SEORANG lagi perempuan di singgasana politik sebuah negeri di Asia. Dialah Aung San Suu Kyi. Setelah Cory Aquino di Filipina dan Benazir Bhutto di Pakistan, putri pahlawan Burma, Jenderal Aung San, ini menambah sosok gemulai pemimpin negara. Selain ada dua nyonya: Margaret Thatcher dari Inggris dan Violeta Chamorro di Nikaragua. Tatmadaw, atau tentara, yang lebih dari tiga dekade berkuasa di Myanmar (d/h Burma), termasuk Jenderal Saw Maung, akhirnya menyelenggarakan pemilu, bebas dan tanpa tekanan. Pada 27 Mei silam, rakyat Myanmar yang getol bersarung itu memberi suara untuk menentukan masa depan negerinya yang sering terguncang permasalahan etnis. Juli 1989 Aung San Suu Kyi ditahanrumahkan oleh penguasa. Kini partai oposisi Liga Nasional Demokrasi (NLD) yang dipimpinnya sukses meraih sekitar 400 dari 485 kursi yang diperebutkan. Ini saatnya Myanmar muncul lagi di bawah pemerintah sipil, setelah pada 1950-an militer menggulingkan Perdana Menteri U Nu. Banyak yang diharapkan dari Aung San Suu Kyi. Juga tak kurang yang meragukan ibu. dua anak ini mampu memimpin dan menyatukan pelbagai pihak yang bertentangan: suku minoritas Karen, Kachin, dan Shan yang dipimpin Khun Sha -- raja opium Segi Tiga Emas. Ada pula mahasiswa yang lari ke hutan minta dilatih kemiliteran dari pemberontak. Boleh jadi Aung San Suu Kyi nanti menghadapi banyak tantangan. Saw Maung bahkan melempar isyarat berselubung. "Tatmadaw tidak diam bila kesatuan bangsa dan negara terancam," katanya. Tapi, di sela-sela itu, angin segar berembus dari Gedung Putih, AS, yang mengimbau militer haus berkuasa tunduk pada hasil pemilu. Agaknya, rakyat Myanmar juga semakin jenuh dan muntah. Apalagi kalau mereka selalu mendengar selubungan jargon "stabilitas". Padahal, itu seperti "dibikin" untuk perpanjangan kekuasaan diktator militer serta para pendukungnya. Didik Budiarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini