HAMPIR seribu tan.Jn telah lewat sejak Pangeran Vladimir dari
Kiev memeluk agama tua dari Byzantium itu--dan dengan demikian
menjadikan Kristen Ortodoks agama rakyat yang berbahasa Rusia.
Tahun 1988 -- enam tahun lagi, Gereja Ortodoks Rusia--yang tetap
merupakan salah satu aliran Kristen terbesar dan paling
berpengaruh di dunia -- akan merayakan ulang tahunnya yang
keseribu.
Michael Binyon, dalam Sunday Times Magzine, menulis bahwa
gereja tersebut, lebih dari pranata sosial mana pun di Rusia,
sebenarnya merupakan gudang penyimpanan nilai-nilai Rusia dan
tempat bertumpunya hati nurani Rusia yang sejati. Lebih dari 60
tahun sejak Revolusi Bolsyewik mengesahkan masa berlakunya
penganiayaan, yang tiada tara dan atheisme yang militan, gereja
itu tetap tegak. Ia nampaknya berkembang dengan diam-diam .
Paling tidak, masa 10 tahun terakhir ini menyaksikan kebangkitan
kembali, "secara luar biasa," martabat dan pengaruh gereja. Kaum
muda dalam jumlah ribuan memalingkan mata kembali kepada agama
nenek moyang: gereja, yang telah diporak-porandakan oleh
tindakan keji Stalin dan Kruschev.
Memang, tak ada yang tahu berapa banyak pemeluk agama di Rusia
kini. Gereja Ortodoks tidak mungkin anggotanya. Tidak pula
menyimpan catatan tertulis mengenai anak-anak yang dibaptisnya.
Mereka tak bersedia memberikan angka-angka. Mereka bilang,
kepercayaan agama adalah urusan seseorang dengan Tuhan. Ini
sikap hati-hati yang masuk akal, di negeri yang kurang-lebih 10
juta penduduknya terlibat dalan perjuangan yang didukung negara
untuk menegakkan atheisme.
Tapi perkiraan resmi dan angka statistik dalam berbagai
penerbitan kaum atheis menyebutkan sekitar 15 sampai 20 persen
penduduk dewasa terdiri dari kaum beragama. Jadi kurang-lebih 32
juta.
Kecuali sejumlah kecil penganut Katolik Roma dan Protestan di
Republik-republik Baltik, dan sejumlah 500.000 orang penganut
Baptis, terutama di Ukraina, serta jumlah besar kaum muslimin di
republik- republik Asia, sebagian besar kaum beragama memang
pemeluk Ortodoks. Namun kini hanya jumlah pendeta dan gereja
yang dapat diketahui dengan pasti--dan menunjukkan kemerosotan
yang tajam sejak revolusi Bolsyewik. Di zaman Tsar terdapat
57.000 pendeta, dibantu 84.000 biarawan dan biarawati, di 54.
174 gereja dan 1.025 susteran dan bruderan. Sedang sekarang
hanya ada kurang dari 10.000 pendeta, melayani sekitar 7.500
gereja. Seminari (sekolah pendeta) tinggal tiga buah, dengan 15
susteran dan hanya tiga bruderan.
Terutama selama masa 20 tahun pertama setelah Revolusi
Bolsyewik, rezim baru terlihat berusaha menyingkirkan agama
secara keseluruhan. Ironisnya, penindasan agama juga terjaai di
bawah rezim Kruschev, orang yang dipuja karena liberalisasi yang
dilakukannya di bidang-bidang lain. Agama dikaitkan erat dengan
rezim Tsar. Diingatkan juga peranan penting yang dimainkan agama
selama masa kekaisaran lama. Gereja, seperti dikatakan kaum
Bolsyewik, berpihak kepada golongan penguasa, dan bukan rakyat.
Hitung-hitung, Gereja Ortodoks Rusia memang paling tunduk kepada
selera penguasa dibanding dengan gereja-gereja ortodoks di
negara lain di belahan timur Dunia Kristen. Selama beberapa abad
setelah Pangeran Vladimir memeluk agama dari kaum misi Yunani
itu, Gereja masih dikuasai Metropolitan (Uskup Agung)
Konstantinopel. Namun, dalam kenyataan di daerah-daerah hutan
sebelah utara Rusia yang jauh dari Bizantium, Gereja Ortodoks
itu makin bersifat Rusia, terutama selama 200 tahun kekuasaan
Tartar yang sanggup mempertahankan semangat asli negeri itu.
Dalam tahun 1448, Gereja diberi kekuasaan sendiri--autocephalous
menurut istilah mereka. Tahun 1589 Metropolitan Moskow yang
bernama Job dinaikkan posisinya sebagai patriarkh (yang
tertinggi). Kedudukan ini adalah yang kelima dalam hirarki
Gereja Ortodoks setelah Patriarkh Konstantinopel, Alexandria,
Antioch dan Yerusalem. Dan orde ini masih tetap bertahan hingga
kini, di saat jumlah Gereja Ortodoks yang independen meningkat
sampai 14.
Dalam pertarungan mati-matian anlar-berbagai kelompok di masa
awal berdirinya Rusia, dan dalam perang melawan Polandia yang
Katolik Roma, Gereja Ortodoks cukup dalam keterlibatannya.
Keguncangan paling besar terjadi pertengahan abad ke-17. Waktu
itu Nikon, patriarkh yang berpengaruh, mencoba memulihkan
martabat Gereja dengan memaklumkan jabatan patriarkh lebih
tinggi dari tahta Tsar.
Ia juga mencoba menghapuskan "kesalahan-kesalahan" yang telah
menyusupi kitab-kitab dan praktek Gerejani Rusia, dengan
mengadakan perubahan untuk menyesuaikannya dengan praktek gereja
Yunani. Masalah yang jadi pokok persoalan waktu itu: apakah
orang harus membuat tanda salib dengan mengacungkan tiga
jari--menurut cara baru--atau dua jari, seperti cara lama.
PEMBARUAN Nikon ini mendapat tentangan keras dan melahirkan
perpecahan yang gawat. Jutaan kaum tradisional tak mau menerima,
dan menyatakan diri beroposisi. Mereka, disebut "penganut aliran
lama," melarikan diri ke hutan-hutan. Menghadapi pengejaran yang
tak henti-hentinya, seluruh kelompok pembangkang ini malah
membakar diri hidup-hidup dalam tempat-tempat persembunyian. Toh
masih ada juga gereja "aliran lama" yang menggunakan tata
peribadatan semula.
Peter yang Agung, tsar pembaharu yang membuka Rusia bagi pihak
Barat, merasa sangat terhina oleh perubahan yang dulu dipaksakan
Nikon terhadap ayahnya itu. Tahun 1721 ia menekan Patriarkh
Moskow--dan menggantinya dengan 'Sinode Suci yang Berkuasa',
yang dikontrol ketat oleh negara. Sejak itu Tsar merupakan
kepala Gereja secara de facto--dan Gereja akhirnya merupakan
alat negara belaka.
Dalam panclangan kaum revolusioner Rusia, Gereja adalah salah
satu sokoguru rezim lama, yang dipakai untuk meyakinkan rakyat
dalam menerima nasib buruk mereka. Gereja sendiri bukan tidak
berusaha keras menegakkan independensinya, dan mengajukan
rencana untuk membangun kembali patriarkhat. Tapi tahun 1917
datang, dan kaum Bolsyewik merebut kekuasaan. Revolusi segera
mencopot hak-hak Gereja yang "berkomplot" itu, termasuk hak
untuk memiliki. Didirikan kembali satu patriarkh yang
independen. Tetapi Tikhon yang terpilih menjabatnya, mengambil
sikap tegas terhadap kaum Bolsyewik. Akibatnya fatal. Tahun
1922, melalui dekrit, pemerintah menyita semua milik Gereja yang
berharga. Tikhon dikenai tahanan rumah.
Dan perpecahan antar Gereja pun timbul kembali. Satu kelompok
baru menyatakan dukungannya terhadap pemerintah Soviet. Akhirnya
Tikhon dibebaskan, dan menyatakan Gereja tidak menentang
pemerintah. Tapi, di bawah Stalin waktu itu, seluruh Gereja
menghadapi penindasan yang keji. Ribuan pendeta dihukum mati.
Gedung-gedung gereja ditutup. Tahun 1938 hanya ada empat uskup
dan 100 gereja yang bisa berfungsi di negeri sosialis pertama di
dunia itu. Konsekuensi yang paling lama dirasakan ialah,
keyakinan Partai Komunis tentang Gereja sebagai musuhnya
diperkuat lagi oleh berbagai kejadian selama Revolusi Bolsyewik
dan perang saudara. Hingga kini keyakinan Partai Komunis itu
tidak berubah. Gereja adalah musuh.
Perang Dunia mendatangkan perubahan mendadak. Stalin sadar, ia
harus mengobarkan kembali patriotisme lama Rusia karena
menghadapi pertarungan hidup-mati dengan Nazi. Akhirnya di tahun
1943 terpilih seorang patriarkh baru, dan perpecahan berakhir.
Sejumah 25.000 gereja dibuka kembah, bahkan jumlah pendeta
meningkat sampai 33.000 orang, meski tetap jadi sasaran sikap
sewenang-wenang negara.
Posisi agama, menurut hukum ditetapkan dalam Undang-undang Dasar
Soviet 1977. Pasal 52 menjamin kebebasan hati nurani bagi setiap
warganegara, dan "hak untuk memeluk agama apa pun atau tidak
memeluk sesuatu agama, menjalankan ibadat agama, atau
melancarkan propaganda atheistis."
Pasal yang sama juga menyatakan, Gereja terpisah dari negara dan
sekolah. Para pejabat pemerintah dan pemimpin Gereja Rusia
berpendapat, pasal ini memberikan kebebasan kepada Gereja untuk
mengatur urusannya sendiri, hal yang tak pernah dinikmati
sebelumnya. Dalam teori, memang. Tapi praktek keagamaan di Uni
Soviet dikungkung oleh berbagai hambatan administratif. Dan
sementara Gereja dilarang menyiarkan pesannya ke seluruh dunia,
negara memberikan dorongan positif dalam ratusan cara yang
berbeda kepada kaum atheis militan.
Satu pasal hukum pidana Soviet mengancam, dengan hukuman penjara
sampai lima tahun dan penyitaan hak milik, setiap penganut agama
yang "melanggar hak-hak warganegara dengan dalih melaksanakan
ibadat". Memang, resminya negara lepas tanggungan dari semua
upacara agama--meski kenyataannya selalu mengawasi dengan ketat.
Dewan Urusan Agama, yang wewenangnya sama dengan kementerian
Soviet, bertanggung jawab melaksanakan undang-undang tentang
agama.
Dewan itu organisasi sekular. Dan semua umat beragama di
Soviet--Gereja Ortodoks Rusia, Islam, Gereja Baptis, Yahudi, dan
Buddha--harus mengajukan kepada mereka setiap persoalan yang
menyangkut pembukaan atau penutupan rumah ibadat, perbaikannya,
sengketa dengan pejabat setempat, atau rencana konperensi
keagamaan.
Dewan tersebut melaksanakan tugasnya dengan hati-hati. Mereka
berusaha memelihara hubungan baik dengan para pemuka agama,dan
berupaya menumbuhkan citra yang baik kepada dunia tentang
dirinya. Dengan telaten pula mereka menunjukkan kebijaksanaan
resmi yang semakin toleran terhadap agama. Memang, bagai pisau
bermata dua, mereka tak pernah melengahkan pengawasan yang
tajam, untuk meyakinkan dirinya bahwa organisasi-organisasi
agama tidak melampaui batas kebebasan yang diberikan.
Keadaan memang tidak selalu menggembirakan. Kampanye Kurschev
yang sangat tajam terhadap agama menyebabkan ditutupnya lebih
dari separuh gereja. Tapi sejak musim gugur 1964, keadaan
menjadi berimbang. Tak banyak lagi gereja yang ditutup secara
sewenang-wenang, dan cemoohan kepada jemaat pada Hari Natal atau
upacara Paskah dihentikan. Sebagian peraturan berbelit-belit
yang dibuat untuk mempersulit perkembangan gereja, dicabut.
Bahkan kadang dewan yang disebut tadi ikut campur atas nama
Gereja, bila para pejabat setempat yang overacting berusaha
menghalang-halangi umat Kristen yang terdaftar sah melaksanakan
ibadat.
Menurut undang-undang, sebuah gereja bisa berfungsi jika 20
orang jemaah yang bertanggung jawab bisa didaftar secara sah
sebagai dewan jemaat, yang bisa merawat bangunan dan membayar
gaji pendeta. Waktu pendaftaran, kelompok umat tersebut
diizinkan memakai bangunan gereja yang merupakan milik negara.
Di kota-kota, keadaan itu tidak menimbulkan persoalan upacara
kebaktian selalu dijubeli pengunjung. Selama hari-hari kudus dan
waktu Paskah kumpulan umat begitu padat sehingga polisi Soviet
perlu dikerahkan untuk menjaga ketertiban. Katedral-katedral
besar di Kiev, Vladimir dan kota-kota tua Rusia lainnya dihias
mewah. Juga terawat baik. Tapi jumlah yang seperti itu tak
banyak. Leningrad, yang penduduknya empat juta, hanya punya
empat gereja yang bisa dipakai. Moskow, dengan delapan juta
penduduk, lebih baik keadaannya: 50 gereja yang berfungsi.
Tapi di pedesaan banyak gereja yang kekurangan jemaat. Dan
karena jumlah mereka sedikit, timbul kesulitan mengenai
perawatan gedung yang umumnya sudah tua dan memerlukan banyak
perbaikan. Akibatnya sebagian besar gedung gereja Rusia, yang
terkenal arsitekturnya itu, diubah jadi museum negara.
Termasukmisalnya Katedral St. Issac di Leningrad dan kompleks
gereja kuno di Kremlin, Moskow.
Meski sangat konservatif dalam dogma dan upacara mistik, dan
tetap menjauhkan diri dari kehidupan sehari-hari jemaatnya,
Gereja Ortodoks Rusia sebenarnya telah menyesuaikan diri dengan
cara-cara halus abad ke-20. Pendidikan pendeta, misalnya, kini
lebih bersifat menyeluruh dan sesuai dengan kcnyataan hidup yang
berlaku. Kaum wanita diperbolehkan mempelajari teologi dan
sejarah Gereja. Dahulu tidak.
Ketiga seminari yang masih ada itu terletak di Leningrad, Odessa
(kediaman musim panas Patriarkh) dan Zaggorsk. Yang terakhir itu
pusat spiritual Gereja, kira-kira 30 mil dari Moskow. Yang
belajar di sana sekitar 900 orang. Dan jumlah ini sama dengan
yang mengikuti pendidikan di tujun seminari sebelum empal dari
padanya ditutup rezim Kruschev.
Nah. Karena jumlahnya sedikit, sedang peminat lumayan banyak,
persaingan masuk pun cukup sengit. Si calon harus menyelesaikan
pendidikan menengah atas dan harus membuktikan ikatan
spiritualnya dengan agama. Pelajarannya terhitung berat. Jam
belajarnya lama, sedang rekreasi dibatasi. Seminari Odessa,
misalnya, baru-baru ini menaikkan dua kali lipat jumlah
penerimaan murid menjadi 240 orang. Sedang yang lulus tiap tahun
hanya 60 orang.
Pendidikan meliputi 25 mata pelalaran--campuran antara ilmu
agama dan pendidikan tinggi Soviet yang lazim. Mahasiswdsel dri
belajar bahasa Slavia Gereja Kuno di samping sejarah Uni Soviet.
Mereka membaca njil di samping koran resmi Pravda dan Izvestia
yang disediakan di perpustakaan. Mereka menonton film dan acara
televisi Soviet, di samping memimpin kebaktian. Di tempok ruang
makan salah satu bruderan terpampang potret para uskup dan
patriarkh, sementara di sebelahnya potret Lenin dan Brezhnev.
Umumnya para mahasiswa terdiri dari anak muda, meski di antara
mereka ada pula yang sudah bekerja di lapangan lain sebelum
masuk seminari. Biaya pendidikan ditanggung Gereja, dan mereka
menerima bantuan 5 rubel (I.k. Rp 18.000) sebulan.
Tiap tahun lulusan terbaik dikirim ke Zagorsk. Di sana mereka
melanjutkan studi teologi. Dan setelah diwisuda, para seminari
harus memilih. Mereka bisa menjadi biarawan, dan untuk itu harus
mengangkat sumpah dan bisa terus maju dalam hirarki Gereja
sampai kalau mungkin, jadi uskup. Kalau memilih jadi pendeta
yang memimpin jemaat, mereka harus menikah. Dan golongan yang
menikah ini biasanya beranak banyak--ada yang sampai 14 orang.
Tiap tahun sekitar 12 lulusan seminari Odessa ditugaskan ke luar
memimpin jemaat.
Setelah lama terputus, belakangan ini Gereja Ortodoks Rusia
diperbolehkan berhubungan lagi dengan Gunung Athos, biara yang
berdiri sendiri di semenanjung Yunani Utara. Sebelum revolusi,
Rusia mempunyai beberapa bruderan paling kaya dan paling indah
di daerah itu. Dan untuk pertama kalinya setelah 50 tahun,
sejumlah biarawan dikirimkan ke sana beberapa tahun lalu,
bergabung dengan segelintir biarawan tua yang sudah di atas 80
tahunan.
Lima belas susteran di Uni Soviet juga punya hubungan dengan
luar negeri. Misalnya dengan susteran Ortodoks Rusia di
Yerusalem, tempat yang dikunjungi para, biarawati Rusia yang
dikirimkan dari negeri mereka hingga kini. Yang tetap tinggal
di dalam negeri hidup seperti biasa, tanpa banyak bergabung
dengan masyarakat sekitar -- meski ada beberapa, yang tinggal di
susteran dekat kita besar, bekerja part timer sebagai perawat.
Keuangan Gereja seluruhnya tergantung pada sumbangan dan biaya
yang ditarik dari perkawinan, penguburan, pembaptisan dan
beberapa kebaktian khusus. Jumlah pemasukan dan pengeluaran tak
pernah diumumkan, tapi diduga Gereja-gereja itu umumnya miskin.
Gaji seorang pembantu pejabat Gereja misalnya 150 rubel, sedikit
di bawah gaji rata-rata di Uni Soviet. Hanya ia dapat rumah
dengan perabotan cuma-cuma, di samping mengharapkan (umumnya
makanan) dari para jemaat. Kepala seminari digaji 350 rubel
(I.k. Rp 250.000) dan gaji uskup di atas 500 rubel (I.k. Rp
400.000), sama dengan gaji seorang pejabat tinggi Soviet.
Selama dua puluh tahun, hingga Januari 1982, sebagian besar gaji
itu habis dimakan pajak--yang tarifnya lima kali lebih tinggi
dari pajak warganegara biasa. Tapi kini tarif itu telah
disamakan dengan tarif orang-orang Rusia lain yang digolongkan
sebagai bekerja sendiri, seperti kaum seniman dan tukang.
Keuangan Gereid sendiri habis untuR membayar pajak, gaji dan
biaya perawatan yang mahal. Anehnya, meski Gereja Ortodoks Rusia
dilarang membantu kegiatan apa pun yang bersifat sekular,
sumbangannya besar sekali kepada Dana Perdamaian Soviet--dan si
penulis tidak menerangkan dari mana dana Gereja sendiri
diperoleh. Dana Perdamaian Soviet adalah organisasi yang
mendukung usul-usul pemerintah Soviet di bidang perlucutan
senjata dan detente. Gereja juga, menurut Binyon lagi,
memberikan sumbangan kepada dana darurat negara yang bersifat
insidentil. Misalnya untuk membantu bencana alam ketika terjadi
gempa bumi Tashkent 1966.
Dalam pada itu usaha penerbitan Gereja yang dikelola sendiri
telah mengeluarkan tiga edisi Injil dalam 25 tahun ini. Itu di
samping jurnal bulanan Patriarkh Moskow yang menyiarkan kegiatan
Gereja, terutama hubungannya dengan Gereja lain di luar negeri.
Penyebaran jurnal itu dibatasi di kalangan pendeta dan
orang-orang lain yang diizinkan menerimanya.
Dekat Moskow, terdapat sebuah 'perusahaan' Gereja. Di sini
dibuat gambar-gambar, lambang gereja, lilin, gaun pengantin,
pedupaan dan barang-barang lainnya, termasuk medali untuk
upacara tertentu dan suvenir untuk tamu asing.
Tak seorang pun berpendapat bahwa hubungan Gereja dan Negara
berjalan lancar. Atau bahwa setiap orang bisa bebas menjalankan
ibadat agamanya seperti di negara lain. Partai Komunis Uni
Soviet menolak keras keanggotaan seseorang yang menjadi pemeluk
agama. Kaum muda yang secara tetap mengikuti kebaktian di gereja
akan menghadapi kesulitan mengembangkan karir. Seperti kata
seorang pejabat Soviet: "Ini negara atheis, dan Gereja adalah
musuh ideologi."
Hanya saja, dikatakannya, negara betapa pun berkewajiban
memuaskan kebutuhan rakyat akan agama. Negara juga
berkepentingan melihat para pendeta dewasa ini mendapat
pendidikan yang layak, agar mereka memahami politik pemerintah
dan situasi. "Lebih baik punya pendeta yang terdidik daripada
seorang desa bodoh yang jadi pendeta, yang bisa menyulitkan
semua orang," kata seorang pejabat.
Dan "kesulitan" itu memang timbul baru-baru ini. Sekelompok
pendeta rupanya menentang pembatasan negara terhadap agama. Juga
menuduh tokoh-tokoh senior Gereja yang bekerjasama dengan
pemerintah menghalangi Gereja melaksanakan tugas yang
sebenarnya. Maka beberapa pendeta pun ditangkap, dengan tuduhan
melancarkan propaganda anti-Soviet. Dan kemudian seorang dari
mereka, Bapak Dudko, baru-baru ini mencabut kembali
pernyataannya di depan umum. Lalu dibolehkan melanjutkan
kegiatannya sebagai pendeta.
Dalam kenyataan, Gereja Ortodoks Rusia yang bersikap tak mau
cari garagara dengan penguasa komunis, telah dipersulit oleh
para pendeta pembangkang--baik di dalam maupun di luar negeri.
Memang, sebenarnya Gereja telah menyimpang dari relnya sendiri
ketika mendemonstrasikan kesetiaannya kepada rezim komunis.
Tetapi seorang pendeta di Ukraina bahkan mengatakan: "Marxisme
adalah interpretasi baru atas aturan-aturan Kristen. Umat
Kristen percaya bahwa manusia harus berjuang di bumi untuk
Kerajaan Tuhan sedang kaum Marxis berjuang untuk Komunisme
sejati." Tentu saja penguasa Soviet membiarkannya bicara begitu.
PATRIARKH Pimen, yang terpilih tahun 1971, sering menyatakan
dukungan pada langkah-langkah politik luar negeri Soviet. Dalam
khotbah Paskah dan Natal-nya ia acap menyatakan bantuan moral
bagi "politik perdamaian" Kremlin. Para pemimpin Gereja Ortodoks
Rusia, seperti halnya pemuka agama lain di sana, mendukung
Kampanye Soviet menentang bom neutron atau persenjataan
kembali NATO. Dalam konperensi keagamaan di luar negeri,
delegasi agama Rusia akan mengambil slkap yang sejalan dengan
garis Soviet.
Dapat dikatakan, kini sebenarnya ada persetujuan tak
tertulis--alias hasil 'saling mengerti'--antara Gereja dan
Negara: Gereja akan menggalakkan kesetiaan kepada negara dan:
politiknya (peranan tak asing yang sudah dijalankannya bersama
para tsar sebelum revolusi) dan akan mengemukakan pandangan
Soviet dalam badan-badan internasional seperti Dewan
Gereja-gereja Sedunia. Sebagai imbalan, Gereja diberi hak
menjalankan kegiatan dalam batas-batas yang sudah ditentukan.
"Persetujuan" itu berjalan baik-meski tetap ada rasa saling
curiga. Kekhawatiran kaum atheis cukup beralasan. Pengaruh
Gereja Ortodoks terhitung bertambah, terutama karena bangkitnya
kembali minat rakyat terhadap nilai-nilai Rusia Lama. Yang
terakhir itu tampak pada kegiatan memelihara monumen bersejarah,
dan nostalgia umum akan kejayaan masa lampau.
Dan Gereja tak urung dianggap sumber kebudayaan Rusia
bangunanbangunannya melambangkan contoh murni kesenian dan
arsitektur Rusia Lama. Peranan menonjol Gereja dalam sejarah
Rusia kemudian semakin diakui oleh para pejabat kebudayaan dan
para intelektual, yang menujukan kembali perhatian mereka ke
Gereja untuk menemukan jejak-asal negeri mereka-lepas dari rasa
keagamaan. Daya tarik budaya ini sejalan dengan kebangkitan
kembali rasa kebangsaan Rusia--yang berbeda dengan 'Soviet'.
Dan rasa kebangsaan ini bangkit karena orang Rusia khawatir
peranan menonjol mereka, di bidang politik dan ekonomi,
diungguli kelompok bangsa lain di Uni Soviet yang sikapnya
"makin angkuh" dan angka kelahirannya pun makin tinggi. Lihat
bangsa-bangsa Islam di Soviet sebelah timur. Maka orang Rusia
pun, tak boleh tidak, melihat ke Gereja untuk meneguhkan kembali
rasa ke-Rusia-an, menghormati kembali prestasi budaya dan
sejarah Rusia. Seperti kelakar seorang pejabat senior: "Saya
seorang atheis. Tapi saya Atheis yang Ortodoks."
Apa yang disebut konsumerisme, sinisme, dan tipisnya nilai-nilai
spiritual di kalangan orang muda, menimbulkan kekhawatiran pula
pada para pejabat partai dan pers, di samping orang biasa.
Partai tentu saja menganjurkan bahwa komunisme menawarkan segala
yang dibutuhkan orang muda. Tetapi, kenyataannya, para pejabat
dengan iri melihat kemampuan Gereja Ortodoks menarik dukungan,
dengan pernyataannya tentang nilai-nilai spiritual yang tidak
berubah.
Terutama di Ukraina. Di sini rasa keagamaan masih kuat. Di sini
pula makin banyak orang muda datang ke gereja. Sebagaian besar
jemaat memang masih kaum wanita tua. Tapi orang-orang yang
tadinya tidak beragama, setelah usia 50 tahun ternyata menjadi
penganut gereja yang taat. Memang, Gereja tak melakukan upaya
khusus untuk menarik orang muda.
Gereja Ortodoks Rusia memang termasuk yang paling kolot di
dunia, dan para pemimpinnya tidak menunjukkan kecenderungan
kepada liberalisme intelektual. Peraluran lama Gereja yang
mengharuskan orang berpuasa untuk waktu lama sebelum Natal,
Paskah dan Hari Kenaikan Isa Almasih, misalnya, masih tetap
sulit diubah, meski beberapa uskup menganggapnya "sudah tak
sesuai lagi" dengan dunia sekarang. Berbeda dengan
golongan-golongan Nasrani yang lain.
Perubahan penting Gereja Ortodoks Rusia hanya terdapat dalam
hubungannya dengan Gereja-Gereja lain selama 15 tahun ini.
Kutukan terhadap penganut "ajaran lama" yang dimaklumkan tahun
1667, misalnya, sudah dicabut pada tahun 1971. Gereja juga
mengusahakan hubungan lebih erat dengan Gereja Anglikan
(Inggris)--yang belakangan ini sedang saling medekat bersama
Gereja Katolik Roma. Uskup Agung Canterbury yang sekarang,
mengadakan kontak ekstensif dengan Patriarkhat Moskow.
Hubungan yang kurang menyenangkan dengan Gereja Baptis Soviet,
dan persaingan lama dengan Gereja Katolik Roma, terutama di
Ukraina, kini telah berkurang pula. Kontak dengan agama lain
juga ditingkatkan, misalnya dengan Islam. Dan delegasi Ortodoks
banyak mengadakan perjalanan ke berbagai negara. Dengan bantuan
pemerintah Soviet, Patriarkhat kini sedang mempersiapkan
perayaan besar-besaran 1988. Saat itu, diharapkan, seluruh dunia
Kristen akan ikut Gcrcja Ortodoks Rusia merayakan milleniumnya
di "Rusia Suci".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini