SUARANYA mirip terompet. Nadanya berbeda, tapi bersahut-sahutan menggema di kawasan kaki Gunung Geureudong, Aceh Tengah. Bunyi yang menguak itu dari mulut lebih dari 20 ekor gajah yang sekarang tersekap di lembah curam. Luasnya sekitar 1 hektar. Lembah tersebut bukan tempat tinggal gajah-gajah itu. Pantas mereka berteriak minta tolong, seraya mengempaskan belalainya. Melihat gelagat itu, Sutrisno, penduduk Kecamatan Bandar Baru, yang sedang mencari rotan di pagi pekan lalu, lantas memberi tahu para petani kopi terdekat. Sehari kemudian, mereka ramai-ramai ke lokasi gajah yang terperangkap itu. Tapi tak seorang punya akal untuk menolong kawanan binatang tersebut. Kemudian berita gajah terperangkap merebak ke Kecamatan Timang Gajah melalui para sopir truk yang mengangkut kayu pinus milik PT KKA (Kertas Kraf Aceh). Atas inisiatif pemilik truk, Ali Narata, informasi itu diteruskan kepada Andi Basrul, Kepala Pusat Latihan Gajah (PLG) Sub-Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Tengah. Andi yang berpengalaman mengenali perilaku gajah heran mengapa hewan-hewan tersebut bisa terperangkap. Naluri gajah amat kuat. Ke mana pun pergi jarang sesat. Ia menghubungi Muhammad Waladi Isnan, Kepala Sub-BKSDA Aceh Tengah. Kemudian dibentuk panitia penyelamatan. Dua pawang dari Muangthai, Sen Ka Chai dan In Tawa Kasupan, menjadi andalan tim. Mereka sudah dua tahun di Aceh Tengah menjinakkan gajah. Karena daerahnya terjal, kawanan gajah itu sulit keluar. Ketinggiannya 1. 800 meter. Padahal, yang menjadi pilihan gajah biasanya yang 1.500 meter di atas permukaan laut. "Barangkali ada anak gajah yang terperosok. Karena kawanannya mau membantu, tapi terperosok semuanya," tutur Andi lagi. Rasa setia kawan sesama gajah memang tinggi, dan amat sayang pada anak-anaknya. Selain hidup bergerombol, biasanya, anaknya itu dilindungi di tengah kawanan -- apalagi kalau menyeberangi sungai. Kawanan gajah itu dikira tersesat tatkala mencari makan, entah umbi-umbian atau pucuk dedaunan pohon. Apalagi selama sebulan ini Kabupaten Aceh Tengah terus diguyur hujan. Udara dingin di lembah Gunung Geureudong, apalagi pagi, selalu diselimuti kabut tebal. Karena tak terlihat, rupanya kabut memerangkap mereka. Menurut sumber TEMPO, gajah-gajah itu diduga berasal dari tiga kecamatan di daerah gas alam Aceh Utara: Samtalira Bayu, Kuta Makmur, Meurah Mulia. Setelah kebun karet lebih dari 11.000 hektar dibuka pengusaha swasta, maka sekitar 50 gajah di tiga daerah itu kini belum jelas rimbanya. Jarak ke lembah Geureudong sekitar 30 km. Sedang untuk ke sana kawanan gajah-gajah tersebut harus menyeberangi tiga sungai besar: Krueng Passe, Krueng Keureuto, dan Krueng Pirak. Tak hanya habitat gajah di Aceh Utara itu yang berubah. Seperti dilihat wartawan TEMPO, di sekitar jalan raya antara Kecamatan Timang Gajah dan Takengon, Aceh Tengah, bukit-bukit di sana sudah gundul. Bekas penebangan, tunggul kayu, di sana-sini masih tampak. Sedang hutan sekunder yang menjadi habitat gajah -- termasuk tempat cari makan -- banyak ditebangi dan dimanfaatkan. Misalnya untuk kebun kopi dan kebun karet. Karenanya, Camat Timang Gajah mengkhawatirkan penebangan hutan makin hari kian gila-gilaan. "Kayu pinus di bukit di belakang kantor saya saja, yang saya larang ditebangi, tidak digubris," kata Armiya yang baru dua bulan sebagai camat di sana. Laju penebangan memang cepat dari penanaman kembali. Padahal, menurut pengamatan Sub-BKSDA Aceh, seekor gajah butuh sekitar 350 hektar hutan primer atau sekunder untuk habitatnya. Sedang di Padangserpihan, Sumatera Selatan, 260 hektar sudah cukup untuk seekor gajah. Tapi rasio terkecil itu tak lagi cukup untuk populasi gajah di Aceh Tengah. Mereka diperkirakan 800 ekor. "Paling-paling hutan sekunder yang ada untuk seekor gajah cuma 180 hektar," ujar Andi. Bisa dibayangkan apabila habitatnya kian menyempit, gajah semakin langka. Sementara itu, upaya melestarikan gajah dan mendayagunakannya, atau entah disekolahkan, masih terbatas. Dua tahun ini sudah 32 gajah yang ditangkap PLG Lhokseumawe. Di antaranya 13 ekor diangkut ke Taman Safari di Bogor, dan tujuh ekor yang dilatih. Tapi itu butuh biaya Rp 140 ribu per bulan. Belum lagi gaji 38 petugas. Itu di luar untuk dua ahli dari Muangthai. Sedang pekerjanya masih tinggal di gubuk-gubuk berukuran 36 m2. "Pokoknya, memprihatinkan," tutur Andi. Boleh dipahami bila kawanan gajah Aceh tak mendapat kesempatan disekolahkan. Kapasitasnya masih terbatas. Dan samai sekarang juga belum tampak ada usaha penyelamatan. Sebab, beberapa alat belum siap. Ditambah lagi cuaca yang tak mendukung: hujan, plus kabut. "Belum pasti kapan kawanan gajah tersebut bisa diselamatkan. Jangan-jangan sekarang sudah banyak yang mati," ujar Andi.Suhardjo Hs. dan Mukhlizardy Mukhtar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini