Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Ruang gawat darurat di udara

Direktorat kesehatan TNI-AU membangun ruang gawat darurat di pesawat dc-10 garuda hasil rancangan kolonel (AU) MT Budiono. pasien pertama yang dirawat, mantan ketua bp-7, sarwo edhi wibowo.

3 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENYEMBUHAN Letnan Jenderal (Purn.) Sarwo Edhi Wibowo, yang terserang stroke 6 Maret silam, masih terus diupayakan. Sebuah rencana untuk menerbangkan bekas komandan Kopassus AD itu ke Washington disiapkan. Pak Sarwo memang memerlukan perawatan lebih lanjut. Namun, karena ia tergolong pasien poststroke, niat itu tidak begitu saja bisa dilaksanakan. Mantan Ketua BP-7 yang berjasa menumpas G30S-PKI, 24 tahun lampau, tidak mungkin diangkut dalam keadaan separuh duduk, seperti yang biasa dilakukan terhadap pasien gawat. Baginya diperlukan ruang gawat darurat di pesawat komersial biasa, yang bisa berfungsi selama 22 jam penerbangan. Ternyata, Direktorat Kesehatan TNI-AU sanggup membangun sarana yang dibutuhkan itu -- satu hasil rekayasa para ahli Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (Lakespra) TNI-AU Dr. Saryanto. Maka, hari Jumat, 19 Mei, dua pekan lalu, Pak Sarwo dapat diangkut ke Los Angeles dengan pesawat DC-10 Garuda, yang sebagian kabinnya sudah dimodifikasi. Penerbangan ke Los Angeles, yang kemudian dilanjutkan ke Washington dengan pesawat ambulans lokal itu, dipimpin anestesiolog Dirkes TNI AU. dr. Eri Tohari. Ahli anestesi ini bertanggung jawab mengkoordinasikan semua pengoperasian peralatan di kabin istimewa itu. Dan ternyata semuanya berlangsung baik. "Kalau saja dr. Eri gagal, seluruh proyek TNI-AU itu boleh dibilang gagal juga," kata Marsekal Pertama (AU) dr. Raman R. Saman, Kepala Lakespra TNI-AU. Membangun ruang gawat darurat di pesawat komersial, menurut dr. Saman, baru pertama kali ini dilakukan. Salah seorang perancangnya, Kolonel (AU) dr M.T. Budiono, mengutarakan, sebenarnya TNI-AU memiliki sebuah kontainer medis udara, berupa ruang gawat darurat khusus, yang bisa dimasukkan ke pesawat Hercules. Dalam kontainer ini, bahkan bisa dilakukan operasi. Hanya ada satu kesulitan: untuk menerbangkan sebuah Hercules ternyata sangat mahal. Di samping itu, kemampuan terbang nonstop Hercules terbatas. Namun, kontainer medis udara itu pula yang memungkinkan pembuatan ruang gawat darurat di DC-10. "Peralatan di kontainer itulah yang kami pindahkan," kata dr. Budiono. Untuk membangun ICU (Intensive Care Unit) ini, 16 kursi kelas satu DC-10 mengalami perubahan. Perinciannya: empat kursi diubah menjadi tempat tidur, dua kursi untuk dokter, satu kursi untuk perawat, dan dua kursi lagi untuk keluarga. Sisanya, tujuh kursi, dibuka untuk menempatkan peralatan ICU. Yang utama, peralatan alat bantu pernapasan (respirator) dan alat pacu jantung darurat -- diperlukan bila detak jantung menurun tiba-tiba. Kemudian peralatan monitor jantung dan peralatan untuk mendeteksi jumlah cairan tubuh. Peralatan infusnya juga dua macam, untuk memasukkan cairan yang diperlukan tubuh dan cairan yang mengandung obat. Yang ditiadakan dalam ruang ICU itu adalah peralatan pembedahan di udara, seperti lampu, dan peralatan anestesi yang sangat canggih. Pada kasus Pak Sarwo memang diperhitungkan tidak akan ada kemungkinan mengoperasi. "Sebenarnya, kalau diperlukan, kami bisa juga menyiapkan ruang operasi itu, " kata Budiono lagi. Berapa lama dibutuhkan untuk pembuatan ruang ICU itu? "Karena ini untuk pertama kalinya, kami memerlukan waktu dua minggu untuk merancang, memasang, kemudian melakukan percobaan dan latihan," jawab dr. Saman. Kesulitannya adalah, tidak ada buku yang bisa dijadikan rujukan untuk reka yasa itu. Lakespra telah mencoba memintanya dari AU Inggris, tapi tidak sepotong pun petunjuk bisa diperoleh, karena memang tidak ada. Untunglah, kesulitan itu kini sudah teratasi. "Karena itu, kalau lain kali diperlukan, kami bisa menyiapkannya dalam dua hari, dan pemasangan peralatannya sendiri paling lama tiga jam," kata dr. Saman. Membangun ICU udara itu, ternyata, tidak mudah. Ada berbagai hal medis yang harus diperhitungkan, di samping masalah memasang peralatan. Tempat tidur pasien, misalnya, setelah didiskusikan diputuskan harus dipasang melintang. "Bila membujur, sejajar dengan tubuh pesawat, kami khawatirkan akan terjadi pooling darah di bagian kaki atau kepala, ketika pesawat take off," kata Budiono. Pengumpulan darah di kepala memang harus dihindari, karena sangat berbahaya bagian pasien stroke. Perhitungan lain yang juga menuntut pemecahan ialah mengatasi tekanan udara pada 35.000 kaki (ketinggian terbang DC-10). Pada ketinggian ini, tekanan udara menjadi rendah. Akibatnya, frekuensi pernapasan menjadi lebih tinggi. Pada pasien post stroke, hal itu tidak boleh terjadi. "Agar frekuensi pernapasan pasien tidak berubah, diperlukan alat bantu pernapasan yang bisa memompakan oksigen tiga liter per menit." kata dr. Saman. Untuk ini, diperlukan tangki khusus berisi 7.000 liter oksigen. "Kondisi Pak Sarwo sendiri sebenarnya belum memerlukan alat bantu pernapasan itu," katanya lebih lanjut. Berarti, kalau di darat, pernapasan Pak Sarwo masih berfungsi baik. Selain tekanan udara, kelembapan udara dan suhu pada ketinggian 35.000 kaki, menurut dr. Budiono, juga turun. "Turunnya kelembapan dan temperatur ini bisa mengakibatkan pasien lebih cepat kekurangan cairan tubuh," katanya. Untuk mengatasinya, disediakan peralatan khusus untuk mengatur suhu dan penguapan cairan tubuh pasien. Bagi Garuda sendiri, kemampuan TNI-AU membangun ICU udara mungkin membuka sebuah peluang baru, karena sampai kini Garuda tidak mempunyai pesawat ambulans khusus. Direktur Pemasaran Garuda, Soenarjo, mengemukakan, untuk memasukkan ambulans khusus ke armada Garuda, memang dibutuhkan investasi yang tidak kecil. "Karena itu, Garuda belum merencanakan untuk membelinya," kata Soenarjo. Padahal, keperluan mengangkut pasien gawat ke luar negeri, bukannya tidak ada. "Banyak pasien yang sudah diterbangkan Garuda, lengkap dengan dokter, peralatan oksigen dan infusnya," ujar sang direktur. Dia memberi contoh: pemilik Gudang Garam yang beroperasi jantung ke Australia. Namun, menurut Soenarjo, sementara ini Garuda belum punya rencana bisnis untuk membangun ICU udara, seperti yang sudah dirintis TNI-AU itu.Tommy Tamtomo, Bambang Aji Setyadi, Jis (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum