SAMINDARA, putri jelita itu, jatuh ke laut. Ia dipukul dengan
pendayung oleh si tampan Baso, yang lamarannya ditolak. Tragedi
pun muncul di Teater Tertutup Taman Ismail Marzuki, 13 & 14
Desember lalu, dari grup teater Ujungpandang: kedua insan itu
ternyata saudara kandung.
Sementara di Teater Arena, 14 & 15 Desember, panglima perang
kerajaan Sumedanglarang mengundurkan diri dari kerajaan. Ia
memang menang perang, tapi merasa dikhianati- anak perempuannya
satu-satunya yang sangat ia cintai mati bunuh diri. Bagi
Sayanghawu panglima dari Studi Klub Teater Bandung itu, kematian
anaknya adalah tanggung jawab Geusan Ulun, sang Raja.
Di Teater Arena itu pula, 16 & 17 Desember, Malin Kundang oleh
sutradara Alien De ditelanjangi, untuk membuktikan bahwa ia
benar-benar anak Sari Mayang, ibu yang malang. Toh grup teater
dari Padang itu tetap setia pada cerita rakyat yang telah hidup
beratus tahun: si Malin tetap berkeras ia bukan keturunan orang
melarat.
Pertemuan Teater '82 (10-18 Desember) yang kelima kalinya
diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta, jadinya mengesankan satu
parade pementasan yang bertolak dari cerita rakyat--sayang,
wakil Surabaya dan Yogya berhalangan ikut serta. Dan dengan pola
pementasan yang berangkat dari teater rakyat pula. Bahkan grup
dari Medan yang membawakan nomor-nomor improvisasi mengaku gaya
gerak mereka ditimba dari Sigalegale--boneka yang dalam
upacara-upacara tertentu dulu di tanah Batak "disuruh" menari
tortor.
Ramai-ramai kembali bertolak dari teater tradisional? Atau,
grup-grup teater daerah yang diundang DKJ itu, merasa tak mampu
bersaing dengan gaya "teater modern" orang Jakarta, lantas
berpaling pada akar kebudayaan sendiri? "Seandainya ini
sepakbola," kata Aspar, 39 tahun, sutradara dari Ujungpandang,
"teater di Jakarta menang teknik, maka kami membawa fanatisme
dari daerah." Maksudnya, dengan warna lokal, ia mempertaruhkan
pementasannya itu.
Tapi Suyatna Anirun, 40-an tahun, sutradara dari Studi Klub
Teater Bandung, gaya pementasan Geusan Ulunnya tidak secara
sengaja menampilkan "yang tradisional." Bertolak dari naskah
Saini K.M. yang ditulis pada 1903 (merupakan naskah sandiwara
Saini yang pertama, ditulis kala ia masih 25 tahun), "gaya itu
lahir dengan sendirinya," tanpa beban hendak menampilkan teater
rakyat Jawa Barat, misalnya. Yang jelas, dengan bantuan
mahasiswa dan dosen Akademi Seni Tari Indonesia Bandung,
pementasan Geusan Ulun kemudian memang menjadikan gerak tari
sebagai latar belakang keseluruhan pementasan ini.
Pementasan bertolak dari gaya teater tradisional atau teater
rakyat bukan hal baru. Rendra pernah memanggungkan Oedipus, dan
Aneigone dengan gaya Arja dan ketoptak. Juga Arifin C. Noer
pernah menyuguhkan Macbett lonesco dengan gaya lenong--untuk
menyebut beberapa contoh. Masalahnya kini, seerti jelas bisa
ditonton pada pementasan Sarnindara yang berangkat dari ganrang
bulo dan kondo bule (dua jenis teater rakyat Sulawesi Selatan),
tradisi itu seperti hanya tampil wujudnya saja.
Agaknya, ada yang dilupakan, bahw teater rakyat dulu yang
dikembangkan dari upacara adat atau keagamaan, mempunyai fungsi
sosial dan fungsi keagamaan yang jelas. Memanggil roh nenek
moyang, mengusir bala, merayakan hari kelahiran, kematian dan
banyak lagi.
Singkat kas upacara tradisional yang merupakan sumber seni
pertunjukan tradisional, memang pada mulanya merupakan bagian
dari hidup untuk menyatakan kehadiran orang atau masyarakat yang
melakukan itu. Betapa para orang tua di Jawa dulu merasa tidak
lengkap hidupnya, misalnya, bila tidak melakulan upacara turun
tanah bagi anaknya yang telah berusia 7 bulan. Dan betapa
teatralnya upacara itu si bocah 7 bulan dinaikkan dan diturunkan
pada tangga yang dibuat dari tebu, dengan segala macam sesajen
menghias "pentas" itu.
Motivasi di balik panggung itulah yang agaknya menjadikan
upacara atau seni pertunjukan tu berarti dan karenanya menarik.
Dan hal satu ini yang agaknya kurang jelas dipunyai oleh
grup-grup teater itu. Pementasan Samindara misalnya, terasa sepi
dari respon penonton yang jumlahnya hanya sekitar sepertiga
Teater Tertutup. Padahal Aspar telah dengan sungguh-sungguh
"menciptakan sesuatu dari tubuh pemain," seperti halnya dalam
pertunjukan ganrang bulo dan kondo bule. Mungkin memang menarik
tokoh Boto si juru ramal negara yang datang dan pergi dengan
naik kuda (dan ia sebenarnya hanya berjalan sedikit
meloncat-loncat dengan tangan bak memegang kendati dan kepala
mengangguk-angguk). Soalnya, dilihat secara keseluruhan, gaya si
Boto (dan juga gaya-gaya lain, misalnya ketika melukiskan orang
berperahu) terasa tidak memperoleh porsi yang pas. Padahal,
justru itu yang bisa menjadikan pementasan dari Ujungpandang ini
menarik.
Pementasan Geusan Ulun lebih terasa mementingkan sampainya
cerita--dan bukan mengubah cerita menjadi pertunjukan. Masih
untung, Suyatna Anirun mendapatkan dukungan dari mahasiswa ASTI,
Bandung. Hingga adegan peperangan Sumedanglarang melawan
Cirebon, yang diiringi narasi dari belakang arena, lumayan
menarik. Dari pengakuan Saini K.M. sendiri, pementasan ini lebih
menarik, dibandingkan empat kali pementasan Geusan Ulun
sebelumnya oleh Jim Adilimas, dulu, tahun 1960-an. Toh, seperti
halnya Samindaya, tragedi cerita tidak terasa hadir.
Adalah lain yang disuguhkan sutradara Alin De dari Padang.
Dengan mengambil dasar seni tradisional randai terasa ia tak
berpretensi mengambil pola randai dengan utuh. Alin De lebih
mengingatkan pada kanak-kanak yang bermain-main di pelataran
rumah kala bulan lagi terang. Cerita Malin Kundang itu sendiri
kemudian hanya berfungsi menjadi pengikat seluruh permainan.
Yang kemudian dinikmati penonton adalah nyanyian-nyanyian,
gerak-gerak, lelucon, yang dibawakan sekelompok pemain yang
sebenarnya hanya menjadi bingkal kisahù
Cerita Malin Kundang itu sendiri sebenarnya hanya cukup
dibawakan empat orang (pemeran Malin Kundang, Putri Campo, Sari
Mayang dan Sari Banilam)--yang lain boleh tak diperhatikan --
toh penonton sudah tahu kisah si Malin itu. Kalau kemudian
pertunjukan itu tcrasa ringan tanpa kesan, itu soal lain.
YANG dari Medan karya A. Rahim Qahhar sepintas memang tak
berbau tradisional. Tapi kemudian gerak-gerak pemain yang
menggunakan kotak kardus besar--kadang berfungsi sebagai sarung,
rumah atau tikar--memang mengingatkan pada gerak tari tortor.
Cuma itu. Selebihnya, pementasan terdiri dari tujuh episode
singkat-singkat ini, menyuguhkan improvisasi yang dialognya
sering memberikan asosiasi komentar sosial.
Dari empat grup yang datang dari daerah, Medan memang terasa
paling santai. Pementasannya pun cuma 1« jam - yang lain
rata-rata 2 jam.
Orang Irian berumah di pohon? Bukankah rumah mereka honei yang
bulae itu? Tapi tak jauh dari kaiDasan kota minyak Sorong, Irian
Jaya, diDesa Remu Utara, sebuah keluarga membuat rumah di pohon
akasia yang terkenal bereabang rapuh itu. Mungkin bukan
kebiasaan asli--dilihat dari pakaian saudara-saudara ini.
Pementasan grup daerah yang kurang memuaskan ini agaknya
mempunyai latar belakang. Muncul suara dari daerah tentang
kurangnya fasilitas buat pementasan teater: ya gedung, ya
peralatan panggung, ya honorarium pemain (untuk membuat kostum
dan latihan grup Bandung menghabiskan Rp 1,5 juta). Sementara
tak pernah dikutik-kutik, mengapa dulu lahir Rendra, Arifin C.
Noer, Putu Wijaya, Teguh Karya, di zaman fasilitas pun kurang.
Barangkali dunia teater diharapkan kembali pada "semangat
tradisional": bahwa teater merupakan kebutuhan berekspresi agar
hidup jadi bermakna--dan bukan profesi. Padahal bukankah lembaga
seperti DKJ dan TIM, justru ingin mendorong munculnya profesi
keseniman segala bidang?
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini