Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Mereka berakrobat meniti nasib

Para pemain akrobat seperti grup tong raksasa, keluarga pak tepong, r. tony soehartono, hanya mengandalkan kemahirannya yang penuh bahaya. (sd)

25 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI tengah hingar bingar pasar malam Sekaten yang kini tengah berlangsung di Yogyakarta, terdengar suara lenderu-deru. Suara itu berasal dari sebuah tong raksasa, terbuat dari kayu. Fmpat buah sepeda motor dan sebuah go-cart berputar, susul menyusul dalam tong bergaris tengah 12 meter dan tinggi tujuh meter itu. Tong itu pun berderak-derak seperti hendak buyar. Dan jantung penonton yang berdiri di bibir tong, di aus, turut berdebar kencang menyaksikan atraksi menantang maut itu. Si pengendara sepeda motor dan gocart, sama sekali tak memakai alat pengaman: helm di kepala dan pakaian balap yang bisa melindungi tubuh bila terjadi kecelakaan. Silik, 26 tahun, salah seorang pengendara sepeda motor dalam atraksi Tong Raksasa, bahkan umpil amat sederhana berkaus, celana jean dan bersandal jepit. Tapi ayah dari seorang anak Ini tak pernah merasa ngeri. Yang penting, "kita menguasai teknik mengemudikan sepeda motor dan tekad bertarung melawan maut," katanya. Seperti rekannya, Sara, dari semula Silik memang gemar ngebut di jalan raya. Tapi keduanya merasakan hal itu "kurang serem". Kebetulan, tahun 1976 mereka berkenalan dengan Pak Wito, yang melatih keduanya ngebut dalam tong kayu. Cuma belajar sebulan, Silik dan Sara kemudian bergabung dengan rombongan Tong Raksasa pimpinan David Sunaryo. Kota demi kota mereka singgahi dan umumnya atraksi maut itu cukup digemari penonton. Tiap bulan, Sara bisa mendapat imbalan Rp 150Rp 200 ribu--tergantung jumlah tiket yang terjual. Kalau lagi sepi, "apa boleh buat, kami harus rela menerima sedikit." Tong Raksasa dulu populer dengan sebutan Tong Setan -- meski tak ada urusan dengan setan, mistik dan sebangsanya. Para pemain semata-mata mengandalkan kemahirannya, dan tak punya ilmu gaib seperti banyak disangka orang. Penggantian nama menjadi Tong Raksasa, menurut Silik, "biar setan jangan ikut campur tangan." Supaya keselamatan para pemain tetap terjagalah, kira-kira. Tapi kecelakaan sekali waktu terjadi juga. Beberapa waktu lalu, seorang pemain tak bisa mengontrol kendaraannya. Sepeda motor yang ia naiki terlempar dari dalam tong, melesat ke udara dan jatuh di luar arena. Si pengendara tersangkut di bibir tong, tapi selamat. Kecelakaan itu, menurut Sara, terjadi akibat ban pecah, tertusuk paku yang mencuat dari dinding tong kayu. Sara, misalnya, pernah beberapa kali terpental jatuh akibat ban pecah, "Nih, lihat," kaunya memperlihatkan tangannya yang penuh bekas jahitan. Tapi ia tidak kapok. "Ini sudah menjadi pekerjaan saya," katanya kalem. Pak Tepong pun, 52 tahun, 100% mengandalkan hidupnya dari main akrobat. Rumah papannya yang bertingkat di sebuah gang di bilangan Bidara Cina, Jakarta Timur, juga dibangun berkat bermain akrobat. "Dan alhamdulillah, sampai sekarang kami belum pernah kelaparan," kata ayah tujuh anak kelahiran Siantar itu. Ia memang tak bermain sendiri. Anak-anaknya, dan istrinya Erny, juga pemain akrobat dalam rombongan pimpinan Pak Tepong. Terus terang, Tepong bangga memiliki kelompok akrobat yang boleh dibilang lengkap sulap, tari plastik, balancing, juggling (memainkan bola-bola), jangkungan, sampai badut. Prihatino, anak sulung Pak Tepong, yang kini kelas satu SMA dikenal sebagai pemain juggling dan seorang stuntman. Ia sudah main antara lain untuk film Koboi Sutra Ungu, Nyai Blorong, Koboi Cilik dan Jaka Sembung. Di film yang terakhir ini, untuk tiga hari menjadi stuntman ia mendapat Rp 250 ribu, sekitar 20 kali lipat dibandingkan honornya ketika mula-mula bermain. Tapi Butet, anak keenam, barangkali anak Pak Tepong yang paling berbakat. Gadis cilik kelas dua SD itu sudah main akrobat sejak masih dalam kandungan. "Sore hari saya masih main, Butet lahir pukul tiga dini harinya," kau Erny, 3 8 tahun, yang nampak awet muda. Usia lima bulan, Butet sudah mampu berdiri di ujung jari ayahnya. Kata orang tuanya anak itu sudah bisa berlari-lari pada usia sembilan bulan. Kini, Butet berumur tujuh tahun dan tubuhnya amat lentur kalau melakukan salto. Ia juga ahli main jangkungan, berjalan dengan tungkai kayu setinggi 1,60 meter. Konon seorang anak Inggris berusia delapan tahun yang disebut-sebut sebagai "pemegang rekor dunia" hanya mengenakan jangkungan setinggi 1,50 meter. Erny sendiri, berpasangan dengan Ferdinand, 19 tahun, anak angkat Pak Tepong, kini hampir tiap malam main sulap dan akrobat di berbagai klub malam. Ia sering harus berpakaian minim dan menyolok, "menyesuaikan diri dengan lingkungan." Maka para tetangga pun bisik-bisik, "Lihat, istri Pak Tepong sudah berani keluar masuk nightclub." Tapi Erny dan Pak Tepong tak kurang akal untuk membuktikan bahwa yang berbau nightclub tak selamanya negatif. Satu persatu, secara bergiliran tetangganya diajak melihat pertunjukan di klub malam. Dan mereka melihat, tak terjadi sesuatu yang kurang patut. Menurut Pak Tepong, keberanian yang tinggi dan latihan terus menerus, mutlak diperlukan seorang pemain akrobat. Di samping itu juga harus bermental baja. Dan itulah yang selalu ditanamkan kepada anak-anaknya, sejak mereka masih bayi. Terhadap Dini, misalnya, si bungsu yang berusia sekitar setahun, Pak Tepong enak saja melemparkannya ke arah istrinya. Bayi itu melayang di udara, melambaikan tangan dan tertawa, seperti tahu saja bahwa suatu saat ia juga bakal menjadi seorang pemain akrobat. Lemparan itu, bertambah tinggi dan bertambah jauh dilakukan Pak Tepong dan istrinya. Tujuannya, tak hanya untuk menanamkan jiwa akrobatik, melainkan, agar ia bisa menghadapi liku-liku hidupnya dengan penuh keberanian ." Hidup Pak Tepong memang cukup berliku. Ia, seperti diakuinya tanpa malu-malu "anak kuli kontrak Deli." Anak sulung dari lima bersaudara itu nama aslinya Paidi. Konon karena lahir di hari Jumat Pahing, dan kebetulan pada saat panen padi. Pahing dan padi, digabung menjadi Paidi. Nama Tepong diperoleh 1970 dari Pak Kasur, yang melihat empat gigi tengahnya ompong. Ia bisa main akrobat dengan belajar sendiri dengan meniti kawat dan melakukan salto, setelah melihat orang-orang latihan, di Siantar. Memang tak ada sekolah akrobat. Ketika melanjutkan sekolah di Jakarta, ia masuk SGPD. Tapi hanya sebagai siswa tak resmi. Hingga walau tiap hari ikut belajar, ketika lulus ia tak mendapat ijazah. Tapi, "yang penting ilmunya, bukan ijazahnya," katanya. Memang benar. Tanpa ijazah dari Sekolah Guru Pendidikan (D)Jasmani itu, kini penghasilannya lumayan. Untuk acara keluarga, tarifnya sekali main (satu jam) rata-rata Rp 150 ribu. Tapi Pak Harto yang sudah empat kali menanggapnya, menurut Tepong, selalu memberi Rp 300 ribu. Untuk pertunjukan di muka umum, Pak Tepong bisa menerima sampai Rp 400 ribu. "Paling tinggi saya pernah menerima Rp 750 ribu," kata Pak Tepong bangga. Tapi pengeluarannya juga besar. "Belanja kami sampai Rp 20 ribu sehari," kata istrinya. Semua anggota keluarganya, katanya, memang gemar makan untuk menjaga kondisi badan. R. Tonny Soehartono, 44 tahun, pemain akrobat udara dengan sepeda motor dari Surabaya, pun merasa tetap harus menjaga kondisi tubuhnya. Selain itu, "perlu keberanian, konsentrasi tinggi dan saraf baja." Seperti pemain Tong Setan, pemain utama klub Akrobat Udara Indonesia Surya Angkasa Jaya itu enggan memakai alat pengaman seperti helm atau jaring. "Kalau memakai alat pengaman, namanya tidak murni lagi," kata ayah lima anak itu. Yang penting, katanya, selalu bersikap hati-hati dan waspada. Juga: mengucap kulo nuwun (permisi) kepada sesepuh dan 'orang pintar' di daerah tempat pertunjukan diadakan. Tujuannya, "supaya mereka tidak merasa disaingi." Ketika mentas di Madura dan Manado, misalnya, Tonny tanpa sungkan-sungkan mendatangi jagoan di sani. "Merendah sedikit tak mengapa, kan?" katanya. Selain meniti kawat dengan sepeda motor, grup Tonny biasa mempertunjukkan telepati: mengendarai sepeda motor, menembak dan menirukan tulisan dengan kedua mata tertutup rapat. Lalu, orang dibenamkan dalam es, digilas dengan sepeda motor di atas alas berpaku dan bermacam-macam pertunjukan lagi. Kepandaiannya itu diperoleh dari Mr. Ong, ketika suatu kali ia pergi ke Singapura. Mulanya, sebagai wartawan majalah Gembira-Pusparagam- Bandung, ia hanya berniat mewawancarai pemain akrobat itu. Ternyata Tonny yang sejak kecil doyan nonton sirkus dan main sepeda motor, tertarik untuk mewarisi j ilmu Mr. Ong. Empat bulan nyantrik (belajar) ia lalu balik ke Indonesia dengan tekad kuat: mendemonstrasikan kebolehannya. Kini 85% wilayah Indonesia, katanya, sudah pernah ia jelajahi. Dan Tonny merasa itulah memang cita-cita hidupnya. Hingga, "saya tak pernah merasa susah. Suka terus! " Apalagi bila show ke daerah, ia selalu menginap di-hotel kelas satu, makan enak, naik pesawat, dikalungi bunga dan dikawal polisi. Show yang diadakannya, kebanyakan bersifat sosial, untuk kegiatan mencari dana. Hidupnya sendiri tak terlihat mewah. Ia kini tinggal di Perumnas Tandes, Surabaya. ANGGOTA Harley Club Bandung, berdiri 1962, terkadang juga melakukan kerja sosial berupa mengawal parade atau membantu polisi menangkap para pengebut. Beranggotakan 300 orang, hanya sekitar 20 orang menurut Udin Saepudin, Bendahara HCB, yang memiliki keahlian berakrobat. Atraksi yang bisa dilakukan antara lain melompati tumpukan mobil atau drum, mengendarai motor dengan badan terbalik sambil membongkar senjata api dan membuat susunan 12 orang di-atas sebuah sepeda motor. Biasa bermain di Jawa Barat dan Jawa Tengah, kelompok Udinmendapat bayaran antara Rp 200 ribu sampai Rp 500 ribu. Honor bisa dihitung berdasarkan persentase karcis yang terjual atau dengan sistem borongan. Udin nampaknya tak banyak rewel soal honor ini. Sebab, main akrobat baginya lebih merupakan hobi. Untuk mengasapi dapur, ia mengandalkan bengkel kecilnya yang khusus memperbaiki sepeda motor Harley Davidson. Maka, ia tak merasa begitu kehilangan jika belakangan ini, entah mengapa, grupnya jarang mendapat tawaran untuk beratraksi. Pada tahun 1960-an tangannya pernah terbakar karena kecelakaan sepeda motor, tapi sampai sekarang Udin tak pernah terpikir untuk mengasuransikan dirinya. Juga Pak Tepong, Silik dan Sara tidak. Tonny malah bilang, "kalau mau celaka, waktu sedang tidur pun bisa terjadi". Pokoknya, "hidup mati ada di tangan Tuhan." Tapi apa betul pemain akrobat punya ilmu atau aji-aji? Tonny dan Udin bilang tidak. "Semua orang bisa mempelajarinya, asal mau," kata Tonny. Barangkali hanya Pak Tepong yang mengaku punya aji-aji. Apa? "Ajinomoto," kata Pak Tepong tertawa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus