Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Arung loa di atas sana

Gunung loa atau bulu loa, bukit berbentuk kerucut di desa amparita, kab. sidenreng rappang, sul-sel. dikisahkan berasal dari tumpukan padi. di puncaknya terdapat kuburan raja tempat orang bernazar. (ils)

14 Januari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KABUPATEN Sidenreng Rappang di kawasan Sulawesi Selatan terkenal sebagai gudang beras. Beras hasil Sidenreng kalau dimasak jadi nasi, pulen dan enak. Berjalan menuju ke desa Amparita di Kabupaten Sidenreng Rappang, akan tampak sebuah bukit yang berbentuk aneh. Bentuknya bulat kerucut bagai hasil buatan tangan manusia. Makin ke atas semakin kecil bulatannya. Tiba di puncak, runcingan itu bagaikan berhenti untuk kemudian membentuk sebidang tanah datar. Di situ, terdapat sejumlah rumah model Bugis ukuran mini. Dan jadilah rumah Bugis itu tempat untuk bernazar dan melepas kaul bagi orang-orang kawasan Sulawesi Selatan. Mungkin pula, ada orang yang berasal dari Jawa dan pulau lain. Dulu malah, pernah dikabarkan ada seekor ular yang dianggap keramat dan jadi sembahan orang yang datang ke situ. Tempat semacam gunung Kawi di Jawa Timur ini, "bukanlah tempat kami yang menganut agama Islam," ujar seorang penduduk asli Sidenreng Rappang. Biarpun begitu, puluhan tahun sudah, orang tetap saja mengalir ke sana dengan berbagai niat dan harapannya. "Bukit itu bukan bukit alam. Tapi asal muasalnya dari onggokan padi," ujar Wak Ile yang jadi penghulu Desa Amparita, Kecamtan Tellu Limpol: di kawasan Kabupaten Sidenreng Rappang. Bagaimana kisah bukit jadi-jadian itu, begini - yang mungkin saja betul mungkin pula ceritera jadi-jadian. Beberapa abad yang lalu, ada seorang raja yang memerintah daerah Sidenreng Rappang. Raja yang arif bijaksana ini bernama Arung Loa. Saingan Sidenreng Rappang adalah Kerajaan Wajo, yang juga terkenal akan sawahnya yang subur. Dalam soal persaingan itu, kedua daerah berlomba untuk siapa yang paling banyak bisa menghasilkan padi. Arung Loa memerintahkan rakyatnya agar setiap orang menyumbang seikat padi. Kumpulan padi itu diletakkan di sawah yang bernama La Sipea. Ternyata onggokan itu tidak begitu besar. Arung Loa menyuruh lagi rakyatnya untuk menyerahkan padi. Kali ini ditumpuknya di lereng-lereng bukit. Bisa dibayangkan berapa banyak padi yang harus dikuras dari lumbung masing-masing penduduk. Lumbung di alam terbuka itu hampir jadi, dan rakyat tinggal menyempurnakan bentuk kerucut di atas onggokan. Karena tidak juga cukup padl yang ada untuk menyempurnakan kerucut itu, Arung Loa kemudian berkata: "Ya, sudahlah. Biarlah begitu saja." Dan tibalah saatnya dewan juri menilai, kawasan mana yang bisa dijadikan raja padi. Melihat tumpukan besar tinggi seperti bukit sungguhan, dewan juri kontan menunjuk Sidenreng Rappang sebagai pemenang. Mereka tidak memeriksa lagi bahwa di balik tumpukan padi itu memang terdapat sebuah bukit. Ketika Arung Loa meninggal, rakyatnya kemudian mengebumikan rajanya di puncak bukit tersebut. Sejak itu, bukit itu kemudian disebut Bulu Loa atau Gunung Loa. To Lotang Legenda itu sudah hampir lenyap dari ingatan masyarakat sana, sekarang ini. Tapi tidak berarti daya tarik gunung Loa itu sirna sama sekali. Ia malahan jadi daya tarik bagi sekian banyak pengunjung kawasan sekitarnya. Dan kuburan raja di atas, sudah jadi tempat bernazar. Dengan permintaan macam-macam. Bagi mereka yang ingin usahanya sukses, berjanji akan memotong kambing atau kerbau. Orang mandul, orang sakit, perawan tua, banyak yang bernazar ke sana. Konon, banyak harapan mereka terkabul. Dan dibantailah kambing atau kerbau sekalian pesta pora dengan handai taulan di puncak Bulu Loa. Kalau nazar mereka untuk memiliki rumah besar dengan perabot kayu kelas satu terkabul, dibuatlah sebuah rumah mini bagaikan maket rumah, lalu ditempatkan di atas gunung Loa. Ramainya orang bernazar ini pernah mengundang kemarahan kalangan agama setempat. Tapi akhirnya dingin sendiri. Kini sikap pemerintah daerah berlagak tidak tahu saja asal mistik itu tidak diusik menjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Dan memang, masyarakat To Lotang (to artinya orang dan lotang dalah selatan) terkenal selalu patuh pada pemerintah dan penguasa. Kepala desa Amparita yang bernama Abdul Kadir H. mempunyai akal bagaimana menarik keuntungan untuk daera}mya. Yaitu menarik retribusi bagi pengunjung-pengunjung yang ke sana. "Hasilnya, akan dibelikan kawat duri untuk memagari puncak Bulu Loa sehingga hewan-hewan yang dilepas bebas merumput, tidak merusak tanaman penduduk setempat." Tapi rencananya ini belum kesampaian, karena dia harus mengadakan musyawarah dulu dengan pihak atasan. Salah-salah, nanti bisa digolongkan pungli pula.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus