Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mnlf retak tiga

Masyarakat islam moro di mindanao selalu ditekan dan ditindas pemerintah filipina. bahkan ada yang dibantai. muncul beberapa organisasi perjuangan ke merdekaan. selain mnlf ada juga bmlo, bmilo & milf.

23 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bangsa Moro terkucil di tanah sendiri. Gerakan untuk memerdekakan diri itu melemah. PEPERANGAN Moro -- pemerintah Marcos meletus setelah pernyataan UU Darurat Perang September 1972. Tapi itu hanyalah pemicu dari borok lama: program pemerintah tahun 50 dan 60-an yang "membawa" sejumlah besar Kristen Filipina ke tanah Moro di Mindanao. Menyusul peristiwa Maret 1968. Sejumlah 28 tentara Muslim yang sedang latihan militer dibunuh di Pulau Cooregidor. Mereka menolak dikirim ke Sabah melawan bangsa sendiri dalam "operasi Merdeka". Tentara yang terlibat dalam aksi itu tak pernah diadili. Dua bulan setelah itu, Datu Udtog Matalam mendirikan Muslim Independence Movement (MIM) -- cikal-bakal MNLF. Pemerintah Malaysia di bawah Tengku Abdul Rahman memberikan reaksi atas Pembunuhan Masal Jabidah itu. Ia menjanjikan pada para pemimpin Moro -- terutama Rashid Lucman, untuh melatih dan menyediakan senjata bagi para pemuda Moro. Pada 1969, grup pertama Pemuda Moro direkrut oleh Rashid Lucman dan MIM dikirim ke Malaysia untuk mendapat latihan militer. Sejak pertengahan 70 sampai 71, kekerasan meledak di Lanao del Norte, Cotabato, dan Lanao del Sur, antara penduduk Muslim dan Kristen. Pasukan Islam dinamakan "Barracuda" dan "Blackshirt". Sedangkan kelompok Kristen dikenal sebagai "Ilaga" -- dengan "backing" masing-masing. Parahnya, sampai akhir 1970-an saja, perang ini sudah menyedot banyak korban, kekacauan ekonomi, dan pengungsian masal. Lebih dari 30 ribu Muslim, Kristen, dan suku Tituray terpaksa meninggalkan tanah pertaniannya. Pada 19 Juni 1971, muncul lagi peristiwa pembunuhan masal. Tak kurang dari 70 muslimin -- lelaki, wanita, dan anak-anak -- dibantai di masjid di Barrio Manili, Carmen, Cotabato Utara. Lagi-lagi tak seorang pun tentara Filipina diadili. Padahal pembunuhan di dalam masjid itu selain kejam juga dipandang sebagai "penghinaan terhadap agama". Ketika terdengar oleh Menteri Luar Negeri dan Penerangan Libya, Saleh Bouyasser -- yang berkunjung ke Filipina -- ia menemui para pemimpin Moro. Hasilnya, janji bantuan dan pernyataan bersama yang ditandatangani oleh para pemimpin Muslim dari berbagai kelompok. Setelah Pemilu November 1971, kekuatan politik di tanah Moro pindah ke tangan Kristen. Pada 1972 suasana di Mindanao dijejali perselisihan sporadis kekuatan Tentara Filipina dan Ilagas di satu pihak melawan Barracuda dan Blackshirts di kubu yang lain. Perang bagi kemerdekaan Moro dimulai di Kota Marawi 24 oktober 1972. Ratusan pria, yang terdiri dari tujuh kelompok pemuda Maranao dipimpin oleh elite sekuler dan tradisional, menyerang markas Kepolisian Filipina dan menduduki kampus Universitas Negeri Mindanao. Pemberontak meminta dukungan sesama Muslim dengan alasan," Sejak pemerintahan Spanyol, Pemerintah Filipina selalu menindas kaum Muslim. Maka, penting untuk menggulingkan pemerintah supaya tak ada pembatasan dalam praktek Islam." Bentrokan antara kekuatan pemerintah dan Moro berakhir dalam tempo 24 jam. Pemerintah bisa menguasai kota kembali, dan para pemberontak kabur ke bukit. Tapi setelah itu kerusuhan menyebar di semua desa dan kota sepanjang Provinsi Moro dan perjuangan kemerdekaan Moro dimulai. Gerakan ini segera menarik perhatian para pemimpin negara-negara Islam. Direktorat Islam di Filipina (IDP) mengorganisasikan -- setelah bertemu dengan Menlu Libya Bouyasser -- pembentukan pusat bantuan untuk Moro. Pengelola IDP antara lain Dr. Cesar Majul (ketua) dan Macapanton Abbas (sekretaris). Selebihnya para senator, anggota kongres, dan beberapa tokoh antara lain Nur Misuari. Mereka menandatangani deklarasi bersama yang, "Menyatakan kesiagaan kaum Muslim untuk mempertahankan Islam, tanah air, dan rakyatnya terhadap segala bentuk penindasan terhadap umat." Selain penggabungan itu, ada lima kelompok gerakan bawah tanah Moro yang aktif di Filipina Selatan. Kelompok Misuari dan Pundato dari MNLF (Moro National Liberation Front). BMLO (Bangsa Moro Liberation Organization) yang kini menjadi BMILO (Bangsa Muslimin Islamic Liberation Organization). MILF (Moro Islamic Liberation Front) dan Moro (Moro Revolutionary Organization). Lahirnya kelompok-kelompok ini merupakan luapan rasa takut dan ketidakpastian setelah peristiwa pembantaian di Jabaidah. Peristiwa itu juga menyadarkan para pemuda Islam dan aktivis mahasiswa untuk memperbaiki kehidupan rakyat Moro. Umpamanya Nur Misuari, yang belakangan menjadi Ketua MNLF adalah pendiri organisasi "Pemuda Patriotik". Grup mahasiswa radikal di Manila itu menerapkan analisa Marxis. Begitu pula Macapanton Abbas yang menjadi sekretaris BMLO adalah pemimpin Persatuan Nasional Mahasiswa Filipina (NUSP), tahun 1967-1969. MNLF di bawah pimpinan Misuari berjuang untuk mendapatkan otonomi 13 provinsi Moro -- di Pulau Mindanao, Basilan, Palawan, Kepulauan Sulu, dan Tawi-tawi. Mereka mendapat bantuan keuangan dan senjata dari Libya dan Sabah. Selain dari rakyat dan ulama setempat. MNLF mendapat pengakuan dunia Islam dan masalah Moro menjadi masalah internasional. Akhirnya Marcos menandatangani persetujuan Tripoli Desember 1974 atas usaha Konperensi Islam (OLC). (Namun, perjanjian untuk memberikan otonomi itu tak pernah terlaksana sampai kini). Tak semua golongan berjuang seradikal MNLF. BMLO, umpamanya, yang dipimpin oleh Rashid Lucman, Macapanton Abbas, dan lain-lain setuju untuk "bekerja sama" dengan pemerintah Marcos. Dalam perjuangannya, kini, MNLF adalah kelompok pertama yang mengorganisasikan barisan dengan hierarki administratif, termasuk badan pimpinan -- yang disebut komite sentral dan unit operasi lokal. Tetapi, dalam prakteknya, struktur hierarki organisasi itu merupakan hal baru yang dianggap aneh dan membawa perubahan yang terus-menerus bagi warga desa. Dan organisasi itu tak selamanya bisa menampung atau mengontrol gerakan massa yang berasal dari macam-macam kelompok kultur etnis. Oleh karena itu, MNLF mengorganisasikan barisannya secara longgar. Celakanya, ini tak bisa dipakai untuk mengontrol tingkah laku berbagai golongan atau untuk membangun rantai komando yang jelas. Akhirnya, MNLF retak dan pecah menjadi tiga kelompok lagi. Gerakan untuk memerdekakan diri itu pun melemah. BSU

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus