BELUM lama ini terdengar kabar bahwa pemerintah akan meningkatkan peran swasta di bidang kesehatan. Kemudian beredar selentingan, Departemen Kesehatan akan mengajak rumah sakit swasta untuk bersama-sama menanggung pelayanan kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan tentang penempatan dokter di rumah sakit swasta, akhir tahun lalu, memang mengacu ke spekulasi ini. Namun, pertengahan Mei silam mincul rencana Depkes yang ternyata lebih kompleks daripada sekadar meningkatkan peran rumah sakit swasta. Dalam surat jawaban kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tertanggal 15 Mei 1989, Departemen Kesehatan ada menyatakan bahwa rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan yang bisa dipromosikan dalam program Penanaman Modal 1989. "Kita membutuhkan tambahan rumah sakit dan tambahan tempat tidur," kata dr. Brotowasisto, M.P.H., Direktur Jenderal Pelayanan Medik Depkes, tentang kebijaksanaan itu. "Dalam Pelita V kita memerlukan penambahan 36 rumah sakit paling sedikit," katanya lagi. "Dan karena keterbatasan dana, pemerintah cuma bisa membangun 5 rumah sakit." Brotowasisto mengemukakan, rasio tempat tidur rumah sakit kita kini hanya 0,6 tempat tidur per 1.000 orang. Padahal, Muangthai sudah mencapai 1,6 tempat tidur per 1.000 orang. Karena itu, diperlukan bantuan modal swasta. Kapan pelaksanaannya? Agaknya belum segera, karena menurut Dirjen, "Masih harus menunggu berbagai peraturan menteri, bersama petunjuk pelaksanaannya." Kendati belum jelas, rencana Depkes ini mengundang berbagai reaksi, karena dianggap bertentangan dengan prinsip pelayanan kesehatan. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pekan lalu resmi mengeluarkan pernyataan. "IDI cenderung tidak setuju," kata dr. Azrul Azwar, Ketua Umum IDI. Menurut Azrul, sarana kesehatan sulit dijadikan lahan penanaman modal. Dalam bisnis, kompetisi dan tujuan mencari keuntungan tidak dibatasi, tapi di sisi lain, konsumennya tidak dipaksa. "Di bidang kesehatan, pasien tidak bisa memilih," tutur Azrul. Ahli ekonomi kesehatan Dr. Ascobat Gani sependapat dengan Azrul. "Dalam Undang-Undang PMA 1967 jelas disebutkan, investasi modal adalah bisnis," katanya. "Artinya, motifnya profit." Lebih lanjut Ketua Jurusan Administrasi Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia ini mengutarakan, "Kesehatan sebagai komoditi berbeda dari komoditi lainnya." Ditambahkannya lagi, menurut Undang-Undang Pokok Kesehatan Tahun 1960, bidang kesehatan termasuk sektor yang tidak diperbolehkan menjadi lahan untuk mencari keuntungan. Pemimpin redaksi jurnal kedokteran Medika, dr. Kartono Mohamad, bersikap agak lain. Ia menilai sikap Depkes tentang investasi dan reaksi yang mengkritiknya sebagai hal yang ironis. "Sekarang ini penanaman modal di rumah sakit swasta yang berkaitan dengan mencari untung sudah banyak," katanya. Peraturan Depkes yang mengharuskan rumah sakit dikelola yayasan ternyata tidak bisa menjamin rumah sakit swasta tidak mencari untung. Selain itu, menurut Kartono, kebanyakan rumah sakit sekarang ini tidak dikelola secara profesional. "Banyak yang tidak efisien, terutama karena tidak pastinya kedudukan tenaga dokter," katanya. "Keadaan ini bukan tidak mungkin membuat biaya pelayanan kesehatan malah menjadi terlalu tinggi." Karena itu, Kartono melihat adanya peluang perbaikan, dengan munculnya niat Depkes mengundang investasi ke sektor rumah sakit. Siapa tahu, rumah sakit swasta bisa berkembang menjadi lebih profesional, dan mutu pelayanannya lebih ditingkatkan. "Dengan adanya tantangan baru ini, Depkes harus menyusun peraturan baru, yang kelak berlaku juga bagi rumah sakit yang sudah ada." Targetnya, menguntungkan semua pihak. Azrul Azwar maupun Ascobat Gani sependapat dengan Kartono dalam hal perlunya regulasi yang cermat, bila Depkes mau mengundang investasi swasta ke sektor rumah sakit. "Praktek bisnis dalam pelayanan kesehatan harus diikuti peraturan yang kuat, agar modal yang ditanamkan tidak disalahgunakan," katanya. Di masa kini peraturan Depkes sangat lemah dan tidak bisa diandalkan dalam menghadapi praktek bisnis yang canggih. "Sekarang ini saja kan banyak rumah sakit yang prakteknya bisnis dan profit making, tapi benderanya yayasan yang tidak kena pajak." Untuk mengatasi dampak samping investasi di bidang kesehatan, Azrul, Kartono, dan Ascobat sama-sama berpendapat akan perlunya pemerintah menoleh ke pengembangan sistem asuransi kesehatan. "Sistemnya sebaiknya mendekati prinsip Asuransi Kesehatan (Askes), yang dikenal sebagai Health Maintenance Organisation (HMO)," kata Ascobat. Dalam sistem ini asuransi dan jaringan rumah sakit yang menjadi anggotanya bersama-sama menyelenggarakan pelayanan kesehatan. "Profit didapat pihak asuransi dan rumah sakit, bila mereka bisa menekan insidensi sakit dengan upaya pencegahan penyakit," katanya. Karena itu, dalam sistem ini tidak akan terjadi: semakin banyak penderita, rumah sakit semakin untung. Melihat peran-sistem asuransi itu, Ascobat memperkirakan rencana Depkes mengundang investasi nantinya akan efektif bagi kelas menengah dan atas saja. "Kalau kelas bawah, membayar premi asuransi saja pasti tidak mampu," katanya. Dan kelompok bawah ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah. "Kalau kelas atas bisa memilih sendiri jenis pelayanan kesehatan. Kalaupun mahal, kan tidak apa-apa." Senada dengan Ascobat, Kartono berpendapat perlunya pemerintah membagi-bagi jenis pelayanan kesehatan, berdasarkan segmentasi masyarakat. Masing-masing kemudian mempunyai peraturan sendiri. "Problem kita, menurut saya, pada penyusunan regulasi yang tidak mudah ini," katanya. "Dan yang kita khawatirkan Depkes tergesa-gesa membuatnya karena desakan program BKPM."Jim Supangkat, Sri Pudyastuti, Sugrahetty Dya (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini