Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Sebuah cerita rumah sisa

Sisa-sisa rumah adat di berbagai daerah, misal rumah gadang di minang, rumah tampomas di sibolga, rumah betang/panjang di kal-bar jumlahnya sudah langka dan keadaannya sangat payah.(ils)

31 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Sebuah cerita rumah sisa
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
RUMAH-RUMAH adat hanya baik dinikmati di Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta. Di daerah asalnya, rumah adat yang sudah langka, keadaannya sangat payah. Di Sumatera Barat, rumah gadang Minang beratap gonjong, berkat anjuran bekas Gubernur Harun Zain, memang bermunculan di kota-kota. Namun bentuk dan fungsinya tidak seperti aslinya. Sebab, "usaha itu tidak didukung arsitektur yang mendalami jiwa rumah gadang itu," ujar Dr. Muchtar Naim, seorang ahli sosiologi Minang. Rumah gadang asli--yang sekarang hampir punah karena tidak terawat atau terbakar -- dulunya tempat tinggal orang-orang saparuik, seketurunan, menurut garis ibu. Besar-kecil rumah gadang itu dihitung dari jumlah wanita dewasa yang ada di sana. Setiap wanita yang sudah bersuami, mendapatkan satu ruangan. Penghuni pria tidak ikut dihitung. Karena laki-laki berdiam di rumah gadang istrinya--yang membujang tinggal di surau. Jika penghuni berkembang biak dibuat rumah gadang baru atau kamarnya ditambah. Jadi setiap pesukuan bisa mempunyai dua atau tiga rumah "gadang". Namun yang disebut rumah gadang, hanya satu, yaitu rumah asal. Setiap rumah gadang mempunyai kepala, yaitu penghulu berpangkat datuk yang diangkat dari ninik mamak, mempunyai harta kolektif berupa sawah dan ladang. Di rumah gadang itulah ninik mamak mengadakan sidang atau musyawarah untuk memecahkan masalah sepesukuan. Di rumah gadang itu pula dilakukan upacara-upacara adat seperti pengangkatan penghulu atau perkawinan. Seiring dengan perubahan masyarakat, rumah gadang kehilangan fungsinya dan menjadi langka. Seperti dikatakan Muchtar Naim: "Itu wajar karena nilainilai sosial selalu berubah." Faktor-faktor yang ikut menyebabkan perubahan itu menurut Muchtar Naim adalah meluasnya anggota masyarakat, kecenderungan merantau, timbulnya pola hidup individualis serta merenggangnya kekerabatan. Seorang budayawan dan sastrawan Minang, Chairul Harun, menunjuk penyebab lain: berkurangnya kekuasaan ninik mamak. Selain itu, generasi muda Minang sendiri dianggapnya tidak lagi mengenal kebudayaan sendiri, apa lagi mendalami nilai-nilainya. Semuanya itu menyebabkan sisa-sisa rumah gadang tidak terawat. Seperti sebuah rumah gadang asli di Ladang Lawas, 4 km dari Bukittinggi. Berusia sekitar 200 tahun, rumah gadang itu mempunyai enam ruangan, dengan ukuran 28 x 9 meter dan ditopang 50 batang tiang. Ukiran-ukiran di pintunya masih utuh. Namun secara keseluruhan keadaannya menyedihkan. "Beginilah nasib ambon," ujar nenek Inah (80 tahun), yang menunggui rumah itu, sambil meletakkan ember-ember kecil untuk menampung hujan yang lewat celah-celah atap ijuk rumah itu. Enam gonjong rumah ada yang patah. Terletak di pinggir jalan raya antara Padang-Bukittinggi, rumah yang mendapat perhatian besar dari turis-turis asing dari berbagai negara masih memiliki perabot asli dan antik. Tapi fungsi adatnya sudah hilang. Sebab tidak ada lagi kepala adat dan pesukuan di sana. Keturunan rumah itu berpencar di berbagai kota di Indonesia. Bahkan tokoh terkenal, seperti alm. Mr. Asaat yang pernah menjadi Pj. Presiden RI (1949-1950), konon berasal dari rumah gadang tersebut. Rumah-rumah gadang yang kini banyak bermunculan lebih bersifat sebagai mode belaka, sudah dengan atap seng dan dinding beton, seperti yang banyak terdapat di Kabupaten Solok. "Arahnya menyimpang dan sudah menjadi lambang kekayaan," ujar Djanas Raden Dt. Bandaro Kuning, seorang pemangku adat di Tanah Datar. Satu-satunya kabupaten yang masih mempertahankan fungsi rumah adat kata Dt. Bandaro Kuning, hanyalah di Tanah Datar--pusat pemerintahan Minangkabau dulu. Walaupun, diakuinya juga, terjadi perubahan: banyak di antara penghuni yang membangun rumah sendiri. Seperti halnya rumah gadang di Minang, sekitar 50 buah "rumah Tampomas" di Sibolga, (Sumatera Utara), sekarang tidak terawat lagi -- walaupun masih dihuni. Rumah besar tersebut didirikan 1890 untuk menampung orangorang Pariaman y ang mengungsi ke sana. Setiap rumah berukuran 7 x 35 meter dan diisi sampai 28 keluarga atau lebih 100 jiwa. Dinding yang membatasi kamar menggantung 20 cm dari lantai, sehingga penghuni terpaksa melangkahi jejeran kaki tetangga yang tidur di kamar sebelah, kalau berjalan di rumah itu malam hari. Berjejer dengan Kantor DPRD dan dinas-dinas pemerintah, "rumah Tampomas" kelihatan sangat tua, karena catnya sudah memudar. Anak keturunan Pariaman tidak bisa merawat rumah asalnya itu karena keadaan mereka memang susah. Mereka adalah nelayan tradisional. "Keahlian kami hanya sekedar menyisip pukat yang sobek," ujar Dahlan Siregar, Kepala Lorong di situ. Kamar Mandi dan WC Perubahan rumah-rumah adat kolektif menjadi rumah individu juga terjadi di Dayak (Kalimantan Barat). Di sana memang masih terdapat sekitar 100 buah betang atau rumah panjang. Sebuah betang juga berarti sebuah kampung dengan 20 sampai 50 pintu. Setiap rumah panjang terdiri dari ruang tidur, keluarga dan sebuah dapur. Penghuninya tidur mengelompok atau dalam kamar yang cuma dibatasi sehelai kain. Itu pula sebabnya, barangkali, remaja beberapa suku Dayak cepat menjadi matang. Lantai rumah panjang dibuat dari batang pohon sebesar ibu jari. Kolongnya berfungsi sebagai kandang babi. Pelataran depan mempunyai fungsi serba guna. Siang hari di tempat itu anak-anak bermain dan malamnya orang tua bermusyawarah. Upacara-upacara adat, seperti pemujaan roh juga dilakukan di situ. "Kehidupan di betang gotong-royong" ujar Moses Nyawat, Kepala Biro Kesra Pemda Kal-Bar. "Beberapa waktu pemerintah meng anjurkan supaya dibuat rumah tunggal," kata Tumenggung Karim, seorang kepala adat, ketika mengikuti penataran kepaIa-kepala adat di Pontianak pekan lalu Betang Tumenggung Karim ini terbakar, 1970, dan sejak itu anak buahnya mulai membangun rumah tunggal. Pertimbangannya, keadaan rumah panjang jauh dari sehat, selalu terancam wabah penyakit. Tumenggung Sidju (83 tahun) mengakui warganya pindah dari betang karena kematian beruntun akibat wabah kolera dan malaria. Faktor agama juga menyebabkan penduduk meninggalkan rumah panjangnya. Tumenggung Junti (63 tahun) membenarkan bahwa perubahan terjadi karena banyak di antara mereka yang masuk Katolik. "Pemerintah menganjurkan kami memeluk agama," kata Junti. Setiap hari penduduk yang masih menghuni betang, seperti di Kampung Kekurang, sudah bangun pukul 4 pagi Lelaki dan perempuan turun ke ladang sampai sore. Sorenya perempuan masih bertugas menumbuk padi. Suara lesung beradu alu: pang, pung, dak, duk ... "Saya seperti hidup 200 tahun lalu," ujar Fausto Oricio, orang Italia yang bertualang di antara suku Dayak, Fausto menikahi seorang gadis Dayak secara Islam dan ikut tidur di betang sampai mempunyai seorang putra. Kekaguman orang asing terhadap kehidupan di betang menyentakkan pemerintah daerah. Dalam APBD 1979/80 Pemda Kal-Bar menyiapkan anggaran untuk pemugaran betang. Setiap betang secara giliran mendapat Rp 2 juta. Bahkan betang di Saham, 120 km dari Pontianak, direncanakan dibuat kamar mandi dan WC. Sebuah betang yang modern.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus