DUA puluh tahun silam, cuma apotek yang menjual makanan nongula. Makanan diabetik ini khusus untuk penderita penyakit gula yang harus membatasi konsumsi gula. Naiknya kadar gula darah akan mengancam kesehatan mereka. Sekitar selupuh tahun kemudian mulai banyak supermarket menjual cokelat diabetik, kue diabetik, cola diabetik. Semuanya nongula. Berdekatan dengan makanan ini dijajakan pula makanan dan minuman "non" lainnya, seperti minyak goreng nonkolesterol, snack nonlemak, kopi nonkafein. Semuanya itu demi kesehatan. Sebab, daripada di kemudian hari harus menenggak sirop diabetik, lebih baik sejak dini gula dihambat sehingga tak menimbulkan diabetes. Makanan nonkolesterol, nonlemak, sama saja, untuk menjaga jangan sampai pembuluh jantung tersumbat dan menimbulkan serangan jantung. Menurut sejumlah publikasi, di negara maju -- tempat trend makanan "non" itu berawal -- angka penderita penyakit jantung mendadak naik. Termasuk mortalitasnya. Publikasi tadi sedikit banyak memperkeras kadar "gaya hidup non" yang identik dengan histeria kesehatan. Selain mengonsumsi makanan "non", masyarakat berbondong-bondong menjaga kebugaran jasmani dengan jogging, olahraga, dan latihan di fitness center. Kegiatan ini mendadak menjadi kecenderungan masal di seluruh dunia. Padahal, berbagai evaluasi menunjukkan dalam banyak hal naiknya angka penderita penyakit jantung, tidak benar. Dr. Robert Ornstein dan Dr. David Sobel, dalam buku mereka yang terkenal, The Healing Brain, mengungkapkan kepalsuan statistik ini. Menurut mereka, sebagian besa dari penderita penyakit jantung menderita iatrogenic, penyakit bikin-bikinan dokter, akibat diagnosa yang berlebihan. Dalam sebuah evaluasi, Ornstein dan Sobel menemukan 80% dari anak-anak yang disebutkan menderita penyakit jantung sebenarnya tidak sakit. Anak-anak ini memang punya kelainan jantung, tapi kelainan itu bukan tergolong penyakit. Salah diagnosa itu kemudian punya konsekuensi jauh. Anak-anak yang disangka menderita jantung itu harus menjalani perawatan hampir sepanjang hidupnya. Bahkan, sebagian kemudian terhambat perkembangan kemampuan intelektualnya, karena terhambatnya pendidikan. Namun, histeria kesehatan di kalangan masyarakat tak bisa dibendung lagi. Produksi makanan dan minuman khusus semakin merambat luas. Tersedia susu nonlemak, bahkan bir nonalkohol. Dan paling akhir menjadi primadona di seluruh dunia adalah gerakan nonrokok. Seluruhnya itu untuk kesehatan? "Diragukan," kata sejumlah ahli perilaku masyarakat yang meneliti masalah ini. Seorang di antaranya, Dr. Derrick de Kerckhove dari Universitas Toronto, Kanada. "Non, kini bukan lagi sebuah prefiks, tapi sudah gaya hidup," ujarnya. Psikolog itu mengutarakan, gaya hidup "non" telah membawa perubahan perilaku, tata krama, dan nilai-nilai pada masyarakat. "Seks dan alkohol, yang di masa lalu dianggap simbol kemakmuran kalangan atas, kini menjadi icon kerendahan martabat," kata Kerckhove. Kalangan pemusik dan seniman juga tiba-tiba seperti kesurupan gerakan moral. Dua tahun lampau, mereka masih memakai kaus bertuliskan "Sex, Drugs, Rock & Roll". Kini yell di dada mereka terpampang: "Drug Free Body". Di Amerika, Eropa, juga Australia, seseorang yang merokok di tempat umum segera terkena sanksi masyarakat. Tidak ada lagi citra kegagahan yang dijajakan iklan rokok. Semua mata tertuju kepada Anda, seolah-olah Anda telah melakukan tindakan tidak senonoh di muka umum. Bisa saja Anda dijauhi, seperti pembawa suatu penyakit menular. Kecanduan alkohol, yang sejak dahulu dicitrakan jelek, segera jadi acuan bagi keburukan. Gambaran buruk seorang alkoholik, pencandu alkohol, ditular-tularkan ke sektor lain. Maka, populer pula sebutan seperti workaholics (pencandu kerja) dan sexaholics (pencandu seks). Deretan "non" pun makin panjang: nonseks dan non-A (kepribadian tipe A, tipe penyibuk). Yang kemudian membuat "gaya hidup non" kian mewabah ialah munculnya kecenderungan nonindustri yang memusuhi makanan kaleng dan membenci barang-barang buatan pabrik. Entah dipengaruhi, atau mempengaruhi, gerakan ini muncul dan jalan sejajar dengan kecenderungan kesadaran lingkungan yang menuduh industrialisasi sebagai biang hancurnya keseimbangan alam. Inilah gerakan masyarakat besar-besaran yang kini sedang melanda masyarakat di Eropa dan Amerika. Mereka menamakan diri, Green Party. Green Peace, adalah sekelompok "pejuang" yang menjadi ujung tombak. Menurut Kerckhove, "gejala non" menandakan adanya krisis kebudayaan akibat mencuatnya berbagai gejala negatif. Karena kemajuan dan perkembangan telah mencapai titik jenuh, manfaat industrialisasi, misalnya, tidak lagi terasa. Dalam keadaan ini manfaat tidak mampu mengimbangi -- atau menutup -- dampak negatif yang ditimbulkannya. Dampak ini lalu muncul ke permukaan. Eksplorasi manusia di planet bumi mengalami stagnasi karena keraguan. Pada saat sama manusia harus menyaksikan akibat buruk kemajuan. Krisis kebudayaan itu menimbulkan krisis identitas pada masyarakat akibat rasa berdosa. Seseorang tidak mampu -- atau enggan -- menunjukkan identitas dengan pernyataan positif. Mereka menandai eksistensinya dengan pernyataan tak langsung. Antara lain dengan kata "bukan". Bukan pemabuk, bukan peminum, bukan perusak, bukan ini, bukan itu. "Mereka yakin harus meninggalkan kebudayaan yang menimbulkan krisis di masa kini, tapi belum yakin mau ke mana," kata Kerckhove. Tapi psikolog ini yakin, kondisi nonbudaya itu pertanda akan lahirnya perubahan besar. Memang, krisis bisa menimbulkan revolusi. Vaclav Havel, dramawan yang kini menjadi Presiden Ceko Slowakia menulis dalam bukunya, Power of the Powerless, "Keadaan tidak tentu, secara metafisik dan eksistensial, memiliki daya gugah yang mahakuat pada kebingungan yang serba mendua." Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini