Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Cinta yang Mengacau Rencana

Sutradara Fatih Akin menciptakan sebuah film radikal tentang generasi ketiga masyarakat Turki di Jerman. Salah satu puncak JiFFest 2004.

13 Desember 2004 | 00.00 WIB

Cinta yang Mengacau Rencana
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Gegen Die Wand Sutradara: Fatih Akin Skenario: Fatih Akin Pemain: Sibel Kekilli, Birol Ünel, Catrin Striebeck Produksi: Wueste Film, bekerja sama dengan Corazon International, Hamburg, 2003

Ada banyak cara untuk memulai perkawinan. Sibel, seorang gadis 21 tahun, memotong nadi di tangannya dan meminta seorang lelaki menikahinya. Sibel gadis yang menarik. Walau baru mengenalnya beberapa hari, lelaki itu setuju. Mereka menikah secara formal. Sibel mengurus segala keperluan suaminya, termasuk finansial. Perjanjiannya cuma satu: jangan halangi Sibel untuk tidur dengan siapa pun.

Itulah Gegen Die Wand, satu di antara film-film JiFFest 2004 yang mengagumkan. Ada kegilaan para tokoh dan ceritanya, tapi sutradara Fatih Akin telah menawarkan lebih dari itu: masalah generasi imigran, benturan budaya tanah leluhur dengan budaya Jerman.

Akin berdarah Turki, tapi lahir dan besar di Hamburg, Jerman, 31 tahun silam. Imajinasi serta pengalamannya sebagai keturunan Turki generasi ketiga melahirkan pasangan aneh Sibel (Sibel Kekilli)-Cahit (Birol Ünel) dalam Gegen Die Wand. Sibel gadis muda yang masih ingin bersenang-senang, tapi adat mengharuskannya cepat menikahi pria Turki. Cahit (Birol Ünel) berusia 44 tahun, tapi masih ingin tampil funky. Penampilannya bak rocker, tapi pekerjaannya cuma memungut botol bekas di bar. Ia suka madat dan mabuk.

Mereka bertemu di rumah sakit jiwa, di tempat orang-orang memilih bunuh diri sebagai jalan keluar, lalu menikah. Perkawinan mereka berjalan sesuai dengan kesepakatan. Sibel masih bebas parkir ke lelaki lain. Begitu pula Cahit. Ia masih kerap tidur dengan Maren (Catrin Striebeck), seorang kapster salon, juga teman kerja Sibel. Skenario berjalan lancar-lancar saja, hingga suatu saat: Cahit mulai mencintai istrinya. Seperti lelaki tradisional umumnya, ia bahagia melihat Sibel memasak, menata rumah untuknya.

Cinta mengacaukan rencana: emosi menguasai rasio, cemburu mulai membara. Inilah perubahan yang rupanya sangat destruktif—semakin destruktif dengan cacat pada kejiwaan mereka. Bagian-bagian yang patologis inilah yang ikut mempercantik film. Gegen Die Wand penuh adegan banal dan kekerasan—dalam kata-kata maupun seksual. Tapi sutradara Fatih Akin melakukan banyak: dari menyulap Sibel Kekilli dari bintang film porno menjadi aktris berkarakter, hingga menebarkan parodi lucu di sepanjang tayangan 120 menit. Bayangkan, Cahit yang usianya hampir separuh abad itu berjoget, diiringi musik rock, meneriakkan punk never dies.

Gegen Die Wand bagian dari kecenderungan film yang semakin eksperimental dan personal. Sinematografinya tak teramat istimewa: ada cahaya yang kelam dan kamera yang cenderung mengikuti gerakan aktor, namun film tampak mengena dengan karakter radikal para tokohnya dan jalan cerita. Lantas, ditambah eksotisme Turki, sekelompok pemusik, seorang penyanyi wanita dengan latar Kota Istanbul. Penyanyi melantunkan lirik yang membuka dan membagi film dalam sejumlah babak. Semua ini mengantarnya meraih Golden Bear, penghargaan tertinggi untuk film terbaik dalam Festival Film Berlin ke-54.

Dalam 18 tahun terakhir, inilah film Jerman pertama yang menang dalam Festival Berlin. Prestasi ini diharapkan menjadi awal kebangkitan industri film Jerman di dunia setelah kesuksesan internasional film Good Bye, Lenin! dan kemenangan Nowhere in Africa dalam Oscar tahun lalu. "Aku sendiri senang bisa membuat dua negara bahagia sekaligus," ujarnya di sebuah media setempat. Dua negara tersebut adalah Turki dan Jerman.

Dengan reputasi ini, Gegen Die Wand mewakili tema silang budaya dari 18 film Uni Eropa yang tengah diputar da-lam rangka JiFFest keenam. Sebagian besar film yang diputar mengisahkan kehidupan masyarakat asing/imigran di sebuah negara. Kita lihat Dirty Pret-ty Things, film Inggris karya Stephen Fears. Film ini mengisahkan kehidupan kaum imigran yang terpaksa menjual organ vitalnya di Inggris. Lantas Monsieur Ibrahim, persahabatan bocah Yahudi dengan lelaki tua muslim asal Persia di Prancis pada 1960-an. Atau Lilja 4-Ever, film Swedia yang berkisah tentang usaha menyambung hidup seorang gadis asal Rusia.

Film-film tersebut umumnya meminjam satu atau dua karakter untuk mewakili kehidupan komunitas yang lebih besar. Sebagian besar kisah bergulir pedih, namun tak sedikit yang berjalan manis seperti Monsieur Ibrahim, sebuah persahabatan dan kasih sayang yang melintasi batasan ras dan agama. Suatu harapan yang seharusnya terwujud tak hanya di film.

F. Dewi Ria Utari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus