DUNIA politik Amerika Serikat mempunyai kisah unik yang sering
diulang-ulang. Seorang muda berbakat dan memiliki kepemimpinan
potensial, berhasil meraih kedudukan anggota Kongres. Atau
menjadi senator negara bagian. Kemudian menanjak menjadi senator
nasional. Setelah cukup larna, menjadi eksekutif dalam jabatan
gubernur-negara bagiannya. Pola lokal, nasional, kemudian
kembali ke daerah mematangkan kepribadiannya. Hingga akhirnya ia
dipandang potensial menjadi presiden.
Tetapi nasib menghendaki lain. Setelah begitu terkenal melalui
berbagai jabatan, ia hilang. Tidak ada yang tahu di mana ia.
Tidak tahunya ia menjadi wakil presiden - setelah kalah bersaing
dengan orang-orang lain yang juga sama-sama potensial.
Cerita di atas menunjukkan kecilnya arti kedudukan wakil
presiden--setidak-tidaknya di masa lampau. Garner, di bawah
Presiden Roosevelt, adalah contoh sempurna untuk 'orang hilang'
itu. Sudah menumbuhkan ambisi pribadi yang luar biasa, akhirnya
harus menerima nasib menjadi pimpinan sidang di Senat belaka,
ditambah kerja membuka upacara dan meresmikan proyek-proyek
seluruh negeri. Tidak diajak mengambil keputusan dalam masalah
menentukan.
Presiden lebih percaya kepada para pembantunya sendiri. Sering
para presiden mengambil seorang lawan sebagai calon wakil
presiden untuk kepentingan politiknya sendiri: keseimbangan
geografis (Kennedy dari sudut timur laut negeri Johnson dari
barat daya), agama ataupun etnis (carter AngloSakson mulus,
Mondale dari etnis Skandinavia).
Hosni Mubarak
Sudah untung kalau kematian presiden menarnpilkan para wakil
menjadi presiden. Seperti Truman yang menggantikan Roosevelt
yang mati jantung, dan Johnson yang menggantikan Kennedy yang
tertembak. Atau juga menjadi presiden atas tenaga sendiri
setelah berakhirnya masa jabatan 'kelas dua', seperti Richard
Nixon (wakil presiden untuk Eisenhower 1953-1961, kemudian
presiden terpilih 1969-1975).
Kekesalan mereka umumnya berkisar pada tidak efektifnya jabatan
setinggi itu - di hadapan kekuasaan tunggal sang presiden di
bidang eksekutif. Itu hanya mungkin terobati kalau memang jelas
ia dipersiapkan untuk mengganti presiden nantinya. Seperti Hosni
Mubarak sewaktu Sadat masih hidup. Tujuh tahun 'magang', dalam
jabatan kedua, tetapi jelas dalam pola permagangan yang tidak
membuat putus asa pelakunya.
Politikus yang merasa berhak memimpin negara memang sering
jengkel harus berbagi kekuasaan dengan orang lain. Ia merasa
tidak membuat sejarah. Dalam pandangan politisi seperti ini,
sejarah hanya dibuat oleh mereka yang menduduki tempat pertama.
Selain itu, semuanya hanya termasuk catatan sejarah. Apalagi
kalau presiden sebagai pemegang kedudukan pertama tidak memberi
kesempatan sama sekali untuk berperan kepada wakilnya, seperti
Wakil Presiden Nance Garner di atas.
Tidak seperti para presiden belakangan ini, yang seakan sengaja
memberi hak kepada wakil presiden mereka untuk turut memutuskan
kebijaksanaan pemerintah di tingkat nasional. Johnson yang
di'santuni' begitu baik oleh Kennedy (walaupun masih juga tidak
puas), Mondale yang dihargai Carter (tidak pernah terdengar
keluhannya), dan Bush yang "dimanjakan" Reagan (asal tahu diri,
tidak melawan para pembantu terdekatnya, Baker dan Meese).
Bung Tomo
Begitu halusnya perbedaan antara pembuat sejarah dan yang mejadi
catatan sejarah saja. Hosni Mubarak tidak tahu apa-apa tentang
perundingan perdamaian dengan Israel. Ia tidak pernah ke Israel
sekali pun. Seolah kenyataan ini membedakan Mubarak yang menjadi
catatan sejarah dari Sadat sang pembuat sejarah. Wakil presiden
yang tadinya kalah dalam persaingan kepresidenan dari lawan
politiknya, dicatat oleh sejarah sebagai 'orang yang juga
menjadi calon' (the also ran) -- tokoh pelengkap belaka di
balik keperkasaan pihak yang menang.
Akan lebih besar kejengkelannya, jika sebelum menjadi wakil
presiden ia sendiri telah membuat sejarah. Umpamakan sajalah
Bung Tomo almarhum menjadi wakil presiden. Ia, yang begitu
berapi-api membakar semangat arek Suroboyo, dan dengan demikian
membuat sejarah dengan cara dan dalam lingkupnya sendiri, sudah
tentu akan merasa konyol dalam peranan orang kedua tanpa
wewenang yang jelas. Tidak heranlah jika kemudian si bung yang
satu ini merasa sudah puas dengan peran kesejarahannya yang
begitu pendek di tahun 1945 itu--lalu tidak mengejar peranan
lain. Salah-salah bisa frustrasi.
Dari sudut pandangan ini, memang menarik mengikuti perkembangan
di Mesir sepeninggal Anwar Sadat. Mampukah Mubarak menjadi
pembuat sejarah yang setara dengan Sadat dan Nasser, setelah
tujuh tahun hanya berfungsi sebagai catatan belaka? Sadat lebih
lama lagi: enam belas tahun itu pun yang sering jadi ejekan
orang. Baru setelah sang 'juara' Nasser, ia memperoleh
kesempatan. Peranan itu dilakukannya dengan tidak
tanggung-tanggung - akhirnya harus ditebusnya dengan jiwanya
sendiri.
Mampu tidaknya Mubarak bergerak dari catatan sejarah menjadi
pembuat sejarah, hanya sejarah yang akan menjawabnya. Padahal,
di kawasan begitu bergolak di negara tua Mesir itu, hanya
pembuat sejarah yang dapat lama memerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini