HERPES, penyakit yang dianggap sebagai hasil sampingan dari
kebebasan seks yang melanda Amerika, ternyata juga ditemukan di
Indonesia. Dari 1.796 penderita penyakit yang ditularkan melalui
hubungan kelamin yang ditemukan di Rumah Sakit Umum Semarang
antara tahun 1979-1980, sebanyak 79 di antaranya (4,4%)
menderita herpes genitalis. Yaitu penyakit dengan gejala
bentolan-bentolan berisi cairan yang muncul di alat kelamin. Di
Surabaya persentase penyakit itu malahan mencapai 7% (381 dari
5.548). Kota Ujungpandang tercatat paling rendah, yaitu 1% (11
dari 1.078).
Angka-angka itu dikemukakan ahli penyakit kulit dan kelamin
Prof. Dr. Suria Djuanda dalam pidato pengukuhannya sebagai guru
besar pada Fakultas Kedokteran UI, 11 Desember yang lalu.
Menurut dia penyakit ini relatif masih baru. Muncul di Eropa dan
Amerika lebih kurang 14 tahun yang lalu.
Katanya hampir semua orang, tidak peduli ras dan tempat
kelahirannya, menyimpan virus penyakit itu di dalam tubuh
mereka. Cuma katanya, virus penyakit itu "tertidur" saja di
dalam tubuh. Tetapi begitu dia terdesak karena seseorang
menderita tekanan mental, terlalu lelah, terserang penyakit
karena infeksi atau gesekan, misalnya ketika bersenggama, maka
penyakit demam dengan bentolan berisi cairan ini pun akan
tampil.
Penyakit ini baru menyerang belasan tahun belakangan ini,
menurut Suria Djuanda, "mungkin karena orang zaman sekarang jauh
lebih gelisah daripada orang zaman dulu." Dia tidak beranggapan
penyakit ini sebagai "barang kiriman" dari Eropa atau Amerika
dan masuk ke- Indonesia melalui pergaulan seks yang bebas.
"Banyak penderita mendapatkan penyakit ini bukan karena
penularan, tetapi karena tekanan mental," ucapnya. Di samping
yang menyerang alat kelamin, ada pula jenis herpes tipe lain
yang muncul di mulut, hidung ataupun telinga.
Sebagai seorang spesialis penyakit kulit dan kelamin yang beken,
Suria Djuanda, 60 tahun, pernah menemukan penderita, seorang
gadis berusia 18 tahun. "Disangka ketularan sifilis. Ternyata
dia masih gadis. Masa bisa kena sifilis," ceritanya.
Dia tak menyebutkan gadis itu kena herpes karena tekanan mental.
Cuma dikatakannya, banyak di antara pasien herpes yang diobati,
memperoleh pengobatan tambahan pula dari seorang psikiater.
Orang awam bisa terkecoh dengan bentolan berisi air yang muncul
di alat kelamin. Meskipun katanya, herpes sebenarnya bukan
penyakit kelamin -tapi penyakit kulit. Saking takutnya mungkin
mereka akan menghantamnya dengan penisilin. Tentu saja tak
berguna. Karena herpes tak bisa diusir dengan obat ini. "Kalau
penisilin tidak menyembuhkan luka herpes itu, tebakan kedua,
biasanya kanker," ulas Suria Djuanda.
Hasil penelitian yang dilakukannya pada tahun 1976, menunjukkan
penyakit ini tidak sepenuhnya tak bisa diatasi.
Dengan menggunakan obat Lupidon G, penyakit ini kelihatannya
bisa disembuhkan, sekalipun tidak 100%. Sebanyak 16 penderita
(35%) dari 46 kasus herpes genitalis (kemaluan) di Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo, Jakarta, sembuh dengan baik. Artinya
penyakit yang sering kambuh kembali ini, masa serangannya tambah
jauh jaraknya. Dua puluh empat orang (52%) lumayan hasilnya.
Maksudnya kalau pun kambuh tidak separah atau selama serangan
terdahulu. Hanya 6 kasus (13%) yang tidak menunjukkan manfaat.
"Sebagian besar dari pasien yang tidak bisa disembuhkan itu
tergolong orang yang sering cemas."
Herpes sendiri merupakan penyakit yang sangat berbahaya. Sekitar
10% dari wanita yang terserang, akan menderita kanker mulut
rahim, kalau tidak segera diatasi sedini mungkin. Dan mereka
dihantui kecemasan terhadap kandungan mereka.
Kalau seorang penderita herpes mau memperoleh keturunan harus
melakukan pemeriksaan rahim secara rutin. Di Amerika Serikat,
begitu diketahui seorang ibu sedang mengandung dan tercemar
virus herpes, tak ada jalan lain, jabang bayinya harus
diselamatkan dengan operasi Caesar. Supaya si orok tidak
kejangkitan herpes. Sekalipun begitu di negara itu saban tahun
diperkirakan 1.000 anak lahir tercemar herpes.
Virus penyakit herpes ini begitu cepat dan buasnya, hingga
separuh dari bayi yang lahir, mati karenanya. Sedangkan yang
bisa hidup jadi merana seumur hidup, karena otaknya rusak,
digenjot virus penyakit itu.
Buat Indonesia, menurut Suria Djuanda, hambatan utama
menanggulangi penyakit ini adalah sikap masyarakat yang mau
berobat ke ahli penyakit kulit dan kelamin. Dan lebih membikin
sungkan lagi, karena semua pihak yang berhubungan kelamin dengan
penderita herpes, harus menjalani pengobatan yang bisa
berlangsung selama 3 bulan. "Semuanya harus diobati, suami
ataupun istri, ? katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini