Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ramai-ramai berwarna lokal

Tokoh-tokoh teater dari hampir seluruh indonesia berkumpul di tim, ada pementasan, ada diskusi, ada latihan bersama, merupakan pertemuan kelima yang diseleng garakan dkj. (ter)

25 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMINDARA, putri jelita itu, jatuh ke laut. Ia dipukul dengan pendayung oleh si tampan Baso, yang lamarannya ditolak. Tragedi pun muncul di Teater Tertutup Taman Ismail Marzuki, 13 & 14 Desember lalu, dari grup teater Ujungpandang: kedua insan itu ternyata saudara kandung. Sementara di Teater Arena, 14 & 15 Desember, panglima perang kerajaan Sumedanglarang mengundurkan diri dari kerajaan. Ia memang menang perang, tapi merasa dikhianati- anak perempuannya satu-satunya yang sangat ia cintai mati bunuh diri. Bagi Sayanghawu panglima dari Studi Klub Teater Bandung itu, kematian anaknya adalah tanggung jawab Geusan Ulun, sang Raja. Di Teater Arena itu pula, 16 & 17 Desember, Malin Kundang oleh sutradara Alien De ditelanjangi, untuk membuktikan bahwa ia benar-benar anak Sari Mayang, ibu yang malang. Toh grup teater dari Padang itu tetap setia pada cerita rakyat yang telah hidup beratus tahun: si Malin tetap berkeras ia bukan keturunan orang melarat. Pertemuan Teater '82 (10-18 Desember) yang kelima kalinya diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta, jadinya mengesankan satu parade pementasan yang bertolak dari cerita rakyat--sayang, wakil Surabaya dan Yogya berhalangan ikut serta. Dan dengan pola pementasan yang berangkat dari teater rakyat pula. Bahkan grup dari Medan yang membawakan nomor-nomor improvisasi mengaku gaya gerak mereka ditimba dari Sigalegale--boneka yang dalam upacara-upacara tertentu dulu di tanah Batak "disuruh" menari tortor. Ramai-ramai kembali bertolak dari teater tradisional? Atau, grup-grup teater daerah yang diundang DKJ itu, merasa tak mampu bersaing dengan gaya "teater modern" orang Jakarta, lantas berpaling pada akar kebudayaan sendiri? "Seandainya ini sepakbola," kata Aspar, 39 tahun, sutradara dari Ujungpandang, "teater di Jakarta menang teknik, maka kami membawa fanatisme dari daerah." Maksudnya, dengan warna lokal, ia mempertaruhkan pementasannya itu. Tapi Suyatna Anirun, 40-an tahun, sutradara dari Studi Klub Teater Bandung, gaya pementasan Geusan Ulunnya tidak secara sengaja menampilkan "yang tradisional." Bertolak dari naskah Saini K.M. yang ditulis pada 1903 (merupakan naskah sandiwara Saini yang pertama, ditulis kala ia masih 25 tahun), "gaya itu lahir dengan sendirinya," tanpa beban hendak menampilkan teater rakyat Jawa Barat, misalnya. Yang jelas, dengan bantuan mahasiswa dan dosen Akademi Seni Tari Indonesia Bandung, pementasan Geusan Ulun kemudian memang menjadikan gerak tari sebagai latar belakang keseluruhan pementasan ini. Pementasan bertolak dari gaya teater tradisional atau teater rakyat bukan hal baru. Rendra pernah memanggungkan Oedipus, dan Aneigone dengan gaya Arja dan ketoptak. Juga Arifin C. Noer pernah menyuguhkan Macbett lonesco dengan gaya lenong--untuk menyebut beberapa contoh. Masalahnya kini, seerti jelas bisa ditonton pada pementasan Sarnindara yang berangkat dari ganrang bulo dan kondo bule (dua jenis teater rakyat Sulawesi Selatan), tradisi itu seperti hanya tampil wujudnya saja. Agaknya, ada yang dilupakan, bahw teater rakyat dulu yang dikembangkan dari upacara adat atau keagamaan, mempunyai fungsi sosial dan fungsi keagamaan yang jelas. Memanggil roh nenek moyang, mengusir bala, merayakan hari kelahiran, kematian dan banyak lagi. Singkat kas upacara tradisional yang merupakan sumber seni pertunjukan tradisional, memang pada mulanya merupakan bagian dari hidup untuk menyatakan kehadiran orang atau masyarakat yang melakukan itu. Betapa para orang tua di Jawa dulu merasa tidak lengkap hidupnya, misalnya, bila tidak melakulan upacara turun tanah bagi anaknya yang telah berusia 7 bulan. Dan betapa teatralnya upacara itu si bocah 7 bulan dinaikkan dan diturunkan pada tangga yang dibuat dari tebu, dengan segala macam sesajen menghias "pentas" itu. Motivasi di balik panggung itulah yang agaknya menjadikan upacara atau seni pertunjukan tu berarti dan karenanya menarik. Dan hal satu ini yang agaknya kurang jelas dipunyai oleh grup-grup teater itu. Pementasan Samindara misalnya, terasa sepi dari respon penonton yang jumlahnya hanya sekitar sepertiga Teater Tertutup. Padahal Aspar telah dengan sungguh-sungguh "menciptakan sesuatu dari tubuh pemain," seperti halnya dalam pertunjukan ganrang bulo dan kondo bule. Mungkin memang menarik tokoh Boto si juru ramal negara yang datang dan pergi dengan naik kuda (dan ia sebenarnya hanya berjalan sedikit meloncat-loncat dengan tangan bak memegang kendati dan kepala mengangguk-angguk). Soalnya, dilihat secara keseluruhan, gaya si Boto (dan juga gaya-gaya lain, misalnya ketika melukiskan orang berperahu) terasa tidak memperoleh porsi yang pas. Padahal, justru itu yang bisa menjadikan pementasan dari Ujungpandang ini menarik. Pementasan Geusan Ulun lebih terasa mementingkan sampainya cerita--dan bukan mengubah cerita menjadi pertunjukan. Masih untung, Suyatna Anirun mendapatkan dukungan dari mahasiswa ASTI, Bandung. Hingga adegan peperangan Sumedanglarang melawan Cirebon, yang diiringi narasi dari belakang arena, lumayan menarik. Dari pengakuan Saini K.M. sendiri, pementasan ini lebih menarik, dibandingkan empat kali pementasan Geusan Ulun sebelumnya oleh Jim Adilimas, dulu, tahun 1960-an. Toh, seperti halnya Samindaya, tragedi cerita tidak terasa hadir. Adalah lain yang disuguhkan sutradara Alin De dari Padang. Dengan mengambil dasar seni tradisional randai terasa ia tak berpretensi mengambil pola randai dengan utuh. Alin De lebih mengingatkan pada kanak-kanak yang bermain-main di pelataran rumah kala bulan lagi terang. Cerita Malin Kundang itu sendiri kemudian hanya berfungsi menjadi pengikat seluruh permainan. Yang kemudian dinikmati penonton adalah nyanyian-nyanyian, gerak-gerak, lelucon, yang dibawakan sekelompok pemain yang sebenarnya hanya menjadi bingkal kisahù Cerita Malin Kundang itu sendiri sebenarnya hanya cukup dibawakan empat orang (pemeran Malin Kundang, Putri Campo, Sari Mayang dan Sari Banilam)--yang lain boleh tak diperhatikan -- toh penonton sudah tahu kisah si Malin itu. Kalau kemudian pertunjukan itu tcrasa ringan tanpa kesan, itu soal lain. YANG dari Medan karya A. Rahim Qahhar sepintas memang tak berbau tradisional. Tapi kemudian gerak-gerak pemain yang menggunakan kotak kardus besar--kadang berfungsi sebagai sarung, rumah atau tikar--memang mengingatkan pada gerak tari tortor. Cuma itu. Selebihnya, pementasan terdiri dari tujuh episode singkat-singkat ini, menyuguhkan improvisasi yang dialognya sering memberikan asosiasi komentar sosial. Dari empat grup yang datang dari daerah, Medan memang terasa paling santai. Pementasannya pun cuma 1« jam - yang lain rata-rata 2 jam. Orang Irian berumah di pohon? Bukankah rumah mereka honei yang bulae itu? Tapi tak jauh dari kaiDasan kota minyak Sorong, Irian Jaya, diDesa Remu Utara, sebuah keluarga membuat rumah di pohon akasia yang terkenal bereabang rapuh itu. Mungkin bukan kebiasaan asli--dilihat dari pakaian saudara-saudara ini. Pementasan grup daerah yang kurang memuaskan ini agaknya mempunyai latar belakang. Muncul suara dari daerah tentang kurangnya fasilitas buat pementasan teater: ya gedung, ya peralatan panggung, ya honorarium pemain (untuk membuat kostum dan latihan grup Bandung menghabiskan Rp 1,5 juta). Sementara tak pernah dikutik-kutik, mengapa dulu lahir Rendra, Arifin C. Noer, Putu Wijaya, Teguh Karya, di zaman fasilitas pun kurang. Barangkali dunia teater diharapkan kembali pada "semangat tradisional": bahwa teater merupakan kebutuhan berekspresi agar hidup jadi bermakna--dan bukan profesi. Padahal bukankah lembaga seperti DKJ dan TIM, justru ingin mendorong munculnya profesi keseniman segala bidang? Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus