Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Sonata Sutradara Pemula

Kemajemukan tema dan gaya penceritaan film pendek di FFI dan JiFFest semakin menjanjikan. Sisi gelap individu dan masyarakat lebih disukai.

13 Desember 2004 | 00.00 WIB

Sonata Sutradara Pemula
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

DUA pekan terakhir adalah saat-saat paling menyenangkan. Mereka, para pembuat film pendek di negeri ini, bertemu dengan komunitas yang lebih luas, guyub, dan lebih apresiatif. Festival Film Indonesia (FFI) dan Jakarta International Film Festival (JiFFest) sama-sama selesai digelar akhir pekan silam, dan, ”Ini kesempatan yang sangat bagus bagi pemula seperti saya,” ujar Edwin, 26 tahun, sutradara film Dajang Soembi, Perempoean jang Dikawini Andjing, satu-satunya film pendek yang menjadi finalis di kedua festival.

Selama ini para pembuat film pendek memang lebih sering bergerilya dari satu ke lain festival di luar negeri karena minimnya festival di sini. Sebutlah, misalnya, film Farishad Latjuba, Durian, yang diputar di Dresden, Thailand, dan Singapura. Atau lihat juga Tintin Wulia, yang namanya lebih berkibar di luar lewat film-filmnya seperti Where Do You Originally Come From (Berlin, Jerman) dan Slambangriketychuck (Pusan, Korea Selatan). Filmnya yang ”legendaris”, Ketok, baru masuk FFI tahun ini.

Apa boleh buat, FFI—festival film made in lokal yang sudah berusia setengah abad—memang baru siuman setelah 12 tahun pingsan (baca, Selama Film Setan Masih Ditonton). Toh, di perhelatan perdana ini terkumpul 90 judul film pendek. Bukan jumlah yang jelek. ”Lebih dari separuh film itu bercerita tentang usaha bunuh diri,” ujar anggota dewan juri, Seno Joko Suyono. Ia tak melihat populernya tema itu sebagai cermin atas parahnya tingkat depresi masyarakat Indonesia saat ini, apalagi sebuah sinyal keputusasaan.

Riri Riza punya penjelasan lebih rinci. ”Film pendek adalah medium yang paling merdeka. Ia terbebas dari dominasi narasi, style, dan gagasan yang membekap film panjang,” ujar sutradara Petualangan Sherina itu, yang sedang menyelesaikan film terbarunya, Gie. ”Karena itu, sutradara film pendek tak terbebani oleh mimpi bahwa filmnya harus ditonton banyak orang.”

Dari 90 judul di meja panitia, melaju enam judul yang bertarung untuk memperebutkan Piala Citra. Dajang Soembi adalah yang paling ekstrem. Edwin mengemas legenda tentang ibu Sangkuriang itu dalam bentuk film bisu, hitam-putih, dengan teks yang menjelaskan komunikasi tiga tokoh utama: Dayang Sumbi, Sangkuriang, dan Tumang, anjing (sekaligus ayah) yang dibunuh Sangkuriang karena menolak berburu babi.

Sangkuriang, yang terobsesi untuk mengawini Sumbi (diperankan dengan efektif oleh Ine Febriyanti), lalu menghidangkan jantung Tumang sebagai lauk makanan. Sumbi, yang tak tahu suaminya dibunuh, mengunyah suguhan itu dengan nikmat sambil bertanya, ”Di mana ayahmu? Aku tak melihatnya dari tadi.”

Bagi Edwin, Dajang Soembi adalah potret yang paling pas tentang karakter masyarakat Indonesia sebagai anak yang tak tahu diri, Oedipus complex, dan rela membunuh ayah kandung. Ia menunjuk berbagai kejadian kekerasan di Tanah Air selama beberapa tahun terakhir sebagai contoh. ”Bagi saya, konsep masyarakat Indonesia yang selalu damai dan tenteram itu justru mitos yang terlalu dibesar-besarkan,” kata sutradara jebolan IKJ ini.

Secara estetis, Edwin menghidangkan kritiknya dengan menarik. Film itu tak seratus persen bisu. Denting piano merenda sekujur tubuh film secara proporsional. Namun, dalam penayangan untuk penonton, Edwin menyuguhkan duo violin-cello sebagai pengganti piano. Cita rasa sebuah film ”klasik” dapat dibangunnya dengan utuh.

Delapan film pendek lain yang menjadi finalis di JiFFest, dari 115 judul yang masuk, tak kalah variatif dalam menggali tema dan teknik bercerita. Mengejar Terbit (Ivan Poetra) memotret pasangan gay remaja yang terlibat sengketa dengan seorang preman yang menggemari pelacur laki-laki. Topik yang sedang hype di bidang kedokteran, teknologi cloning, menjadi obyek Wahyu Aditya, yang mengemasnya dalam tampilan animasi. Di tangan Wahyu, Stop Human Cloning menjadi film yang jenaka.

Kejelian mengulik tema juga dipertontonkan oleh Zeke Haris Gumilar (Unrescued World) dan Vanni Jamin (Gembos). Zeke menyuguhkan problem seorang musisi muda yang mendapati dunianya mendadak kiamat karena pendengarannya hilang. Untuk mendapatkan pendengarannya kembali, sang musisi melakukan ”penyucian” diri dengan merendam tubuhnya di dalam bath tub, yang terlihat seperti usaha bunuh diri.

Gaya surealisme yang ditawarkan Zeke ini membutuhkan konsentrasi lebih untuk bisa dipahami penonton. Di film ini, Zeke tak cuma menulis cerita dan menyutradarai, tapi juga membuat ilustrasi musik dan berperan sebagai Celi, sang musisi muda. Celi adalah alter-ego Zeke, yang sehari-hari memang pemusik dengan kelompok musik underground-nya, Zeke and The Popo. ”Musik itu ibarat istri, sedangkan film itu anak,” ujar pria yang pernah mengikuti sekolah penyutradaraan di New York Film Academy (London) dan liberal arts di Seattle, AS, itu.

Sementara Zeke memilih tema personal yang sangat emosional, Vanni menyodorkan bingkai karikatural terhadap sifat dasar manusia sebagai homo homini lupus lewat persaingan seorang tukang nasi goreng dan tukang tambal ban dalam film Gembos (The Standoff).

Di sebuah tempat yang tak terlalu ramai, ban sebuah gerobak nasi goreng tiba-tiba gembos tertusuk paku. Sialnya, tukang tambal ban terdekat menolak memperbaiki. Ia hanya mau membetulkan ban-ban mobil yang silih berganti datang ke bengkelnya yang sepi. Situasi berubah ketika tukang nasi goreng tahu bahwa tukang tambal ban itulah otak dari semua penggembosan. Tukang nasi yang polos mengikuti ”ritme permainan” dan mencoba mendulang peruntungannya sendiri dari situasi yang terjadi. ”Ini sifat manusia yang universal, yang selalu bersaing dan mencari keuntungan di posisi mana pun ia berada dalam kehidupan,” tutur Vanni.

Gembos adalah tesis Vanni sebagai mahasiswa S2 di American University, Washington, DC. Kendati perempuan berdarah Riau-Minang itu sejak SMA sudah meninggalkan Tanah Air—S1-nya jurusan visual arts di Prancis, dan ia baru kembali ke Indonesia menjelang Idul Fitri lalu—Vanni menampilkan denyut hidup dan keringat masyarakat kelas bawah yang terpinggirkan itu dengan sangat fasih, mengingatkan pada shot-shot Arifin C. Noer. Sebelum diputar di JiFFest, Gembos menjadi official selection di festival film empat negara (Italia, Rumania, Turki, dan di New York, AS), meski belum memenangi satu pun penghargaan.

Melihat berbagai film pendek yang tersaji di dua festival ini, mendung yang menggayut di cakrawala perfilman Indonesia rasanya akan segera berlalu. ”Apalagi, berdasarkan kebiasaan, meskipun tidak selalu demikian, film pendek sering menjadi langkah awal seorang sutradara untuk membuat film panjang,” tutur Riri, yang namanya mulai diperhitungkan sejak film pendeknya, Sonata Kampung Bata (1994), berhasil meraih penghargaan ketiga di Festival Oberhausen, Jerman.

Kali ini, ”sonata” para sutradara pemula itu terasa lebih menggetarkan dibandingkan dengan para senior mereka.

Akmal Nasery Basral

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus