Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Hari ini ia sudah letih

Salah seorang pendiri perwari, 75, sejak kongres perempuan indonesia i, 22 des'28 (peristiwa yang kemudian dijadikan sebagai hari ibu), ia sudah aktif dalam pergerakan wanita.(tk)

25 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TENTU saja ia sedih. Ketika gedunggedung pertemuan, kantor, bahkan lapangan-lapangan terbuka dipenuhi wanita-wanita dengan berbagai acara untuk merayakan Hari Ibu, 22 Desember -- ia harus terbaring di rumahnya. "Acara-acara serupa itu terlalu melelahkan saya pada usia seperti ini," kata wanita berumur 75 tahun itu. Wanita itu, Nyonya Sujatin Kartowijono, terakhir menghadiri peringatan Hari Ibu pada 8 tahun yang lalu. Tapi ternyata, bukan saja karena kesehatannya tak memungkinkan lagi ia sering hadir pada pertemuan-pertemuan serupa itu. Juga, katanya, "karena perayaan Hari Ibu sekarang seperti pameran saja --hanya untuk sbow." Sebaiknya, menurut salah seorang pendiri Perwari (Pergerakan Wanita Republik Indonesia) itu, perayaan-perayaan serupa itu diganti dengan bakti sosial--atau paling sedikit seminar untuk menilai perkembangan wanita Indonesia. Nyonya Sujatin sejak Kongres Perempuan Indonesia pertama, 22 Desember 1928 (peristiwa yang kemudian dijadikan sebagai Hari Ibu), memang sudah aktif di pergerakan wanita. Dalam bukunya Perkembangan Gerakan Wanita Indonesia yang diterbitkan Yayasan Idayu (1977), wanita kelahiran Desa Kalimenur, Wates (Yogya) itu, menyebutkan sejak kongres itulah organisasi-organisasi wanita banyak mencurahkan perhatian pada masalah perkawinan. Dengan dasar itulah ibu dari enam orang itu mendirikan Biro-biro Perkawinan sebagai bagian dari Perwari. Sebab, menurut Nyonya Karto, waktu itu banyak wanita yang diperlakukan sewenang-wenang oleh kaum pria. Antara lain: dicerai begitu saja dengan disia-siakan atau dipoligami dengan seenaknya. Dalam rangka itulah, suatu hari, 17 Desember 1953, Perwari mengumpulkan tak kurang dari 3.000 wanita dari berbagai pelosok Jakarta. Dalam rapat umum di lapangan Monas (sekarang) hari itu, Nyonya Sujatin tampil sebagai salah seorang pembicara yang meminta agar segera dibentuk UU Perkawinan dan pencabutan PP-19. Peraturan Pemerintah (PP) no. 19 antara lain menyebutkan, jaminan pensiun diberikan kepada janda sama rata dalam hal suami mempunyai istri lebih dari satu. "Dari tempat rapat umum, kami berlima, Yetti Rizali Noor, Nyonya Andrias, Nani Suwondo, Nyonya Suyud dan saya sendiri, berjalan kaki ke istana menghadap Presiden Soekarno," tutur Nyonya Karto yang menyandang Satya Lencana Kebaktian Sosial (1961) dan Satya Lencana Pembangunan (1968). Menurut Nyonya Sujatin, Bung Karno waktu itu menyambut baik petisi yang disampaikan kepadanya. Wanita bertubuh gemuk dengan rambut penuh uban itu tentu saja pada akhirnya tak perlu terlalu kecewa, karena UU Perkawinan yang ia perjuangkan terwujud juga, meskipun lebih dari 20 tahun kemudian. "Tapi sampai sekarang PP-19 itu belum dicabut," kata Nyonya Sujatin dengan nada kesal. Tapi di saat-saat berbagai organisasi wanita begitu gigih memperjuangkan UU Perkawinan di tahun 1950-an itu, tiba-tiba Bung Karno mengawini Nyonya Hartini, 1954. Nyonya Sujatin yang mengaku pengagum presiden RI pertama itu, termasuk tokoh pergerakan wanita yang paling kecewa waktu itu. Maka, tuturnya, Perwari dan organisasi-organisasi wanita lainnya ketika itu, mengadakan rapat rahasia di sebuah rumah di Jalan Cikini Raya, 18 September 1954. "Dalam rapat itu saya kemukakan, justru tuntutan adanya-UU Perkawinan sedang hangat-hangatnya, Bung Karno memberi contoh yang kurang baik dengan mengawini Hartini tanpa persetujuan Nyonya Fatmawati," ungkap wanita yang mempunyai 15 cucu dan 5 buyut itu. Hari itu juga empat orang delegasi dikirim menghadap Bung Karno: Ny. Abu Hanifah, Ny. Sudiro, Ny. Wironegoro, dan Ny. Kartowijono sendiri. "Kami tiba di Istana Negara pukul 10 pagi.. Saya mendapat kesan waktu itu Bung Karno gugup," tutur Ny. Sujatin, "lebih-lebih ketika kami kemukakan perkawinan Bung Karno dengan Hartini itu akan membuat heboh." Pada kesempatan itu juga dipertanyakan kedudukan Nyonya Hartini jika ada tamu-tamu luar negeri. "Hartini hanya akan dibawa pada lingkungan khusus saja, yaitu teman-teman dekat," kata Ny. Sujatin mengutip ucapan Presiden Soekarno waktu itu. Apa boleh buat, para tokoh wanita itu tak berhasil meyakinkan Bung Karno, bahwa perkawinan dengan Hartini tidak patut. Tapi perjuangan mereka agaknya tidak mengendur dalam menentang kebiasaan kaum pria waktu itu menyia-nyiakan wanita. Berbagai demonstrasi antipoligami dilancarkan bertubi-tubi, di berbagai daerah. Barangkali karena itulah, kata Ny. Sujatin, kedudukannya sebagai pegawai negeri, yaitu Kepala Pendidikan Wanita Non-Formal, segera berakhir. Pada 1 Januari 1955 ia dinyatakan pensiun. Tanpa menyebutkan sejak kapan ia menjadi pegawai neeri, katanya, "pensiun saya sangat dipercepat." Tetapi, menurut wanita yang gemar membaca buku-buku sejarah itu, setelah kesempatan sudah lebih banyak didapat kaum wanita sekarang, timbul kejanggalan-kejanggalan. "Karena sama-sama sibuk, tak sedikit wanita sekarang yang kurang memperhatikan fungsinya sebagai istri, kurang menghargai fungsi suami dan kurang memperhatikan pendidikan anak-anak," katanya. Karena itu, tambah Ny. Sujatin, tak sedikit kaum bapak yang mencuri-curi kesempatan: kawin diam-diam -- karena merasa kurang diperhatikan di rumah. Nyonya Sujatin yang September lalu merayakan Kawin Emas-nya, sejak 40 tahun lalu mengidap penyakit kencing manis. "Sejak itu pula saya hanya makan nasi dua sendok sehari," ungkapnya. Dan sejak Juni tahun ini, penyakitnya bertambah lagi, jantung. Sehari-hari di rumah di bilangan Menteng Dalam, Jakarta Selatan, ia lebih banyak beristirahat--didampingi suaminya, Poediarso. Ia berkenalan dengan pemula Poediarso, yang kemudian memakai nama tua Kartowijono, pertama kali pada uhun 1932, pada saat perayaan Hari Kartini, di Yogya. Sang suami, yang dari muda bergerak di bidang perdagangan, selalu mendorong dia. "Dan karena saya selalu memperhatikan rumah tangga di tengah berbagai kesibukan organisasi, maka rumah tangga saya kekal," kata Ny. Kartowijono. Di masa istirahat tuanya, sesekali tamu-tamu tetap berkunjung ke rumahnya: untuk berbagai urusan organisasi, maupun meminta nasihat-nasihat pribadi. Dan dia tetap berbicara dengan penuh semangat bila orang mengajak berbincang tentang organisasi wanita. "Yang saya sayangkan, adalah kepemimpinan organisasi wanita sekarang semata-mata berdasarkan kedudukan suami, sehingga kesinambungan kepemimpinan tak terjamin," katanya kepada Farida Sendjaja dari TEMPO. Kalau dulu, tambahnya, kepemimpinan itu sejati, karena panggilan jiwa ingin memperjuangkan sesuatu melalui organisasi. "Kalau kepemimpinan seseorang tidak berdasarkan panggilan jiwa, akan menyusahkan orang itu sendiri," tambah wanita yang selalu mengenakan kebaya itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus