Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MELANGKAH gontai dari ruang Komisi Pemberantasan Korupsi, Selasa pekan lalu, Abdullah Puteh terlihat tak lagi seyakin hari-hari sebelumnya. Diapit ketat sejumlah petugas keamanan, Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam itu berjalan dengan kepala merunduk. Di halaman gedung KPK di Jalan Juanda, Jakarta Pusat, sudah menanti sebuah mobil Toyota Kijang. Ia langsung diangkut ke Penjara Salemba.
Memasuki gerbang Salemba, Puteh tak sudi buka suara. Beragam pertanyaan wartawan, tapi ia terus melangkah hingga menghilang di balik jeruji besi. Sejak hari itu pola hidup Puteh berubah. Biasanya, kalau berkunjung ke Jakarta, ia tidur di hotel berbintang lima, seperti Mandarin dan Hilton. Jarang ia menyentuh kamar tidur yang khusus disediakan untuknya di Kantor Penghubung Provinsi Aceh di Jalan Indramayu, Menteng, Jakarta Pusat.
Kini di Blok K Penjara Salemba, Puteh harus ikhlas menempati kamar 1,5 x 3 meter, tanpa penyejuk udara. "Jika ingin buang air, Puteh menggunakan toilet bersama para tahanan lain," kata Kepala Penjara Salemba, Kusmin. Paling lambat 21 Desember nanti KPK akan mengirim berkas Puteh ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Puteh akan menjadi orang pertama yang diadili para hakim ad hoc tindak pidana korupsi yang dilantik Presiden pada Oktober lalu. KPK juga sudah meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberhentikan Puteh untuk se-mentara sebagai gubernur. KPK menjadikan Puteh tersangka korupsi penggelembungan dana pembelian helikopter tipe Mi-2 Rostov buatan Rusia seharga Rp 12,5 miliar.
Pembelian heli itu terjadi pada 2001. "Padahal, Angkatan Laut cuma mengeluarkan sekitar Rp 3 miliar untuk heli sejenis," kata J. Kamal Farza, koordinator Solidaritas Masyarakat Antikorupsi (Samak). Menurut Kamal, banyak kejanggalan dalam proses pembelian helikopter itu. Misalnya, surat perjanjian jual beli dibuat sampai dua kali, 26 Juni dan 10 Juli 2002.
Pembeliannya juga tanpa proses tender. Rekomendasi penunjukan langsung dikeluarkan setelah perjanjian pembelian heli diteken. Puteh diduga sudah memilih PT Putra Pobiagan Mandiri sebagai mitra pengadaan helikopter sejak awal. Pada April 2003 Samak mengadukan kasus ini ke Kejaksaan Agung. Namun tak ada tanggapan.
Setahun kemudian, Solidaritas Antikorupsi Aceh, sebuah LSM yang juga aktif mengusut korupsi yang terjadi di Aceh, melaporkan kasus pembelian helikopter ini ke KPK. Laporan ini mendapat tanggapan. Pada 30 Mei, KPK terbang ke Aceh, dan kasus ini pun mulai ditelusuri. Hasilnya, KPK menemukan indikasi, negara dirugikan sekitar Rp 4 miliar dalam pembelian helikopter itu.
Sebulan kemudian Puteh dan Direktur Utama PT Putra Pobiagan Mandiri, Bram H.D. Manoppo, ditetapkan menjadi tersangka. Ketua KPK, Taufiequrachman Ruki, menyampaikan tiga alasan menahan Puteh. "KPK khawatir yang bersangkutan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, serta melakukan tindak pidana korupsi lagi," katanya.
Penahanan Puteh tentulah menuai protes pengacaranya. "Itu kesewenang-wenangan," kata Juan Felix Tampubolon, satu di antara kuasa hukum Puteh. "Kesannya mencari sensasi. Dalam kenyataannya (Puteh) tidak pernah lari." Puteh juga merasa diperlakukan tidak adil karena KPK serta-merta melakukan penahanan terhadap dirinya. "Ia merasa dizalimi," kata O.C. Kaligis, pengacara Puteh lainnya.
Sejak awal Puteh membantah tudingan adanya korupsi dalam pembelian helikopter itu. Bahwa heli itu lebih mahal dari milik TNI Angkatan Laut, Puteh mengakuinya. "Tapi wajar, karena heli yang kami beli sudah dilengkapi peralatan khusus dan antipeluru," katanya kepada Tempo beberapa waktu lalu.
Menurut Juan Felix Tampubolon, KPK tak berwenang mengusut Puteh. Alasan Tampubolon, undang-undang KPK baru lahir pada 27 Desember 2002, sedangkan kasus pembelian heli terjadi pada Juli 2002. "Jadi ini pemberlakuan retroaktif," katanya. Bram H.D. Manoppo juga menyoal pemberlakuan retroaktif itu.
Manoppo sudah mengajukan gugatan judicial review, pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK itu, ke Mahkamah Konstitusi. Sejak akhir November lalu MK menyidangkan kasus ini. Tapi, di mata Kamal, alasan Tampubolon mempersoalkan kewenangan KPK tak tepat. Menurut dia, KPK mempunyai hak mengusut kasus Puteh berdasarkan Pasal 68 UU KPK.
Pasal itu menyatakan, semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya KPK dapat diambil alih oleh KPK. "Pembela Puteh berupaya agar KPK tak menangani kasus ini," kata Kamal.
Selain dijerat kasus helikopter, Puteh juga dibelit tuduhan melakukan korupsi dalam pembelian genset (pembangkit listrik) untuk Lueng Bata, Banda Aceh. Kasus yang merugikan negara Rp 11 miliar itu kini ditangani Kepolisian Daerah Aceh dan Mabes Polri. Hanya, dalam kasus ini, baru kontraktor pengadaan genset, William Taylor, yang ditetapkan polisi sebagai tersangka.
Menurut Muchtar Luthfi, bekas pegawai Badan Pengawas Daerah Aceh, banyak keganjilan di balik pembelian genset ini. Misalnya, Pemerintah Daerah Aceh "berbaik hati" meminjamkan Rp 30 miliar dalam bentuk kredit lunak untuk si pengusaha, karena ia tak punya dana. Itu terjadi pada November 2002.
Celakanya, uang yang dipinjamkan kepada kontraktor pengadaan genset itu adalah dana cadangan pendidikan untuk rakyat Aceh. Dana ini ditempatkan di Bank Pembangunan Daerah Aceh, yang selanjutnya dijadikan modal membeli genset. Belakangan muncul keanehan lain. William menyetor Rp 3 miliar ke rekening PT Seulawah NAD, perusahaan penerbangan yang digagas Puteh, pada 20 Desember 2002. William, kata Luthfi, melakukannya dua pekan setelah ia menarik Rp 14 miliar.
Menurut Luthfi, uang dari William itu dimaksudkan "menambah darah" Seulawah, maskapai penerbangan yang diresmikan Puteh pada 2001, dan hingga kini pesawatnya tak pernah terlihat melintas di angkasa Aceh. Luthfi menduga, uang itu dikirim atas perintah Puteh. Samak juga menemukan data tentang pengiriman uang yang dilakukan William ke rekening pejabat penting di Aceh.
Kasus genset ini mulai ditangani polisi sejak April 2004. Juli lalu, Puteh juga sempat dimintai keterangannya oleh Mabes Polri. Tapi ia menampik adanya penyelewengan dana dalam pembelian pembangkit listrik ini. Menurut dia, dana itu tidak dipakai untuk membeli genset, tetapi dipinjam oleh mitra PLN. "Jadi tidak habis itu uang, bahkan ada bunganya," kata Puteh waktu itu.
Tetapi saksi ahli dari Departemen Dalam Negeri menyatakan pengadaan genset itu menyalahi prosedur. Kendati demikian, Direktur III Tindak Pidana Korupsi, Brigjen Indarto, bersikukuh mengatakan belum bisa menetapkan Puteh menjadi tersangka. "Mabes Polri masih menunggu hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan," katanya.
Alasan polisi ini disesalkan Samak. Menurut Kamal, ini akan bertele-tele. Itu sebabnya ia berharap KPK segera mengambil alih kasus genset itu. "Rakyat mendukung KPK, kok," kata Kamal. "Kami rakyat Aceh ingin daerah kami menjadi contoh dan bersih dari koruptor."
Nurlis E. Meuko, Ami Afriatni, Sutarto, Martha Warta, dan Yuswardi Suud (Banda Aceh)
Heli Rusia yang Membengkak
Helikopter Jenis: Mi-2, merek PLC Rostov, Rusia.
Harga pengadaan versi Puteh: US$ 1,25 juta (Rp 11,375 miliar, dengan kurs Rp 9.100 per dolar). Ini berarti harga sudah membengkak US$ 725 ribu (Rp 6,597 miliar) lebih mahal dibandingkan dengan heli milik TNI AL yang berharga US$ 350 ribu (Rp 3,185 miliar). Artinya, dengan uang pengadaan itu, seharusnya bisa didapat empat heli sejenis yang dimiliki Angkatan Laut.
Perbedaan: heli milik TNI AL bermuatan maksimum 13 ton, sedangkan milik Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam spesifikasinya adalah penumpang VIP. Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi, bahkan kalau heli itu ditambah dengan berbagai perlengkapan tambahan, misalnya kaca antipeluru, harga maksimal yang pantas adalah US$ 525 ribu (Rp 4,7 miliar) sebuah.
Kronologi Kasus Puteh
18 Juni 2001 PT Catur Daya Prima mengajukan penawaran helikopter Mi-2 dengan harga US$ 2,5 juta (tidak termasuk PPn 10 persen), biaya transportasi dan asuransi US$ 275 ribu, dan biaya pelatihan pilot dan kru US$ 30 ribu.
28 Juni 2001 Gubernur mengeluarkan letter of intent yang ditujukan kepada PT Putra Pobiagan Mandiri tentang ketertarikan untuk membeli helikopter Mi-2.
17 Juli 2001 Gubernur menerbitkan surat permintaan "sumbangan" dari kepala daerah tingkat dua di Aceh untuk pembelian helikopter.
26 Juni 2002 Penandatanganan perjanjian jual-beli helikopter antara Abdullah Puteh dan Bram H.D. Manoppo.
3 Juli 2002 PT Putra Pobiagan Mandiri mengajukan penawaran helikopter seharga US$ 1,25 juta.
8 Juli 2002 Gubernur mengeluarkan surat keputusan tentang penunjukan PT Putra Pobiagan Mandiri sebagai pelaksana pengadaan helikopter Mi-2 dengan nilai total (kurs saat itu) Rp 12,6 miliar.
10 Juli 2002 Surat perjanjian pembelian diteken.
Januari 2003 Helikopter tiba di NAD.
Januari 2003 Solidaritas Masyarakat Anti-Korupsi menyiarkan ada dugaan korupsi dalam pembelian helikopter.
April 2003 Samak melaporkan kasus ini ke Kejaksaan Agung RI (tapi tidak ada tindak lanjut).
25 April 2004 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan sudah menerima laporan dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat di Aceh mengenai kasus dugaan korupsi Abdullah Puteh.
11 Mei 2004 Anggota KPK terbang ke Aceh menindaklanjuti laporan tersebut.
30 Mei 2004 KPK mulai memeriksa sejumlah pejabat.
4 Juni 2004 KPK meminta keterangan Abdullah Puteh.
29 Juni 2004 Abdullah Puteh menjadi tersangka.
14 Juli 2004 Abdullah Puteh diperiksa.
2 Juli 2004 KPK mengeluarkan surat pencekalan untuk Abdullah Puteh dan Bram H.D. Manoppo.
7 Desember 2004 KPK menahan Abdullah Puteh dan menitipkannya di Penjara Salemba, Jakarta Pusat.
Nurlis E. Meuko (dari berbagai sumber)
Tersangka
Abdullah Puteh, Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam. Bram H.D. Manoppo, Direktur Utama PT Putra Pobiagan Mandiri (rekanan).
Kemungkinan tersangka akan bertambah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo