SUDAH 33 tahun negeri kita merdeka, namun kebutuhan pokok
rakyat, yaitu pangan masih tetap merupakan titik rawan," kata
Presiden Suharto. Apa yang dikatakan Kepala Negara ketika
meresmikan Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak di Ciawi,
Jawa Barat, minggu lalu memang merisaukan. Karena itu tema "Gizi
dan Pembangunan" untuk Hari Kesehatan Nasional ke XIV (12
Nopember) nampaknya ditonjolkan.
Bayangkan, sekarang ini tercatat 12 juta orang atau hampir 10%
dari penduduk Indonesia menderita gondok. Mereka hidup
menyedihkan, dengan leher yang membengkak dan tingkat kecerdasan
yang sangat kurang, di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,
Bali, Nusatenggara dan Irian Jaya.
Penyakit gondok yang disebabkan oleh kekurangan yodium nampaknya
bukanlah semata-mata karena kesalahan penduduk. Persediaan air
di daerah mereka memang kebetulan kurang mengandung zat yang
amat dibutuhkan tubuh itu. Distribusi dan penyediaan garam yang
mengandung yodium secukupnya tetap merupakan jalan yang pantas
dipilih. Ini pandangan mereka di bidang kesehatan masyarakat
yang muncul sejak adanya perbedaan pendapat sekitar perlu
tidaknya monopoli pemerintah atas pembuatan garam.
Perhatian pemerintah untuk menanggulangi penyakit gondok ini
cukup besar. Bantuan dari luar juga cukup, antara lain dari
UNICEF dalam bentuk tenaga ahli. Pemetaan daerah endemis gondok
di seluruh Indonesia sedang dikerjakan.
0-6 Tahun
Setelah gondok, kekurangan vitamin A menduduki tempat teratas
pula dalam daftar kekurangan gizi masyarakat, terutama yang
tinggal di pedesaan. Saat ini lebih dari 90.000 anak usia antara
0-6 tahun terserang kekurangan vitamin A dalam kategori berat
dan bisa menyebabkan kebutaan. Ada 1,4 juta anak kekurangan
vitamin A tingkat sedang dan 15 juta lainnya tingkat ringan.
Sadar mengenai ancaman kebutaan, maka pemerintah menyediakan
vitamin A dosis tinggi secara cuma-cuma untuk anak-anak di
pedesaan -- salah satu langkah yang diambil Departemen
Kesehatan.
Menurut dr Malasan MPH yang sehari-harinya mengepalai direktorat
gizi, Depkes, kekurangan gizi amat gampang ditandai. "Jika anak
tiap bulan ditimbang berat badanya tidak naik, ini tandanya ia
kekurangan gizi," katanya. Tahun 1979, ditaksirnya 9% juta anak
umur O sampai 6 tahun menderita kekurangan kalori-protein.
Tapi kekurangan gizi ini tidak hanya menjadi wajah buruk
anak-anak kita. Juga ada sekitar 400.000 ibu yang sedang
menyusui terancam kesehatan anaknya, karena mereka kurang gizi.
Selama kekurangan gizi tadi menyerang penduduk pedesaan, tak
pelak lagi kemiskinan adalah penyebabnya. "Sebelum kemiskinan
bisa dihapuskan masalah gizi akan tetap belum teratasi," begitu
keyakinan Malasan.
Dari luar lingkungan pemerintah, perhatian terhadap kekurangan
gizi ini nampak tumbuh juga. Di Flores, misalnya, sejak serangan
"wabah kelaparan" beberapa bulan lampau. Dana Sosial dari
kalangan Katolik di sana sangat membantu. Badan ini mendirikan
taman-taman gizi di daerah yang jadi pusat kelaparan. Dengan
kader-kader yang muda-muda, bahan makanan berupa nasi, ikan asin
dan susu mereka junjung melintasi belukar dan bukit-bukit. Di
Serpong, Jawa Barat, pihak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia juga punya proyek perbaikan gizi, dengan memanfaatkan
taman gizi. Di situ biasanya yang ditampung adalah anak-anak
saja, sementara orang tua mereka hanya datang menjenguk.
Sasaran pemerintah kelihatannya tidak hanya terbatas pada
lapar-gizi yang diakibatkan oleh kemiskinan pada masyarakat
kelas bawah, tapi juga pada masyarakat menengah dan atas
terutama yang menghuni daerah perkotaan. Upaya pemerintah ini
tentu masih sangat terbatas. "Jangankan orang di daerah
pedesaan, mereka di kota pun belum bergizi baik," cetus ir
Suwadi dari Departemen Pertanian yang duduk dalam panitia HKN
tahun ini.
Dari sebuah penelitian oleh Institut Pertanian Bogor di daerah
Sleman diketahui penyebaran kekurangan gizi dalam masyarakat
meliputi 23% kelas bawah, 16% kelas menengah dan 2% kelas atas.
Penggolongan masyarakat dalam penelitian ini didasarkan pada
jumlah rupiah yang dikeluarkan perorang/bulan untuk makanan.
Kelas bawah kurang dari Rp 3.000, kelas menengah antara Rp 3.000
sampai Rp 6.000, kelas atas lebih dari Rp 6.000.
Kurangnya keanekaragaman menu dalam lapisan masyarakat
berpenghasilan cukup, inilah yang jadi soal. Orang terus-menerus
mencandu dengan beras. Dan beras, seperti dikatakan dr
Pudjiantuti Pranyoto MPH dari bagian penyuluhan masyarakat,
Depkes, "dimakan orang bukan hanya untuk kenyangnya, tapi juga
untuk prestise." Untuk beras, mereka memilih seputih mungkin.
Tanpa menyadari beras seperti itu berkurang kandungan
vitaminnya.
Pengubahan pilihan makanan pokok di sini nampaknya bisa dimulai
pemerintah dengan meninjau kembali sistim target yang dikenakan
pada produksi padi. Di daerah penghasil padi, seperti dikatakan
oleh ir Soehardjo, ketua departemen ilmu kesejahteraan keluarga,
Fakultas Pertanian IPB, seyogyanya sudah bisa dimulai penanaman
palawija sebagai tambahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini