Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rokok ternyata bisa mempengaruhi pilihan orang terhadap rumah. Kalau tak percaya, tanya saja pada Astrid Novianti, seorang dosen psikologi di Universitas Indonesia. Kebiasaan suaminya yang doyan merokok membuat ia pusing. Astrid tak suka bau asapnya, tapi tak tega melarangnya. Karena itu, saat berencana mencari tempat tinggalnya, dia bertekad mendapatkan rumah yang bisa memberi solusi. Kebiasaan sang suami terakomodasi, namun kenyamanan putrinya yang baru berusia 5 tahun dan dirinya juga tak terusik.
Rupanya keinginan sederhana itu tak gampang diwujudkan. Rumah-rumah yang ditawarkan pengembang, ukuran dan bentuk ruangnya selalu seragam. Karenanya Astrid memutuskan membangun rumah sendiri. "Mungkin dengan cara begitu saya bisa mendapatkan rumah ideal bagi keluarga, " katanya.
Berbekal tanah seluas 116 meter persegi di daerah Bintaro, Tangerang, Astrid lalu mengundang arsitek Budi Pradono, yang pernah ditemuinya di Belanda. Kesepakatan lantas tercapai. Kini Budi Pradono sudah selesai menuangkan harapan Astrid dalam sebuah rancangan rumah berlantai dua dengan tiga kamar. Problem asap rokok itu diatasi dengan membuat ruangan khusus dekat ruang keluarga. Di ruang ini, sambil merokok suami Astrid yang pengacara bisa tetap berinteraksi dan menonton TV bersama keluarganya. Asap rokoknya dijamin tak mengganggu istri dan anaknya.
Bagi Budi, pengalaman mendesain rumah di lahan sempit seperti ini menjadi tantangan yang menguras kreativitas. Apalagi, faktor biaya harus ditekan serendah mungkin.
Sang arsitek juga mengungkapkan, impian keluarga Astrid mewakili kecenderungan baru sebagian warga Jakarta dalam membangun rumah. Dihadapkan pada keterbatasan lahan yang dimiliki, mereka tetap berusaha mewujudkan rumah impian, termasuk menggunakan jasa arsitek, yang sebelumnya lebih identik dengan proyek-proyek berdana besar. "Kecenderungan ini menggembirakan sekaligus jadi tantangan para arsitek," katanya.
Tren itu tidak bisa dilepaskan dari maraknya berbagai acara yang membahas soal rumah di televisi. Hampir semua televisi kini memiliki acara khusus tentang rumah. SCTV memiliki acara Home and Beauty, Indosiar mengedepankan program Rumah Idaman. Metro TV malah punya banyak acara sejenis ini seperti Home and Decor, Properti Properti, Hong Shui, serta Famous Homes and Hideaway. RCTI juga memiliki acara Bedah Rumah. Tak ketinggalan pula Trans TV yang mempunyai acara Benerin Rumah.
Tanggapan masyarakat atas program semacam itu cukup baik. Paling tidak, hal ini dirasakan pengelola Home and Beauty yang ditayangkan SCTV. Me-nurut Petrus Lesmana dari Advindo Agency, yang memproduksi acara ini, tiap minggu paling tidak ada dua telepon masuk dari pemirsa. Mereka biasanya meminta rekaman program episode yang mereka sukai atau sekadar menanyakan arsitek atau desainer yang karyanya baru ditayangkan. "Untuk program semacam ini, respons seperti itu sudah sangat bagus," katanya.
Media cetak yang mengkhususkan diri pada soal rumah kini juga makin banyak menyerbu pasar. Selain majalah Laras dan Asri yang merupakan pemain lama, kini muncul pula media baru seperti majalah Idea, tabloid Rumah, serta tabloid Hunian. Buku-buku khusus tentang rumah pun makin banyak diterbitkan.
Imelda Akmal yang menulis delapan seri buku tentang penataan rumah merasakan positifnya respons masyarakat. Hampir semua bukunya laris manis. Bahkan buku Menata Rumah Mungil menjadi very best seller, mengalami 11 kali cetak ulang dan terjual tak kurang dari 70 ribu eksemplar. "Gejala ini menunjukkan apresiasi masyarakat yang makin meningkat terhadap masalah desain," kata arsitek lulusan Universitas Trisakti itu.
Karena bukunya pula, Imelda sempat dikejar-kejar pembacanya. Salah satunya, Lisa Hidayat, 28 tahun, seorang ibu rumah tangga. Dia tertarik dengan konsep yang ditawarkan Imelda dalam bukunya. Maret lalu, Lisa pun "berjuang" melacak jejaknya lewat PT Gramedia yang menerbitkan buku itu. Setelah berhasil mengontak Imelda, memintanya untuk merancang rumah di atas tanah seluas 270 meter persegi di Puri Sriwedari, Cibubur.
Rumah tersebut bergaya tropis berlantai dua dengan ruang publik yang lebih luas untuk menampung banyak kerabat yang berkunjung. Tempat tinggal impian keluarga Lisa ini sekarang hampir selesai. Mungkin Januari mendatang sudah bisa ditempati. "Bagi saya rumah itu sudah mendekati rumah impian," kata Lisa.
Tidak sedikit pula orang Jakarta yang menempuh jalan berbeda dengan Lisa dan Astrid. Menganggap biaya arsitek mahal, mereka memilih berkreasi sendiri mengubah rumahnya. Tayangan TV serta ulasan media cetak kerap jadi sumber inspirasi mereka. Simak saja pengalaman pasangan Rahman dan Hanifa. Keluarga dengan dua anak ini bahu-membahu membuat rumah mungil di atas tanah seluas 60 meter persegi di Vila Pamulang, Tangerang, lebih nyaman ditempati.
Perombakan difokuskan pada halaman rumah yang berukuran 5 x 12 meter itu. Rahman yang bekerja di kafe kawasan Panglima Polim memasang atap genting dengan aksen alang-alang menutupi sebelah halaman rumahnya. Bangunan ini memayungi satu set kursi bambu yang diletakkan merapat ke dinding yang berhiaskan wayang golek, beberapa topeng kayu, serta dua buah lukisan. Di halaman yang terbuka, lalu dibangun kolam kecil berair mancur yang dikelilingi tumbuhan bunga yang rindang. Halaman tanpa pagar itu kini tampak sesak tapi indah dan kerap mengundang orang lewat untuk berpaling. "Rumah kami kecil, tapi suami saya selalu berupaya membuat agar suasana lebih nyaman," kata Hanifa.
Nurly Karno, 33 tahun, yang tinggal di kompleks yang sama juga tak pernah puas dengan rumahnya. Adik aktor Rano Karno ini terus berusaha mengutak-atik rumahnya yang semula bertipe 36 dengan luas tanah 120 itu yang dibelinya pada tahun 2000. Tiap bulan selalu saja ada perubahan. Pekerjaannya sebagai juru kamera acara Properti Properti yang ditayangkan di Metro TV membuat Nurly kerap bersentuhan dengan detail rumah. "Tapi saya sendiri lebih banyak terinspirasi oleh pengalaman bepergian ke daerah-daerah," ujarnya.
Kini rumah itu sudah berubah total dari aslinya. Garasi disulap jadi kamar tidur. Salah satu kamar tidur dibobol jadi ruang keluarga. Dapur pun dipindah ke bangunan baru dan bekasnya disulap jadi kamar pembantu. Plafon diganti dengan anyaman bambu. Jendela dilebarkan. Pintu depan juga diubah sehingga serong ke samping, menghadap sungai di seberang jalan. Pintu ini dinaungi kanopi kecil beratap rumbia yang disangga dua tiang kayu jati tua bekas kandang kerbau yang didapat Nurly dari Jawa Tengah. Menurut dia, perombakan umumnya menggunakan barang bekas sehingga biayanya bisa ditekan.
Di seluruh penjuru rumah tersebut juga tampak berbagai barang antik dari kayu jati hasil perburuan ke berbagai daerah. Rumah itu tampak artistik dan nyaman. Tapi sang pemilik mengaku belum puas. "Ini baru 70 persen dari rumah impian saya," kata Nurly. Dia lalu bercerita tentang ambisinya membangun ruangan khusus untuk menampung koleksi foto dan barang antik miliknya.
Kini banyak orang di Jakarta yang memiliki ambisi serupa dengan impian yang beragam.
Nurdin Saleh
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo