TENTU saja ia sedih. Ketika gedunggedung pertemuan, kantor,
bahkan lapangan-lapangan terbuka dipenuhi wanita-wanita dengan
berbagai acara untuk merayakan Hari Ibu, 22 Desember -- ia harus
terbaring di rumahnya. "Acara-acara serupa itu terlalu
melelahkan saya pada usia seperti ini," kata wanita berumur 75
tahun itu.
Wanita itu, Nyonya Sujatin Kartowijono, terakhir menghadiri
peringatan Hari Ibu pada 8 tahun yang lalu. Tapi ternyata, bukan
saja karena kesehatannya tak memungkinkan lagi ia sering hadir
pada pertemuan-pertemuan serupa itu. Juga, katanya, "karena
perayaan Hari Ibu sekarang seperti pameran saja --hanya untuk
sbow." Sebaiknya, menurut salah seorang pendiri Perwari
(Pergerakan Wanita Republik Indonesia) itu, perayaan-perayaan
serupa itu diganti dengan bakti sosial--atau paling sedikit
seminar untuk menilai perkembangan wanita Indonesia.
Nyonya Sujatin sejak Kongres Perempuan Indonesia pertama, 22
Desember 1928 (peristiwa yang kemudian dijadikan sebagai Hari
Ibu), memang sudah aktif di pergerakan wanita. Dalam bukunya
Perkembangan Gerakan Wanita Indonesia yang diterbitkan Yayasan
Idayu (1977), wanita kelahiran Desa Kalimenur, Wates (Yogya)
itu, menyebutkan sejak kongres itulah organisasi-organisasi
wanita banyak mencurahkan perhatian pada masalah perkawinan.
Dengan dasar itulah ibu dari enam orang itu mendirikan Biro-biro
Perkawinan sebagai bagian dari Perwari. Sebab, menurut Nyonya
Karto, waktu itu banyak wanita yang diperlakukan sewenang-wenang
oleh kaum pria. Antara lain: dicerai begitu saja dengan
disia-siakan atau dipoligami dengan seenaknya.
Dalam rangka itulah, suatu hari, 17 Desember 1953, Perwari
mengumpulkan tak kurang dari 3.000 wanita dari berbagai pelosok
Jakarta. Dalam rapat umum di lapangan Monas (sekarang) hari itu,
Nyonya Sujatin tampil sebagai salah seorang pembicara yang
meminta agar segera dibentuk UU Perkawinan dan pencabutan PP-19.
Peraturan Pemerintah (PP) no. 19 antara lain menyebutkan,
jaminan pensiun diberikan kepada janda sama rata dalam hal suami
mempunyai istri lebih dari satu. "Dari tempat rapat umum, kami
berlima, Yetti Rizali Noor, Nyonya Andrias, Nani Suwondo, Nyonya
Suyud dan saya sendiri, berjalan kaki ke istana menghadap
Presiden Soekarno," tutur Nyonya Karto yang menyandang Satya
Lencana Kebaktian Sosial (1961) dan Satya Lencana Pembangunan
(1968). Menurut Nyonya Sujatin, Bung Karno waktu itu menyambut
baik petisi yang disampaikan kepadanya.
Wanita bertubuh gemuk dengan rambut penuh uban itu tentu saja
pada akhirnya tak perlu terlalu kecewa, karena UU Perkawinan
yang ia perjuangkan terwujud juga, meskipun lebih dari 20 tahun
kemudian. "Tapi sampai sekarang PP-19 itu belum dicabut," kata
Nyonya Sujatin dengan nada kesal.
Tapi di saat-saat berbagai organisasi wanita begitu gigih
memperjuangkan UU Perkawinan di tahun 1950-an itu, tiba-tiba
Bung Karno mengawini Nyonya Hartini, 1954. Nyonya Sujatin yang
mengaku pengagum presiden RI pertama itu, termasuk tokoh
pergerakan wanita yang paling kecewa waktu itu. Maka, tuturnya,
Perwari dan organisasi-organisasi wanita lainnya ketika itu,
mengadakan rapat rahasia di sebuah rumah di Jalan Cikini Raya,
18 September 1954. "Dalam rapat itu saya kemukakan, justru
tuntutan adanya-UU Perkawinan sedang hangat-hangatnya, Bung
Karno memberi contoh yang kurang baik dengan mengawini Hartini
tanpa persetujuan Nyonya Fatmawati," ungkap wanita yang
mempunyai 15 cucu dan 5 buyut itu.
Hari itu juga empat orang delegasi dikirim menghadap Bung Karno:
Ny. Abu Hanifah, Ny. Sudiro, Ny. Wironegoro, dan Ny. Kartowijono
sendiri. "Kami tiba di Istana Negara pukul 10 pagi.. Saya
mendapat kesan waktu itu Bung Karno gugup," tutur Ny. Sujatin,
"lebih-lebih ketika kami kemukakan perkawinan Bung Karno dengan
Hartini itu akan membuat heboh." Pada kesempatan itu juga
dipertanyakan kedudukan Nyonya Hartini jika ada tamu-tamu luar
negeri. "Hartini hanya akan dibawa pada lingkungan khusus saja,
yaitu teman-teman dekat," kata Ny. Sujatin mengutip ucapan
Presiden Soekarno waktu itu.
Apa boleh buat, para tokoh wanita itu tak berhasil meyakinkan
Bung Karno, bahwa perkawinan dengan Hartini tidak patut. Tapi
perjuangan mereka agaknya tidak mengendur dalam menentang
kebiasaan kaum pria waktu itu menyia-nyiakan wanita. Berbagai
demonstrasi antipoligami dilancarkan bertubi-tubi, di berbagai
daerah. Barangkali karena itulah, kata Ny. Sujatin, kedudukannya
sebagai pegawai negeri, yaitu Kepala Pendidikan Wanita
Non-Formal, segera berakhir. Pada 1 Januari 1955 ia dinyatakan
pensiun. Tanpa menyebutkan sejak kapan ia menjadi pegawai
neeri, katanya, "pensiun saya sangat dipercepat."
Tetapi, menurut wanita yang gemar membaca buku-buku sejarah itu,
setelah kesempatan sudah lebih banyak didapat kaum wanita
sekarang, timbul kejanggalan-kejanggalan. "Karena sama-sama
sibuk, tak sedikit wanita sekarang yang kurang memperhatikan
fungsinya sebagai istri, kurang menghargai fungsi suami dan
kurang memperhatikan pendidikan anak-anak," katanya. Karena itu,
tambah Ny. Sujatin, tak sedikit kaum bapak yang mencuri-curi
kesempatan: kawin diam-diam -- karena merasa kurang diperhatikan
di rumah.
Nyonya Sujatin yang September lalu merayakan Kawin Emas-nya,
sejak 40 tahun lalu mengidap penyakit kencing manis. "Sejak itu
pula saya hanya makan nasi dua sendok sehari," ungkapnya. Dan
sejak Juni tahun ini, penyakitnya bertambah lagi, jantung.
Sehari-hari di rumah di bilangan Menteng Dalam, Jakarta Selatan,
ia lebih banyak beristirahat--didampingi suaminya, Poediarso.
Ia berkenalan dengan pemula Poediarso, yang kemudian memakai
nama tua Kartowijono, pertama kali pada uhun 1932, pada saat
perayaan Hari Kartini, di Yogya. Sang suami, yang dari muda
bergerak di bidang perdagangan, selalu mendorong dia. "Dan
karena saya selalu memperhatikan rumah tangga di tengah berbagai
kesibukan organisasi, maka rumah tangga saya kekal," kata Ny.
Kartowijono.
Di masa istirahat tuanya, sesekali tamu-tamu tetap berkunjung ke
rumahnya: untuk berbagai urusan organisasi, maupun meminta
nasihat-nasihat pribadi. Dan dia tetap berbicara dengan penuh
semangat bila orang mengajak berbincang tentang organisasi
wanita. "Yang saya sayangkan, adalah kepemimpinan organisasi
wanita sekarang semata-mata berdasarkan kedudukan suami,
sehingga kesinambungan kepemimpinan tak terjamin," katanya
kepada Farida Sendjaja dari TEMPO. Kalau dulu, tambahnya,
kepemimpinan itu sejati, karena panggilan jiwa ingin
memperjuangkan sesuatu melalui organisasi. "Kalau kepemimpinan
seseorang tidak berdasarkan panggilan jiwa, akan menyusahkan
orang itu sendiri," tambah wanita yang selalu mengenakan kebaya
itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini