KABUPATEN Sidenreng Rappang di kawasan Sulawesi Selatan terkenal
sebagai gudang beras. Beras hasil Sidenreng kalau dimasak jadi
nasi, pulen dan enak. Berjalan menuju ke desa Amparita di
Kabupaten Sidenreng Rappang, akan tampak sebuah bukit yang
berbentuk aneh.
Bentuknya bulat kerucut bagai hasil buatan tangan manusia. Makin
ke atas semakin kecil bulatannya. Tiba di puncak, runcingan itu
bagaikan berhenti untuk kemudian membentuk sebidang tanah datar.
Di situ, terdapat sejumlah rumah model Bugis ukuran mini. Dan
jadilah rumah Bugis itu tempat untuk bernazar dan melepas kaul
bagi orang-orang kawasan Sulawesi Selatan. Mungkin pula, ada
orang yang berasal dari Jawa dan pulau lain.
Dulu malah, pernah dikabarkan ada seekor ular yang dianggap
keramat dan jadi sembahan orang yang datang ke situ. Tempat
semacam gunung Kawi di Jawa Timur ini, "bukanlah tempat kami
yang menganut agama Islam," ujar seorang penduduk asli Sidenreng
Rappang. Biarpun begitu, puluhan tahun sudah, orang tetap saja
mengalir ke sana dengan berbagai niat dan harapannya. "Bukit itu
bukan bukit alam. Tapi asal muasalnya dari onggokan padi," ujar
Wak Ile yang jadi penghulu Desa Amparita, Kecamtan Tellu
Limpol: di kawasan Kabupaten Sidenreng Rappang.
Bagaimana kisah bukit jadi-jadian itu, begini - yang mungkin
saja betul mungkin pula ceritera jadi-jadian. Beberapa abad yang
lalu, ada seorang raja yang memerintah daerah Sidenreng Rappang.
Raja yang arif bijaksana ini bernama Arung Loa. Saingan
Sidenreng Rappang adalah Kerajaan Wajo, yang juga terkenal akan
sawahnya yang subur. Dalam soal persaingan itu, kedua daerah
berlomba untuk siapa yang paling banyak bisa menghasilkan padi.
Arung Loa memerintahkan rakyatnya agar setiap orang menyumbang
seikat padi. Kumpulan padi itu diletakkan di sawah yang bernama
La Sipea. Ternyata onggokan itu tidak begitu besar. Arung Loa
menyuruh lagi rakyatnya untuk menyerahkan padi. Kali ini
ditumpuknya di lereng-lereng bukit. Bisa dibayangkan berapa
banyak padi yang harus dikuras dari lumbung masing-masing
penduduk. Lumbung di alam terbuka itu hampir jadi, dan rakyat
tinggal menyempurnakan bentuk kerucut di atas onggokan. Karena
tidak juga cukup padl yang ada untuk menyempurnakan kerucut itu,
Arung Loa kemudian berkata: "Ya, sudahlah. Biarlah begitu saja."
Dan tibalah saatnya dewan juri menilai, kawasan mana yang bisa
dijadikan raja padi. Melihat tumpukan besar tinggi seperti bukit
sungguhan, dewan juri kontan menunjuk Sidenreng Rappang sebagai
pemenang. Mereka tidak memeriksa lagi bahwa di balik tumpukan
padi itu memang terdapat sebuah bukit. Ketika Arung Loa
meninggal, rakyatnya kemudian mengebumikan rajanya di puncak
bukit tersebut. Sejak itu, bukit itu kemudian disebut Bulu Loa
atau Gunung Loa.
To Lotang
Legenda itu sudah hampir lenyap dari ingatan masyarakat sana,
sekarang ini. Tapi tidak berarti daya tarik gunung Loa itu sirna
sama sekali. Ia malahan jadi daya tarik bagi sekian banyak
pengunjung kawasan sekitarnya. Dan kuburan raja di atas, sudah
jadi tempat bernazar. Dengan permintaan macam-macam. Bagi mereka
yang ingin usahanya sukses, berjanji akan memotong kambing atau
kerbau. Orang mandul, orang sakit, perawan tua, banyak yang
bernazar ke sana. Konon, banyak harapan mereka terkabul. Dan
dibantailah kambing atau kerbau sekalian pesta pora dengan
handai taulan di puncak Bulu Loa. Kalau nazar mereka untuk
memiliki rumah besar dengan perabot kayu kelas satu terkabul,
dibuatlah sebuah rumah mini bagaikan maket rumah, lalu
ditempatkan di atas gunung Loa.
Ramainya orang bernazar ini pernah mengundang kemarahan kalangan
agama setempat. Tapi akhirnya dingin sendiri. Kini sikap
pemerintah daerah berlagak tidak tahu saja asal mistik itu tidak
diusik menjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Dan memang, masyarakat To Lotang (to artinya orang dan lotang
dalah selatan) terkenal selalu patuh pada pemerintah dan
penguasa. Kepala desa Amparita yang bernama Abdul Kadir H.
mempunyai akal bagaimana menarik keuntungan untuk daera}mya.
Yaitu menarik retribusi bagi pengunjung-pengunjung yang ke sana.
"Hasilnya, akan dibelikan kawat duri untuk memagari puncak Bulu
Loa sehingga hewan-hewan yang dilepas bebas merumput, tidak
merusak tanaman penduduk setempat." Tapi rencananya ini belum
kesampaian, karena dia harus mengadakan musyawarah dulu dengan
pihak atasan. Salah-salah, nanti bisa digolongkan pungli pula.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini