DI tengah hingar bingar pasar malam Sekaten yang kini tengah
berlangsung di Yogyakarta, terdengar suara lenderu-deru. Suara
itu berasal dari sebuah tong raksasa, terbuat dari kayu. Fmpat
buah sepeda motor dan sebuah go-cart berputar, susul menyusul
dalam tong bergaris tengah 12 meter dan tinggi tujuh meter itu.
Tong itu pun berderak-derak seperti hendak buyar. Dan jantung
penonton yang berdiri di bibir tong, di aus, turut berdebar
kencang menyaksikan atraksi menantang maut itu.
Si pengendara sepeda motor dan gocart, sama sekali tak memakai
alat pengaman: helm di kepala dan pakaian balap yang bisa
melindungi tubuh bila terjadi kecelakaan. Silik, 26 tahun, salah
seorang pengendara sepeda motor dalam atraksi Tong Raksasa,
bahkan umpil amat sederhana berkaus, celana jean dan bersandal
jepit. Tapi ayah dari seorang anak Ini tak pernah merasa ngeri.
Yang penting, "kita menguasai teknik mengemudikan sepeda motor
dan tekad bertarung melawan maut," katanya.
Seperti rekannya, Sara, dari semula Silik memang gemar ngebut di
jalan raya. Tapi keduanya merasakan hal itu "kurang serem".
Kebetulan, tahun 1976 mereka berkenalan dengan Pak Wito, yang
melatih keduanya ngebut dalam tong kayu. Cuma belajar sebulan,
Silik dan Sara kemudian bergabung dengan rombongan Tong Raksasa
pimpinan David Sunaryo. Kota demi kota mereka singgahi dan
umumnya atraksi maut itu cukup digemari penonton. Tiap bulan,
Sara bisa mendapat imbalan Rp 150Rp 200 ribu--tergantung jumlah
tiket yang terjual. Kalau lagi sepi, "apa boleh buat, kami harus
rela menerima sedikit."
Tong Raksasa dulu populer dengan sebutan Tong Setan -- meski tak
ada urusan dengan setan, mistik dan sebangsanya. Para pemain
semata-mata mengandalkan kemahirannya, dan tak punya ilmu gaib
seperti banyak disangka orang. Penggantian nama menjadi Tong
Raksasa, menurut Silik, "biar setan jangan ikut campur tangan."
Supaya keselamatan para pemain tetap terjagalah, kira-kira.
Tapi kecelakaan sekali waktu terjadi juga. Beberapa waktu lalu,
seorang pemain tak bisa mengontrol kendaraannya. Sepeda motor
yang ia naiki terlempar dari dalam tong, melesat ke udara dan
jatuh di luar arena. Si pengendara tersangkut di bibir tong,
tapi selamat. Kecelakaan itu, menurut Sara, terjadi akibat ban
pecah, tertusuk paku yang mencuat dari dinding tong kayu. Sara,
misalnya, pernah beberapa kali terpental jatuh akibat ban pecah,
"Nih, lihat," kaunya memperlihatkan tangannya yang penuh bekas
jahitan. Tapi ia tidak kapok. "Ini sudah menjadi pekerjaan
saya," katanya kalem.
Pak Tepong pun, 52 tahun, 100% mengandalkan hidupnya dari main
akrobat. Rumah papannya yang bertingkat di sebuah gang di
bilangan Bidara Cina, Jakarta Timur, juga dibangun berkat
bermain akrobat. "Dan alhamdulillah, sampai sekarang kami belum
pernah kelaparan," kata ayah tujuh anak kelahiran Siantar itu.
Ia memang tak bermain sendiri. Anak-anaknya, dan istrinya Erny,
juga pemain akrobat dalam rombongan pimpinan Pak Tepong. Terus
terang, Tepong bangga memiliki kelompok akrobat yang boleh
dibilang lengkap sulap, tari plastik, balancing, juggling
(memainkan bola-bola), jangkungan, sampai badut.
Prihatino, anak sulung Pak Tepong, yang kini kelas satu SMA
dikenal sebagai pemain juggling dan seorang stuntman. Ia sudah
main antara lain untuk film Koboi Sutra Ungu, Nyai Blorong,
Koboi Cilik dan Jaka Sembung. Di film yang terakhir ini, untuk
tiga hari menjadi stuntman ia mendapat Rp 250 ribu, sekitar 20
kali lipat dibandingkan honornya ketika mula-mula bermain.
Tapi Butet, anak keenam, barangkali anak Pak Tepong yang paling
berbakat. Gadis cilik kelas dua SD itu sudah main akrobat sejak
masih dalam kandungan. "Sore hari saya masih main, Butet lahir
pukul tiga dini harinya," kau Erny, 3 8 tahun, yang nampak awet
muda.
Usia lima bulan, Butet sudah mampu berdiri di ujung jari
ayahnya. Kata orang tuanya anak itu sudah bisa berlari-lari pada
usia sembilan bulan. Kini, Butet berumur tujuh tahun dan
tubuhnya amat lentur kalau melakukan salto. Ia juga ahli main
jangkungan, berjalan dengan tungkai kayu setinggi 1,60 meter.
Konon seorang anak Inggris berusia delapan tahun yang
disebut-sebut sebagai "pemegang rekor dunia" hanya mengenakan
jangkungan setinggi 1,50 meter.
Erny sendiri, berpasangan dengan Ferdinand, 19 tahun, anak
angkat Pak Tepong, kini hampir tiap malam main sulap dan akrobat
di berbagai klub malam. Ia sering harus berpakaian minim dan
menyolok, "menyesuaikan diri dengan lingkungan." Maka para
tetangga pun bisik-bisik, "Lihat, istri Pak Tepong sudah berani
keluar masuk nightclub." Tapi Erny dan Pak Tepong tak kurang
akal untuk membuktikan bahwa yang berbau nightclub tak selamanya
negatif. Satu persatu, secara bergiliran tetangganya diajak
melihat pertunjukan di klub malam. Dan mereka melihat, tak
terjadi sesuatu yang kurang patut.
Menurut Pak Tepong, keberanian yang tinggi dan latihan terus
menerus, mutlak diperlukan seorang pemain akrobat. Di samping
itu juga harus bermental baja. Dan itulah yang selalu ditanamkan
kepada anak-anaknya, sejak mereka masih bayi. Terhadap Dini,
misalnya, si bungsu yang berusia sekitar setahun, Pak Tepong
enak saja melemparkannya ke arah istrinya. Bayi itu melayang di
udara, melambaikan tangan dan tertawa, seperti tahu saja bahwa
suatu saat ia juga bakal menjadi seorang pemain akrobat.
Lemparan itu, bertambah tinggi dan bertambah jauh dilakukan Pak
Tepong dan istrinya. Tujuannya, tak hanya untuk menanamkan jiwa
akrobatik, melainkan, agar ia bisa menghadapi liku-liku
hidupnya dengan penuh keberanian ."
Hidup Pak Tepong memang cukup berliku. Ia, seperti diakuinya
tanpa malu-malu "anak kuli kontrak Deli." Anak sulung dari lima
bersaudara itu nama aslinya Paidi. Konon karena lahir di hari
Jumat Pahing, dan kebetulan pada saat panen padi. Pahing dan
padi, digabung menjadi Paidi. Nama Tepong diperoleh 1970 dari
Pak Kasur, yang melihat empat gigi tengahnya ompong.
Ia bisa main akrobat dengan belajar sendiri dengan meniti kawat
dan melakukan salto, setelah melihat orang-orang latihan, di
Siantar. Memang tak ada sekolah akrobat. Ketika melanjutkan
sekolah di Jakarta, ia masuk SGPD. Tapi hanya sebagai siswa tak
resmi. Hingga walau tiap hari ikut belajar, ketika lulus ia tak
mendapat ijazah. Tapi, "yang penting ilmunya, bukan ijazahnya,"
katanya.
Memang benar. Tanpa ijazah dari Sekolah Guru Pendidikan
(D)Jasmani itu, kini penghasilannya lumayan. Untuk acara
keluarga, tarifnya sekali main (satu jam) rata-rata Rp 150 ribu.
Tapi Pak Harto yang sudah empat kali menanggapnya, menurut
Tepong, selalu memberi Rp 300 ribu. Untuk pertunjukan di muka
umum, Pak Tepong bisa menerima sampai Rp 400 ribu. "Paling
tinggi saya pernah menerima Rp 750 ribu," kata Pak Tepong
bangga. Tapi pengeluarannya juga besar. "Belanja kami sampai Rp
20 ribu sehari," kata istrinya. Semua anggota keluarganya,
katanya, memang gemar makan untuk menjaga kondisi badan.
R. Tonny Soehartono, 44 tahun, pemain akrobat udara dengan
sepeda motor dari Surabaya, pun merasa tetap harus menjaga
kondisi tubuhnya. Selain itu, "perlu keberanian, konsentrasi
tinggi dan saraf baja." Seperti pemain Tong Setan, pemain utama
klub Akrobat Udara Indonesia Surya Angkasa Jaya itu enggan
memakai alat pengaman seperti helm atau jaring. "Kalau memakai
alat pengaman, namanya tidak murni lagi," kata ayah lima anak
itu.
Yang penting, katanya, selalu bersikap hati-hati dan waspada.
Juga: mengucap kulo nuwun (permisi) kepada sesepuh dan 'orang
pintar' di daerah tempat pertunjukan diadakan. Tujuannya,
"supaya mereka tidak merasa disaingi." Ketika mentas di Madura
dan Manado, misalnya, Tonny tanpa sungkan-sungkan mendatangi
jagoan di sani. "Merendah sedikit tak mengapa, kan?" katanya.
Selain meniti kawat dengan sepeda motor, grup Tonny biasa
mempertunjukkan telepati: mengendarai sepeda motor, menembak dan
menirukan tulisan dengan kedua mata tertutup rapat. Lalu, orang
dibenamkan dalam es, digilas dengan sepeda motor di atas alas
berpaku dan bermacam-macam pertunjukan lagi.
Kepandaiannya itu diperoleh dari Mr. Ong, ketika suatu kali ia
pergi ke Singapura. Mulanya, sebagai wartawan majalah
Gembira-Pusparagam- Bandung, ia hanya berniat mewawancarai
pemain akrobat itu. Ternyata Tonny yang sejak kecil doyan nonton
sirkus dan main sepeda motor, tertarik untuk mewarisi j ilmu Mr.
Ong. Empat bulan nyantrik (belajar) ia lalu balik ke Indonesia
dengan tekad kuat: mendemonstrasikan kebolehannya.
Kini 85% wilayah Indonesia, katanya, sudah pernah ia jelajahi.
Dan Tonny merasa itulah memang cita-cita hidupnya. Hingga, "saya
tak pernah merasa susah. Suka terus! " Apalagi bila show ke
daerah, ia selalu menginap di-hotel kelas satu, makan enak, naik
pesawat, dikalungi bunga dan dikawal polisi. Show yang
diadakannya, kebanyakan bersifat sosial, untuk kegiatan mencari
dana. Hidupnya sendiri tak terlihat mewah. Ia kini tinggal di
Perumnas Tandes, Surabaya.
ANGGOTA Harley Club Bandung, berdiri 1962, terkadang juga
melakukan kerja sosial berupa mengawal parade atau membantu
polisi menangkap para pengebut. Beranggotakan 300 orang, hanya
sekitar 20 orang menurut Udin Saepudin, Bendahara HCB, yang
memiliki keahlian berakrobat. Atraksi yang bisa dilakukan antara
lain melompati tumpukan mobil atau drum, mengendarai motor
dengan badan terbalik sambil membongkar senjata api dan membuat
susunan 12 orang di-atas sebuah sepeda motor.
Biasa bermain di Jawa Barat dan Jawa Tengah, kelompok
Udinmendapat bayaran antara Rp 200 ribu sampai Rp 500 ribu.
Honor bisa dihitung berdasarkan persentase karcis yang terjual
atau dengan sistem borongan. Udin nampaknya tak banyak rewel
soal honor ini. Sebab, main akrobat baginya lebih merupakan
hobi. Untuk mengasapi dapur, ia mengandalkan bengkel kecilnya
yang khusus memperbaiki sepeda motor Harley Davidson.
Maka, ia tak merasa begitu kehilangan jika belakangan ini, entah
mengapa, grupnya jarang mendapat tawaran untuk beratraksi.
Pada tahun 1960-an tangannya pernah terbakar karena kecelakaan
sepeda motor, tapi sampai sekarang Udin tak pernah terpikir
untuk mengasuransikan dirinya. Juga Pak Tepong, Silik dan Sara
tidak. Tonny malah bilang, "kalau mau celaka, waktu sedang tidur
pun bisa terjadi". Pokoknya, "hidup mati ada di tangan Tuhan."
Tapi apa betul pemain akrobat punya ilmu atau aji-aji? Tonny dan
Udin bilang tidak. "Semua orang bisa mempelajarinya, asal mau,"
kata Tonny. Barangkali hanya Pak Tepong yang mengaku punya
aji-aji. Apa? "Ajinomoto," kata Pak Tepong tertawa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini