Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sepanjang jalan menuju Kafe D’Pakar, Bandung, tak ada pemandangan lain selain hutan. Jalanan rusak, aspal-aspal retak, dan lubang yang menganga lebar mengharuskan mobil berbelok-belok tak tentu. Kami rela menjalaninya, demi pengalaman mereguk kopi di alam terbuka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para monyet seliweran, menunggu di bibir jalan, atau menggantung di pepohonan. Sungguh perjalanan menuju Kafe D’Pakar ini seperti sedang menjamah hutan di film Petualangan Sherina.
“Kawasan ini memang masih liar. Tempat ini dulu bekas kebun, lalu saya bangun jadi kafe karena tanamannya banyak dirusak monyet,” tutur Maryati Santoso, pemilik Kafe D’Pakar, ketika rombongan Tempo tiba di kafe itu. Kami langsung membayar Rp 25 ribu untuk biaya retribusi.
“Bukan tiket masuk, tapi minimal order. Bisa ditukarkan dengan makanan dan minuman” ujarnya.
Bergegas, kami menuju kebun hijau di halaman belakang rumah. Luasnya 3.000 meter persegi. Beberapa kembang begonia tumbuh di sekitarnya. Di seberang kafe itu ada hutan pinus. Namun jurang menjaraki keduanya.
Tekstur taman di D’Pakar berundak-undak. Pemiliknya mempertahankan kontur asli lahan yang dulunya adalah kebun.Menu martabak dan kopi Aroma, menu asyik untuk ngobrol di Kafe D'Pakar yang berlokasi di Jalan Dago Pakar Utara, Sekejolang, Ciburial, Cimenyan, Bandung. Tempo/Andi Prasetyo
Kami tiba terlalu sore. Semua bangku hampir penuh dipesan. Memutuskan berkeliling kebun sambil menunggu ada bangku yang ditinggalkan penghuninya, rasanya jadi pilihan tepat. Dan beruntung, selama berkeliling, kami menjumpai beberapa titik seru. Cocok untuk aktivitas swafoto.
Ada bangku berbentuk kapal kayu menghadap ke hutan. Ada juga kursi panjang yang jaraknya hanya beberapa meter dari jurang, atau bangku-bangku bulat yang berjajar manis di samping pagar ilalang.
Kami duduk di dek paling atas, dekat dengan joglo kafe. Hanya itu satu-satunya bangku tersisa. Namun tak sial-sial benar lantaran justru bisa memandang semua lenskap.
Derik serangga hutan menjadi instrumen pengiring tamu yang sedang meramu obrolan, sambil menyeruput kopi. Ya, kafe itu punya menu kopi andalan. “Kopi Aroma, kopi khas tanah Pasundan,” ucap Maryati. “(Lebih nikmat) ditemani martabak Nutella.”
Kopi Aroma berjenis robusta. Sudah tenar sejak 1930. Keberadaan kopi itu tak pelaknya sebuah legenda yang menandai tumbuhnya kawasan pecinan di Bandung sejak era kolonial.
Kopi ini enak diminum pakai susu kental. Lalu ditemani martabak manis. Hawa Dago Pakar jadi sedikit hangat.
Selain menu teman ngobrol, Maryati menyediakan penganan berat. Misalnya nasi goreng, pempek, ramen, dan lainnya. Harga menu berkisar Rp 20 ribu-Rp 40 ribu. Waktu yang tepat buat bersantai di kafe ini berkisar pukul 16.00-17.30, sebelum matahari tenggelam.
Alamat: Jalan Dago Pakar Utara, Sekejolang, Ciburial, Cimenyan, Bandung
Jam Buka: 11.00-18.00 (tutup setiap Senin)