SERANGAN jantung hampir menamatkan riwayat Joejoen Soejoe, dua tahun silam. Tapi pensiunan letnan kolonel TNI AL itu, kini kelihatan bugar. Memang, rambutnya sudah memutih, tapi usianya baru menginjak tahun yang ke-64. "Mungkin karena hobi saya menatap langit," tutur Joejoen bercanda. Pria bertubuh ramping ini bukan ahli bintang. Ia cuma gemar permainan yang sejak dulu mengasyikkan bocah-bocah ingusan di kampung: layang-layang. Tidak heran kalau ia menjadi bahan olok-olok keluarga dan tetangganya. Padahal, "Dengan main layangan, yang punya penyakit jantung seperti saya jadi sehat," ujarnya. Kegemaran Joejoen adalah layang-layang hias. Tanpa terlalu disadarinya, kegemaran itu telah berkembang menjadi hobi sejak ia belum pensiun. Karena hobi itu pula, Joejoen bisa melanglang buana. Pertengahan April lalu, ia diundang ke Muangthai untuk ikut merayakan ulang tahun Kerajaan. Rekan-rekannya di Fraksi Karya DPRD Jawa Barat sampai berkomentar, "orang lain main layangan di sawah, si Joejoen main layangan di Bangkok!" Toh mulut usil tidak bisa mengingkari keberhasilan Ketua Persatuan Layang-Layang Seluruh Indonesia (Perlasi) itu. Ada 20 negara yang turut dalam festival di pantai Pattaya, tetapi Burung Merak dan Gatotkaca milik Joejoen -- dengan berat 3 sampai 5 kilogram dan panjang sekitar 4 meter -- paling berhasil merebut perhatian orang. Burung Merak, misalnya, meraih gelar "Touch of the Sky" setelah berhasil menjelajah sampai ketinggian 500 meter. Penonton di pantai Pattaya itu masih dibuat berdecak kagum oleh satu karya Indonesia lainnya yang ditampilkan oleh Abdul Hamid Paliba, 45 tahun, pengusaha sepatu dari Jawa Barat. "Karena layang-layanglah saya bisa bersalaman dengan Ratu Muangthai," ujar Hamid. Pasalnya, sang Ratu terpesona oleh layang-layang raksasa berbentuk kupu-kupu -- dengan bentang sayap 6,5 meter -- buah tangan lulusan STM Pembangunan tersebut. "Sekarang sudah menjadi milik Pangeran Muangthai," ujarnya bangga. Akhir Mei lalu di Jakara, Hamid juga memeriahkan lomba layang-layang dalam rangka festival budaya, khusus memperingati hari ulang tahun Jakarta. Agak meleset dari harapan, lomba yang berlangsung di Taman Monas itu kurang semarak sebagaimana umumnya sebuah lomba layang-layang. Pesertanya datang dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Jepang. Hamid kebetulan terlambat, tapi berhasil memenangkan tiga nomor -- juara II, III, dan juara harapan II. Sekalipun begitu, Hamid sempat juga kecewa. "Angin yang bertiup kurang menguntungkan," ujarnya. "Maklum, di Jakarta banyak gedung jangkung. Layangan memang baru bisa terbang stabil, setelah mencapai ketinggian seratus meter." Layang-layang memang baru bisa terbang indah bila dilepas di lapangan terbuka, tempat angin bertiup leluasa. Tapi, bila angin agak lemah -- di bawah 20 km per jam -- layang-layang tidak bisa terangkat ke atas. Sebaliknya, bila angin terlalu kencang, layang-layang menjadi sulit dikendalikan. "Main layangan itu lebih banyak suka daripada dukanya," tutur Hamid. Di banyak negara Asia, permainan layang-layang sudah populer sejak dahulu kala. Ia bisa dianggap rekreasi, yang dibumbui unsur olah raga. Tapi layang-layang juga bisa digunakan untuk memantau cuaca. Bahkan Benjamin Franklin, yang pernah menjadi Presiden AS, pada 1752 telah menggunakan layang-layang untuk membuktikan bahwa petir itu mengandung arus listrik. Bagian yang kurang menyenangkan dari hobi layang-layang ini adalah proses pembuatannya. Joejoen, misalnya, pada tahap awal harus siap "berburu" bambu sampai ke Cianjur atau Jatiluhur. Ia dibantu oleh Lili Soenarya, 60 tahun, bekas karyawan PJKA, yang juga pengrajin layangan. "Khusus untuk layangan hias, pembuatannya tidak boleh sembarangan," kata Lili. "Setelah ditebang, bambu tidak bisa langsung dikerjakan. Harus diangin-anginkan dulu selama sebulan." Layangan Gatotkaca, misalnya, baru selesai dalam satu bulan dan menghabiskan biaya sekitar Rp 100 ribu. "Hobi ini memang mahal," Joejoen menjelaskan. "Benang layangan khusus diimpor dari Yugoslavia, sedangkan untuk kaca mata dan sepatu di lapangan, kita perlu merogoh kocek Rp 400 ribu." Di RRC sudah lama dikenal spesialisasi dalam pembuatan layang-layang. Karena itu, ada yang khusus membuat kerangkanya, ada yang sangat canggih membuat benangnya. Adapun layang-layang favorit di negeri Cina adalah layang-layang naga, yang bisa kelihatan sangat mempesona bila sudah bertengger di angkasa. Sedangkan Malaysia juga memiliki layang-layang yang khas, dengan penampang mirip irisan berlian, namun tanpa ekor. Bentuknya sangat artistik, dirancang begitu rupa, hingga walaupun tanpa ekor, keseimbangannya tetap terjaga. Sedikit agak lain adalah layang-layang kotak yang diciptakan oleh Lawrence Hargrave pada tahun 1890-an di Australia. Disebut kotak karena semula Hargrave mendesainnya persegi empat, tapi kemudian berkembang dalam berbagai bentuk: lonjong, bulat, segi tiga, bahkan bisa juga segi lima atau enam. Layang-layang Hargrave juga tidak memakai buntut. Ketika Hamid membuat layang-layang kupu-kupu ukurannya cukup besar -- ia terpaksa mengerahkan seluruh keluarganya selama satu bulan. "Kupu-Kupu" itu menghabiskan 28 meter kain tetoron dan biaya Rp 450 ribu, ditambah biaya mempekerjakan pelukis dari Bali. Mahal? "Selama mampu, saya tak pernah menganggap hobi ini mahal," katanya. Tapi, karena hobi layang-layang hias ini jauh dari unsur komersial, maka sulit mencari sponsornya. Joejoen teringat kenalannya seorang Jerman, yang menabung selama satu tahun untuk bisa ikut festival layangan di Pattaya. "Saya sendiri menghabiskan biaya Rp 2 juta untuk ke Muangthai," katanya. Walaupun begitu, "It's fun and relaxing," kata Rae Sita Supit, bintang film dan Direktur Sahid Gema Wisata yang pernah memprakarsai lomba layang-layang di Bali. "Bisa menaikkan layang-layang saja saya sudah senang, karena berarti bisa menguasai angin. Lantas kalau datang musuh, wah, hati kita jadi deg-degan." Sampai hari ini, Rae sering mengajak anaknya yang berumur tiga tahun untuk berlayang-layang di Cimacan. "Layang-layang yang saya mainkan layangan kampung, murah meriah," katanya sambil tertawa. Di Jepang, layangan mempunyai arti spiritual. "Ia merupakan ungkapan rasa bahagia," tutur Yoshizo Sakuraba, direktur perusahaan yang juga anggota Asosiasi Layang-Layang Jepang. "Karena itu, orang Jepang bermain layang-layang pada Tahun Baru atau pada Hari Anak Lelaki, yang jatuh pada hari kelima bulan kelima. Layang-layang adalah sibol jiwa muda." Kisah kanak-kanak pula yang mendorong minat Fuji Sakamoto -- seorang pencinta alam -- terhadap layangan. Meniru tokoh yang dikaguminya -- pencuri legendaris Ishikawa Goemon yang pada abad ke-16 kabur dari Istana Nagoya dengan menggunakan layangan -- bulan Juli - Agustus ini, Sakamoto akan melintasi Selat Dover (antara Prancis dan Inggris) dengan layang-layang yang dibuat dari bahan jalbert parafoil. Untuk menyeberangi selat selebar 36 kilometer itu dibutuhkan sebuah layangan utama dan 100 layang-layang pembantu. Sakamoto sendiri akan bergelayutan 500 meter di atas permukaan laut, sementara rekan-rekannya bertugas mengendalikan "benang besi" sepanjang 100 kilometer. Andai kata Sakamoto sukses, mungkin hobi layang-layang akan mendapat nilai plus. Setidaknya, ia bukan lagi sekadar warisan budaya tradisional. Atau, "hobi orang yang kurang bahagia semasa kanak-kanak," seperti diperolokkan oleh putra-putri Joejoen. Atau cuma fun sebagaimana kata Rae Sita. Sementara bagi Joejoen, layang-layang tetaplah satu dunia tersendiri. Atau barangkali satu kenikmatan kecil, terutama ketika layangan yang berayun-ayun di tepi cakrawala mengirimkan deru yang merdu ke telinganya. Yudhi Soerjoatmodjo dan Hasan Syukur (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini