Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Menyembuhkan Segala Penyakit ...

Imam suwandi, 55, tukang pijat dari pekalongan mengobati segala penyakit kecuali gila dengan memijit perut pasiennya. tantjin hoat, 74, tukang pijat dari jakarta mengobati dengan cara mengurut badan pasien. (sd)

14 Januari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MARILAH kita pisahkan yang melulu enak dari dunia pijat. Pijat-enak, tidak mengandung arti penyemban sesuatu yang cidera pada tubuh. Melainkan lebih bersifat melenturkan urat-urat yang kaku karena kerja keras. Pijat-enak ini bisa menjadi sangat laris, apalagi kalau dilakukan oleh wanita. Nilainya pun berubah: sasarannya meningkat menjadi pelipur lara. Tetapi Imam Suwandi, orang Pekalongan yang berusia 55 tahun, adalah tukang pijat yang tidak enak. Hampir semua orang yang pernah dipijatnya menggeliat kesakitan. Jangankan tertidur - orang bisa menjerit-jerit dibuatnya. Ia sendiri hanya ketawa-ketawa tidak jarang malahan ngeledek pasiennya. Sepuluh buah jarinya bagaikan batang besi, satu kelingking saja sudah bisa bikin orang minta ampun. Kalau lima jarinya menerkam betis, orang boleh merasa bagaimana rasanya dicomot ular naga. Tapi perkara manfaat, jangan tanya. Suwandi yang bekas pandu Hisbul Wathon ini sudah tersohor sampai ke Jakarta--level menteri. Paru-Paru Basah Dukun pijat belakangan ini memang banyak tercatat prestasinya, sehingga sering dipakai untuk ngeledek dunia kedokteran. Misalnya ada orang yang menurut pemeriksaan harus dioperasi oleh dukun pijat dibereskan dengan sentuhan saja. Ada juga yang karena kurang cermat, atau timbul kelainan dalam operasi, terpaksa harus dioperasi untuk kedua kali. oleh dukun pijat juga cukup diraba-raba. "Semua penyakit, insya Allah saya dapat membantu. Kecuali gila," kata Suwandi. "Habis itu bukan bidang saya." Cepat-cepat ditambahkannya: "Tapi yarig menyembuhkan penyakit bukan saya, melainkan Allah. Saya cuma ikhtiar." Rumahnya di batas selatan Kotamadya Pekalongan, terbuka 24 jam. Setiap tanggal 10, selama 10 hari ia membuka praktek di Jakarta. Tempatnya tidak tetap. Memang seringkali di rumah Pak Kowara, besan Pak Harto. Kadangkala di rumah pasiennya yang lain. Mereka yang bermaksud dipijat harus pesan terlebih dahulu, supaya waktunya bisa diatur. Suwandi biasanya menggarap setiap pasien dalam 3 kali pijat. Yang pertama kali palin sakit. Berikutnya berangsur kurang. Kalau sudah tidak terasa sakit lagi, tandanya sudah sembuh. Yang istimewa adalah: sasaran utamanya perut anda. Kenapa perut? Ini menyangkut soal asal-mula penyakit. Kalau perut sehat maka seluruh tubuh akan sehat. "Semua penyakit sumbernya di perut. Itu hadis Nabi," kata dukun ini kepada Churozi Mulyo ari TEMPO. Kedengarannya berbau agama. Memang, Pijat Suwandi ini pijat Islam. Suwandi tidak ada maksud bikin ragu orang kepada dokter. Pegawai Kantor Pendidikan Agama Kabupaten Pekalongan ini, yang bersiap-siap untuk pensiun mulanya juga ada di bawah lindungan dokter. Isterinya bertahun-tahun dirongrong sakit. "Menurut dokter, paru-parunya basah," kata Suwandi. Untuk mengobati isterinya, ia terpaksa mempertaruhkan apa saja--termasuk melego dua buah rumah. "Dan saya terpaksa menyewa ini," katanya menunjuk rumah yang kini ditempatinya. Tapi itu belum cukup. Pak Wandi sendiri kemudian ketularan, padahal ongkos-ongkos sudah buntu. Suwandi tak dapat berbuat lain dari menyerahkan diri pada Tuhan. Hampir setiap malam ia banlun untuk sembahyang tahajjud, antara jam 3 sampai subuh. Kebetulan ia menjadi salah seorang ketua Panitia Pembangunan Masjid Hikmah di Desa Podosugih. Di halaman bakal masjid itulah dia sembahyang. Entah bagaimana, pada suatu malam ia bermimpi berada di tengah padang pasir. Di sana hanya ada 2 buah rumah. Pada salah satu rumah berkumpul banyak orang. Mereka berkata: "Ah, kamu tabib apa. Ini kami punya tabib yang hebat." Seketika itu juga muncul orang berjubah putih di hadapannya, mengajak salaman. Ketika ujung tangan hendak bertemu Suwandi merasa tubuhnya seperti dialiri listrik. Waktu itu ia bangun. Seperti Radar Bingung. Lalu teringat hadis Nabi, bahwa perut adalah sumber penyakit. Ia pun coba-coba memijit perutnya sendiri. "Eee, tahu-tahu saya sembuh," katanya. Ia meneruskan pijitan itu ke perut isterinya. Berhasil juga. Bahkan waktu ada familinya sakit parah, setelah perutnya dipijit, kok sembuh. Sejak itu Suwandi percaya bahwa tangannya, di samping berfungsi untuk memegang, juga memiliki potensi untuk mengobati. Dan sasarannya terutama perut. Perut! Lewat masa 6 tahun uwandi menjadi bertambah ahli. Apalagi ia menggarap pasien dengan tangan kosong. Tak pernah didahului mantra dan jampi-jampi. Juga tak diikuti pemberian resep. "Cukup dengan pijat," kata Suwandi. Kalau toh memberi obat, paling yang dikasih sebuah pel kina -- untuk segala macam penyakit. Dengan didahului bismillah, ia segera dapat membedakan orang yang sehat dan yang penyakitan. Dengan melihat roman muka dan memijit perut, nah-ia dapat mengetahui apakah seseorang sakit jantung, paru-paru, tekanan darah tinggi, kencing gula atau kencing batu. Tanpa pakai periksa di laboratorium, sebab kan tidak punya. "Dalam perut kalau saya raba, seperti ada jarum penunjuk yang bergerak-gerak, seperti radar," katanya menjelaskan. Di Pekalongan, pasien Suwandi terdiri dari orang desa dan orang kampung. Seringkali gratis, karena pasien tak mampu atau masih kerabat sendiri. Tapi setelah praktek sekian lama, dukun pijat ini toh berhasil mengumpulkan uang dan membeli sebidang tanah di desanya, kini sedang dibangun. Tentulah ini disebabkan oleh rezeki dari kelompok pasien yang lain. Dari buku catatannya muncul sedetetan nama sarjana, jenderal berbagai angkatan yang pernah ia rawat. Termasuk Sultan Deli atau Walikota Ujung Pandang Daeng Patompo. Di RST Gatot Subroto Jakarta namanya dikenal oleh para dokter. Ada kalanya muncul pengalaman aneh. Pasien yang sulit diobati secara medis, dengan seizin dokter jatuh ke tangan Suwandi. Hanya dengan pijit-pijit bisa ditolong. Para dokter jadi geleng kepala. Bahkan Menteri Sutami yang jauh-jauh berobat ke luar negeri akhirnya berhasil lewat tangan Suwandi dengan cara yang sangat sederhana. Menteri PUTL itu kemudian memberi kenang-kenangan bertanggal 2 Agustus 1977 yang dengan senang hati ditunjukkan oleh Suwandi kepada setiap orang yang berkunjung Suwandi bukan orang ajaib. Sudah banyak kita kenal--dari daerah Banten misalnya--tukang urut yang lihai. Mereka bisa menyembuhkan tulang patah, bahkan tulang kaki yang sudah sedemikian keadaannya akibat kecelakaan. Adapun Suwandi ini, setelah menunjukkan hasil kerja yang baik, tetap menarik karena sangat komunikatif. Dengan tubuh kurus, mata lebar, ia adalah orang yang serius. Tapi manakala ketawanya yang renyah seperti kerupuk mlinjo pecah, kita segera tahu bahwa ia ramah. Ia tidak mombuat ilmunya jadi angker. Satu ketika dari Jakarta balik ke Pekalongan seorang bapak pernah menawukan naik kapal terbang lewat Semarang. Suwandi menolak karena sudah cukup senang dengan kereta api. Waktu disuruh mengambil pakaianya, Suwandi berdalih telah menitipkan pakaiannya pada seorang famili. Padahal hanya sekedar malu karena ia hanya membuntal pakaian dalam ransel lusuh. Kemudian orang dikirim untuk mengambil. Muncul dua buah kopor besar yang lux. Suwandi menolak: itu bukan miliknya! Tak tahunya itu hadiah. Dan di dalamnya ia temukan juga ransel tuanya. Sekarang ia sering dijamu pasiennya di hotel Borobudur atau Marcopolo. Satu kali jamuan diadakan pula di rumah Pak Kowara, dengan tata cara tingkat atas. Orang kampung ini jadi kebingungan. Untung ada Sultan Deli di dekatnya, yang berbaik hati menasehati apa yang harus dipegang, apa yang harus dikunyah. Kalau dalam pengobatan ia tidak memakai otak, agaknya pada kesempatan itulah ia benar-benar harus memeras otaknya. "Sehingga hidangan yang enak-enak kurang lahap saya makan," ujarnya. Sultan Deli dan Daeng Patompo pernah berebutan mengundangnya berkunjung ke daerah. Biasanya kedua beliau itu datang ke Jakarta untuk berobat. Kemudian diadakan undian. Pemenangnya Sultan Deli. Tapi Suwandi tak bisa berangkat karena waktu itu masih aktif sebagai pegawai. Mestinya ia bisa mempergunakan dispensasi atau semacam itu, tapi Suwandi tidak memperlakukan kepintarannya untuk mendapat hak istimewa, sebab itu memang tidak baik. Ia menunggu masa pensiunnya dengan sabar, tidak membiarkan dirinya menjadi begitu komersiil. Tapi berapa lama hal semacam ini bisa bertahan, sulit untuk mengatakannya. Mungkin kita memang harus mengatakan, bahwa tidak semua orang mau menjual kepintarannya, meskipun ia bisa kaya karena itu. Pak Harto Di Jakarta sendiri, ada juga tukang pijat yang pintar tapi tidak berusaha bikin kaya dirinya. Namanya: Tan Tjin Hoat. Tinggal di Jalan Lembang, daerah Menteng. Dalam usia 74 tahun, wajah masih tampak segar. Setiap hari antara 8 sampai 10 orang pasiennya. Ia memiliki sebuah ruang praktek khusus. Dahulu Tan Yoe Hok pernah menjadi langganannya. Kini ia melayani Rudy Hartono. Khusus terhadap Rudy, orang tua ini punya semangat tertentu: ia ingin sekali jagoan All England itu kembali bertarung. Sama seperti Suwandi, Tan juga bisa memijat untuk menyembuhkan segala macam penyakit. Dengan rendah hati ia menjelaskan, bahwa ia bisa melayani sakit kepala, darah tinggi, sakit pinggang, bahkan juga impotensi. Jadi bukan hanya kesleo. Memang ia menaruh perhatian khusus pada olahragawan. "Waktu ada Asian Games ke-IV di Jakarta banyak pemain Pilipina yang saya tolong," ceritanya. "Tidak lama kemudian saya diundang ke sana, tapi waktu itu isteri saya sakit, jadi tidak bisa pergi. Tapi kemudian pada tahun 1970 saya ke Kanada atas undangan orang sana." Di Kanada ia bertemu dengan seorang nyonya yang menderita migraine, sakit kepala terus-menerus. Tiap hari ia minum aspirin. "Saya pijat kakinya 2 hari berturut-turut selama setengah jam. Setelah itu ia tidak sakit kepala lagi." Tak belajar memijat karena iseng. Waktu ia mulai, usianya masih 21 tahun. Seorang rekannya memperlihatkan buku petunjuk olahraga track sandow. Pada bagian how to massage -- bagaimana mengurut, ia ternyata terpesona. Pemuda asal Cilegon ini kemudian mulai mempelajari ilmu urut selama satu tahun. Tak dirlyana, waktu ia menjadi pemain bola di perkumpulan sepakbola Tionghwa Surabaya, ilmu itu amat berguna. Teman-temannya yang terkilir mulai memanfaatkan Tan. Setelah itu tak terhitung orang yang disentuhnya. "Banyak deh," kata Tan "dari tukang beca sampai ke bapak-bapak. Pernah tahun 1965 mengurut Pak Harto, waktu beliau kesleo di pinggang karena mencoba angkat kopor berat." Untuk mengurut kesleo yang masih baru, Tan mengurut paling-paling seperempat jam. Ini diulang di hari-hari berikutnya. Ia memperbolehkan pasiennya berteriak kesakitan kalau tidak tahan diurut. Justru kalau ditahan-tahan bisa jadi penyakit. "Yang susah kalau ada pasien yang mau cepat-cepat sembuh. Mana bisa, memangnya saya dewa," kata Tan. Sering juga datang orang yang minta pijat lantaran pegal. Kontan Tan tua mendamprat mereka. "Paling kesel kalau ada orang yang minta pijit karena cape kerja. Memangnya saya tukang pijit semacam itu. Saya suruh saja ke tempat lain!" Tan adalah ayah Tan Liong How, itu gelandang kiri PSSI yang tangguh pada zamannya. Untuk mengurut ia pakai modal jari dan campur vaselin dengan mentol kristal. Jadi sedikit lebih "maju" secara teknis dari Suwandi. Biayanya tidak tentu. "Nggak pernah pikiran soal uang, sebab tujuan kita bukan cari uang," kata Tan yang hidup sendirian sekarang. Ketika didesak, ia akhirnya mencoba ngomong: "Yah kalau satu orang ambil Rp 500, hitung saja berapa satu hari. Tapi seringkali saya yang kasih mereka untuk ongkos pulang. Habis kalau mereka tidak punya uang, bagaimana." Waktu ditanyakan pendapatnya tentang kebolehan tukang urut tim olahraga kita pada masa ini, kakek ini menjawab: "Bisa sih bisa, tapi kalau dibawa ke luar negeri bisanya shopping!"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus