sorot mata yang cemas. Meskipun hampir terjadi setiap hari, pemandangan serupa itu selalu menggetarkan hati laki-laki yang duduk di belakang loket. Ia sadar sedang berhadapan dengan orang-orang yang dirundung kesusahan. Karena itu tanpa berlarut-larut menurutkan perasaannya, dengan sigap ia membenahi alat-alat kerjanya. Begitu papan penutup loket ia buka, dari luar sana terdengar suara lirih wanita. "Kiriman uang belum datang, pak," ucap wanita itu. Dan si wanita segera mencopot cincin dari jari manis tangan kirinya. Suharto, juru taksir di Perusahaan Jawatan Pegadaian cabang Kartosuro, Surakarta itu, hanya mengangguk lemah sambil menerima cincin tadi. Sesaat ia meneliti perhiasan itu, menimbangnya, menyelidik kadar karatnya--dan kemudian melihat buku "Tabel Taksiran". "Cincin ini saya beri nilai pinjaman Rp 49.000," kata Suharto sambil menghela napas. Wanita itu, istri seorang anggota ABRI yang sedang bertugas di Jawa Timur, menampakkan wajah kurang puas. "Anak saya sedang sakit, pak," katanya Tapi ia mengurungkan niatnya meminta penilaian lebih tinggi lagi. Ia mengangguk. "Untung ibu datang cepat, satu jam lagi uang di sini habis," kata Suharto sambil menyerahkan uang. Premi Para penggadai di pegadaian Kartosuro umumnya terdiri dari petani, pedagang kecil dan buruh. Mereka akan berduyun-duyun meminjam uang terutama pada awal tahun ajaran untuk membayar uang masuk sekolah si anak, dan menjelang musim tanam untuk membeli pupuk. Lebih-lebih di saat panen gagal. Sebaliknya, para penggadai akan beramai-ramai menebus barang kembali sesaat setelah musim panen berhasil baik. Menurut Suharto, cukup menyedihkan bila musim packelik tiba dan petani beramai-ramai menggadaikan apa saja milik mereka asal dapat menghasilkan uang "Tapi sering justru di saat itu dropmg uang dari Jawatan Pegadaian Pusat belum datang," tutur Suharto, "sehingga dengan sedih terpaksa barangbarang mereka kami tolak." Namun, tambah laki-laki kelahiran Jatinom, Klaten itu, saat menganggur karena belum ada droping uang, taklah menyenangkan. "Sebab jika rumah gadai ini sepi, itu artinya kami akan mendapat premi sedikit," katanya. Ia tak menjelaskan berapa besar premi itu. Suharto, 40 tahun, yang telah 20 tahun bertugas di pegadaian itu, mengaku pada tahun-tahun permulaan dia bekerja di sana adalah saat-saat suram bagi kehidupan rumah gadai--dan tentu juga bagi karyawan-karyawannya. Gaji serba tak cukup, tanpa fasilitas apa pun dan droping uang tak lancar. Karena itu, tutur laki-laki berijazah SMP itu, suatu saat ia pernah menaksir giwang istrinya untuk digadaikan. "Saya timbang, saya taksir dan saya sendiri yang mengeluarkan uangnya," ia berkisah dengan getir. Tapi dengan status pegawai negeri golongan II-B sekarang, ia merasa hidup berkecukupan untuk membesarkan ketiga anaknya. Lebih dari itu ia selalu merasa senang, karena sering menolong warga masyarakat yang kurang mampu. Terutama karena tetangga-tetangganya disebuah desa tempat tinggalnya, tak jauh dari Kartosuro, sering membawa barang yang akan digadaikan ke rumahnya. Suharto pun membawanya ke kantor, menaksirnya, dan uangnya ia bawa pulang untuk diserahkan kepada tetangga itu. "Rumah saya seperti kantor cabang pegadaian" katanya setengah bangga, "tapi itu sulit dihindari--maklum hidup di desa." Dikenal sebagai pegawai rumah gadai oleh penduduk desa-desa sekitar Kartosuro, Suharto dan teman-teman sekerjanya juga sering berkeliling. Terutama di saat-saat menjelang lelang, untuk menghubungi para pemilik barang. "Saya dan kawan-kawan keliling pelosok, memberi tahu pada nasabah bahwa jika barang mereka tak ditebus sampai tanggal sekian, akan dilelang," ungkap Suharto. Tapi dalam kesempatan itu juga para pedagang barang rombengan mereka datangi: agar ikut dalam lelang. Dengan bunga 4% sebulan, satu barang yang digadaikan akan dilelang jika telah lewat waktu 6 bulan. Rumah gadai di Sibolga, Sumatera Utara, selalu ramai dikunjungi para penggadai di musim terang bulan. Jika diingat bahwa Sibolga adalah kota nelayan, hal itu mudah dipahami. Sebab masa paceklik para nelayan, nasabah utatna rumah gadai di sana, adalah tatkala laut terang benderang oleh cahaya bulan dan ikan-ikan tak sudi menampakkan diri. Dan dengan mudah pula ditandai, bila malam telah gelap gulita, keesokannya para penggadai pun berebut menebus barang mereka kembali. Bangunan rumah gadai Sibolga yang dibuat Belanda tahun 1927 itu tidak besar. Mungkin karena itu pegawainya hanya tiga orang. "Termasuk saya," ungkap Kepala Cabang awatan Pegadaian Sibolga, Marjohan Daulay, "padahal pekerjaan menumpuk sehingga sering lembur." Akibatnya, tambah Daulay, "saya sering disindir Walikota Sibolga karena jarang ikut rapat atau menyertai kegiatan pemerintahan di kota ini." Tapi ayah sembilan orang anak itu tak menyesal. Sebab kalau saya meninggalkan kantor sebentar saja, sekian banyak nasabah akan kecewa. Tapi akibat yang lain adalah rumah gadai itu cepat sesak oleh barang-barang gadaian. Sehingga sejak beberapa waktu lalu Daulay memerintahkan bawahannya agar menolak barang-barang pecah belah. "Karena barang-barang itu memakan tempat," ucap Daulay. Rumah gadai Batang Toru, di wilayah Tapanuli Selatan, lebih menyedihkan lagi. Dengan ukuran gedung 10 x 6 meter, pegadaian itu selalu penuh sesak. Terutama pada hari pasar. Sebab para petani yang datang hampir dari segala penjuru Kabupaten Tapanuli Selatan, tak hanya datang ke pasar untuk menjual hasil bumi. "Terutama mereka membawa barang yang hendak digadaikan," tutur Ahmad Jambak, Kepala Cabang Jawatan Pegadaian itu. Karena, tambahnya, di seluruh kabupaten hanya di Batang Toru ada rumah gadai. Rentenir Dengan dibantu seorang pegawai Syahbirin, tentu saja kesibukan di rumah gadai itu menyita tenaga dan keringat. "Sehingga pada hari pasar, kami harus bekerja sampai pukul 6 sore," kata Ahmad, "padahal kantor kelurahan saja mempunyai sedikitnya 6 pegawai." Karena itu pula, tambah Syahbirin, "kami berdua tak pernah cuti." Malahan, dia mengaku, jika sedang melayani para nasabah, "kencing pun kami tak sempat." Tapi bukan itu yang dirisaukan Ahmad. Selain tak ada alat keamanan untuk menjaga keamanan rumah gadai itu, menurut Ahmad, mereka tak mempunyai senjata api lagi. "Diambil Laksus waktu Operasi Sapujagat dulu," ungkap Ahmad. Sehingga, dia menambahkan, kalau misalnya sekali waktu ada garong yang mau menghabisi isi rumah gadai itu, "tentulah kami tak mampu berbuat apa-apa." Untung di Batang Toru selama ini tak pernah timbul kejahatan yang berarti. Selain itu, Ahmad selalu risau jika ingat pada satu nama di Batang Toru yaitu A Kan. Orang ini, menurut Ahmad, dikenal penduduk kota itu sebagai rentenir. Dia membungakan uang dengan rente 10% sebulan. Tapi daya tariknya adalah dia berani menilai suatu barang lebih tinggi bila dibanding rumah gadai. Misalnya, kata Ahmad, 2l2 gram emas bila digadaikan di rumah gadai hanya dinilai sekitar Rp 12.500. "Tapi kepada A Kan, penggadai memperoleh Rp 17.500--mendekati harga emas itu sendiri," kata Ahmad. Dan orang itu, tambah Ahmad lagi, bebas beroperasi -- bahkan secara terang-terangan dan dengan aman pula. Padahal rentenir sudah jelas dilarang pemerintah," ujar Ahmad setengah mengeluh. Wing & Bintang Jasa Rentenir seperti A Kan banyak beroperasi di sekitar rumah-rumah gadai di Jakarta. Mereka mencegat calon-calon penggadai, menawarkan penilaian yang tinggi--tapi tentu dengan bunga yang tinggi pula. Para penggadai tak usah waswas kalau-kalau barangnya dibawa kabur. Sebab para rentenir menjadikan halaman rumah gadai sebagai kantor mereka: siapa yang mau menebus harus pesan dulu, bes,ok barangnya dibawa. Mereka juga beroperasi dengan terang-terangan, dengan tenang pula. Para pegawai rumah gadai rupanya tak banyak menghiraukan soal itu--barangkali karena mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Terutama karena tak sedikit di antara penggadai yang suka ngotot, minta agar barang gadaiannya dinilai lebih tinggi. "Tapi kami telah mempunyai batas penilaian maksimum, yaitu Rp 100.000," ungkap Sariyo Saryono, seorang karyawan rumah gadai di Jalan Senen Raya, Jakarta Pusat. Menghadapi penggadai yang ngotot, bukan hal baru bagi Sariyo yang sudah 24 tahun bekerja di pegadaian. Tapi pengalaman yang tak mungkin dilupakannya adalah ketika bertugas di rumah gadai Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Suatu hari, tutur Sariyo, datang seorang wanita yang hendak menggadaikan wing penerjun dari emas murni milik suaminya. Pada hari yang lain, seorang laki-laki tua datang untuk menggadaikan bintang jasanya yang juga terbuat dari emas. "Semua saya nilai apa adanya, meskipun karena terharu, saya ingin menghargainya lebih tinggi," kata Sariyo. Menjadi karyawan rumah gadai memang selalu berhadapan dengan orangorang yang serba kepepet. Entah ia petani, nelayan, maupun pemegang bintang jasa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus