RUMAH-RUMAH adat hanya baik dinikmati di Taman Mini Indonesia
Indah di Jakarta. Di daerah asalnya, rumah adat yang sudah
langka, keadaannya sangat payah. Di Sumatera Barat, rumah gadang
Minang beratap gonjong, berkat anjuran bekas Gubernur Harun
Zain, memang bermunculan di kota-kota. Namun bentuk dan
fungsinya tidak seperti aslinya. Sebab, "usaha itu tidak
didukung arsitektur yang mendalami jiwa rumah gadang itu," ujar
Dr. Muchtar Naim, seorang ahli sosiologi Minang.
Rumah gadang asli--yang sekarang hampir punah karena tidak
terawat atau terbakar -- dulunya tempat tinggal orang-orang
saparuik, seketurunan, menurut garis ibu. Besar-kecil rumah
gadang itu dihitung dari jumlah wanita dewasa yang ada di sana.
Setiap wanita yang sudah bersuami, mendapatkan satu ruangan.
Penghuni pria tidak ikut dihitung. Karena laki-laki berdiam di
rumah gadang istrinya--yang membujang tinggal di surau. Jika
penghuni berkembang biak dibuat rumah gadang baru atau kamarnya
ditambah. Jadi setiap pesukuan bisa mempunyai dua atau tiga
rumah "gadang". Namun yang disebut rumah gadang, hanya satu,
yaitu rumah asal.
Setiap rumah gadang mempunyai kepala, yaitu penghulu berpangkat
datuk yang diangkat dari ninik mamak, mempunyai harta kolektif
berupa sawah dan ladang. Di rumah gadang itulah ninik mamak
mengadakan sidang atau musyawarah untuk memecahkan masalah
sepesukuan. Di rumah gadang itu pula dilakukan upacara-upacara
adat seperti pengangkatan penghulu atau perkawinan.
Seiring dengan perubahan masyarakat, rumah gadang kehilangan
fungsinya dan menjadi langka. Seperti dikatakan Muchtar Naim:
"Itu wajar karena nilainilai sosial selalu berubah."
Faktor-faktor yang ikut menyebabkan perubahan itu menurut
Muchtar Naim adalah meluasnya anggota masyarakat, kecenderungan
merantau, timbulnya pola hidup individualis serta merenggangnya
kekerabatan.
Seorang budayawan dan sastrawan Minang, Chairul Harun, menunjuk
penyebab lain: berkurangnya kekuasaan ninik mamak. Selain itu,
generasi muda Minang sendiri dianggapnya tidak lagi mengenal
kebudayaan sendiri, apa lagi mendalami nilai-nilainya.
Semuanya itu menyebabkan sisa-sisa rumah gadang tidak terawat.
Seperti sebuah rumah gadang asli di Ladang Lawas, 4 km dari
Bukittinggi. Berusia sekitar 200 tahun, rumah gadang itu
mempunyai enam ruangan, dengan ukuran 28 x 9 meter dan ditopang
50 batang tiang. Ukiran-ukiran di pintunya masih utuh. Namun
secara keseluruhan keadaannya menyedihkan.
"Beginilah nasib ambon," ujar nenek Inah (80 tahun), yang
menunggui rumah itu, sambil meletakkan ember-ember kecil untuk
menampung hujan yang lewat celah-celah atap ijuk rumah itu. Enam
gonjong rumah ada yang patah.
Terletak di pinggir jalan raya antara Padang-Bukittinggi, rumah
yang mendapat perhatian besar dari turis-turis asing dari
berbagai negara masih memiliki perabot asli dan antik. Tapi
fungsi adatnya sudah hilang. Sebab tidak ada lagi kepala adat
dan pesukuan di sana. Keturunan rumah itu berpencar di berbagai
kota di Indonesia. Bahkan tokoh terkenal, seperti alm. Mr. Asaat
yang pernah menjadi Pj. Presiden RI (1949-1950), konon berasal
dari rumah gadang tersebut.
Rumah-rumah gadang yang kini banyak bermunculan lebih bersifat
sebagai mode belaka, sudah dengan atap seng dan dinding beton,
seperti yang banyak terdapat di Kabupaten Solok. "Arahnya
menyimpang dan sudah menjadi lambang kekayaan," ujar Djanas
Raden Dt. Bandaro Kuning, seorang pemangku adat di Tanah Datar.
Satu-satunya kabupaten yang masih mempertahankan fungsi rumah
adat kata Dt. Bandaro Kuning, hanyalah di Tanah Datar--pusat
pemerintahan Minangkabau dulu. Walaupun, diakuinya juga, terjadi
perubahan: banyak di antara penghuni yang membangun rumah
sendiri.
Seperti halnya rumah gadang di Minang, sekitar 50 buah "rumah
Tampomas" di Sibolga, (Sumatera Utara), sekarang tidak terawat
lagi -- walaupun masih dihuni. Rumah besar tersebut didirikan
1890 untuk menampung orangorang Pariaman y ang mengungsi ke
sana. Setiap rumah berukuran 7 x 35 meter dan diisi sampai 28
keluarga atau lebih 100 jiwa. Dinding yang membatasi kamar
menggantung 20 cm dari lantai, sehingga penghuni terpaksa
melangkahi jejeran kaki tetangga yang tidur di kamar sebelah,
kalau berjalan di rumah itu malam hari.
Berjejer dengan Kantor DPRD dan dinas-dinas pemerintah, "rumah
Tampomas" kelihatan sangat tua, karena catnya sudah memudar.
Anak keturunan Pariaman tidak bisa merawat rumah asalnya itu
karena keadaan mereka memang susah. Mereka adalah nelayan
tradisional. "Keahlian kami hanya sekedar menyisip pukat yang
sobek," ujar Dahlan Siregar, Kepala Lorong di situ.
Kamar Mandi dan WC
Perubahan rumah-rumah adat kolektif menjadi rumah individu juga
terjadi di Dayak (Kalimantan Barat). Di sana memang masih
terdapat sekitar 100 buah betang atau rumah panjang. Sebuah
betang juga berarti sebuah kampung dengan 20 sampai 50 pintu.
Setiap rumah panjang terdiri dari ruang tidur, keluarga dan
sebuah dapur. Penghuninya tidur mengelompok atau dalam kamar
yang cuma dibatasi sehelai kain. Itu pula sebabnya, barangkali,
remaja beberapa suku Dayak cepat menjadi matang.
Lantai rumah panjang dibuat dari batang pohon sebesar ibu jari.
Kolongnya berfungsi sebagai kandang babi. Pelataran depan
mempunyai fungsi serba guna. Siang hari di tempat itu anak-anak
bermain dan malamnya orang tua bermusyawarah. Upacara-upacara
adat, seperti pemujaan roh juga dilakukan di situ. "Kehidupan di
betang gotong-royong" ujar Moses Nyawat, Kepala Biro Kesra Pemda
Kal-Bar.
"Beberapa waktu pemerintah meng anjurkan supaya dibuat rumah
tunggal," kata Tumenggung Karim, seorang kepala adat, ketika
mengikuti penataran kepaIa-kepala adat di Pontianak pekan lalu
Betang Tumenggung Karim ini terbakar, 1970, dan sejak itu anak
buahnya mulai membangun rumah tunggal. Pertimbangannya, keadaan
rumah panjang jauh dari sehat, selalu terancam wabah penyakit.
Tumenggung Sidju (83 tahun) mengakui warganya pindah dari betang
karena kematian beruntun akibat wabah kolera dan malaria.
Faktor agama juga menyebabkan penduduk meninggalkan rumah
panjangnya. Tumenggung Junti (63 tahun) membenarkan bahwa
perubahan terjadi karena banyak di antara mereka yang masuk
Katolik. "Pemerintah menganjurkan kami memeluk agama," kata
Junti.
Setiap hari penduduk yang masih menghuni betang, seperti di
Kampung Kekurang, sudah bangun pukul 4 pagi Lelaki dan perempuan
turun ke ladang sampai sore. Sorenya perempuan masih bertugas
menumbuk padi. Suara lesung beradu alu: pang, pung, dak, duk ...
"Saya seperti hidup 200 tahun lalu," ujar Fausto Oricio, orang
Italia yang bertualang di antara suku Dayak, Fausto menikahi
seorang gadis Dayak secara Islam dan ikut tidur di betang sampai
mempunyai seorang putra.
Kekaguman orang asing terhadap kehidupan di betang menyentakkan
pemerintah daerah. Dalam APBD 1979/80 Pemda Kal-Bar menyiapkan
anggaran untuk pemugaran betang. Setiap betang secara giliran
mendapat Rp 2 juta. Bahkan betang di Saham, 120 km dari
Pontianak, direncanakan dibuat kamar mandi dan WC. Sebuah
betang yang modern.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini