BAU asap sate, harum wewangian wanita cantik, dan irama jazz yang dialunkan Syncopator Jazz Band bercampur aduk Cinere Country Club, Sawangan, Ahad pekan silam. Hampir semua anggota Persatuan Penggemar Mobil Kuno Indonesia (PPMKI) tumplek dalam acara yang menghidangkan bir sampai nyamikan jajan pasar komplet (kelepon, carabikang, lemper). Itulah acara finis reli kendaraan kuno, yang diikuti 71 mobil dan 26 sepeda motor tua, setelah menempuh jarak sekitar 25 kilometer. Reli itu memakan waktu empat jam. Pada acara reli yang dilepas dari Hyatt Aryaduta Hotel, Jakarta Pusat, Ketua PPMKI Solihin G.P. mengawali lomba dengan mobil Desoto (3.800 cc) buatan 1951. Mobil ini adalah salah satu kendaraan kesenangan Solihin, dan masih sering dipakainya ke kantor. Mobil kesukaan Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan (Sesdalopbang) yang berkantor di Bina Graha ini hampir tak pernah mogok di jalan. Tak cuma itu koleksi Solihin yang ikut dalam reli "suka-suka" ini. Ia juga meluncurkan simpanannya yang lain (dikemudikan oleh putranya): mobil Mercedes 170 V bertarih 1936 (kabarnya satu-satunya di Indonesia) dan Lincoln Cabrio 1951, kendaraan Bung Karno selaku Kepala Negara, yang dititipkan Sekretariat Negara ke PPMKI untuk dirawat. Mercy istimewa itu juga suka dikendarai Solihin ke kantor hampir setiap Jumat. Mobil keramat? "Bukan. Pada hari Jumat Bapak Presiden tidak masuk, berarti tidak ada tamu, sehingga saya tidak malu." Solihin seharusnya justru bangga. Mercy ini adalah cinta pertamanya kepada mobil, dan baru kesampaian memilikinya setelah 45 tahun kemudian. "Sepulang sekolah saya sering melihatnya diparkir di depan Hotel Sentral," cerita Solihin mengenai pertemuan pertamanya dengan kendaraan itu di Tasikmalaya pada 1930-an. Lebih empat dekade kemudian, ketika sudah pensiun sebagai Gubernur Jawa Barat (1975), suatu hari Solihin melihat mobil itu melintas di depannya. Kondisi mobil tersebut sudah jelek: dari empat silinder mesinnya yang jalan cuma satu setengah. Tapi cinta Solihin tetap tak goyah. Ia lalu menemui pemilik Mercy tua itu dan menawarnya. Pemilik Mercy tersebut cuma minta Vespa (ketika itu seharga Rp 150.000) sebagai pengganti -- yang langsung dibayar di tempat oleh Solihin sebanyak Rp 175.000. Setibanya di rumah, istrinya marah-marah melihat Solihin membawa pulang barang rongsokan tersebut. Setelah ia mondar-mandir ke tukang loak di lima kota (Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Solo), selama hampir tiga tahun, baru kendaraan itu bisa jalan. "Saya jadi kenal baik dengan tukang-tukang loak. Kalau ada yang punya suku cadang, mereka menelepon saya di Jakarta," tutur Solihin. Kesukaan memburu mobil-mobil kuno juga mengalir di tubuh George, pengacara yang menghimpun tabungannya untuk pemugaran mobil-mobil tua. Salah satu mobil tua kebanggaannya adalah Jaguar 3,8 tipe E (3.800 cc), 1962, yang dibelinya seharga Rp 6 juta pada 1987. Untuk membuat mobil buatan Inggris itu jalan kembali George mengeluarkan biaya lebih dari tiga kali lipat harga mobil -- Rp 20 juta. Pengeluaran yang besar itu terutama untuk membeli suku cadang orisinil, seperti mur, cat, jok, dashboard, lampu sein, dan kaca, sampai ke London. "Untung, komponen mobil-mobil tua masih diproduksi," tutur George, yang mendapatkan informasi tentang sebagian barang itu lewat majalah Classic Cars terbitan Inggris. Perburuan George tidak sia-sia. Seorang penggemar mobil tua asal Inggris setelah mendapat informasi mengenai mobil Jaguar tua milik George itu berani membayar f 70.000. Tapi George tak melepasnya. "Bagi saya punya Jaguar ini ibarat mendapatkan durian runtuh. Mobil ini merupakan koleksi terbaik saya," katanya. Koleksi mobil tua George yang lain adalah Alfa Romeo (buatan 1971), Mercedes SL 350 dan Jaguar XK 140 (keduanya buatan 1953), dan Maserati 3.000 cc (1977). Makin antik dan langka sebuah mobil, harganya kian mahal. Mobil Maserati milik George adalah satu di antara 160 unit yang diproduksi pabriknya di Italia. Tak heran bila harga mobil eksklusif ini ada yang sebanding dengan harga tiga buah Mercedes Benz terbaru. Mobil lain yang diproduksi terbatas adalah Ford Thunderbird (1955) -- yang di Amerika orang berani menawar US$ 70.000 untuk mendapatkannya. Mobil Ford Thunderbird ini di Indonesia kabarnya hanya ada dua -- salah satu di antaranya milik Hartawan Setjodiningrat, bos PT Dasa Windu Agung. Mobil warna merah dengan kecepatan maksimum 240 kilometer per jam ini dibeli Hartawan Rp 15 juta di daerah Senen dalam keadaan separuh badan mobil terendam remukan genting. Delapan bulan kemudian mobil itu sudah bisa melaju lagi di jalan raya dengan kecepatan 180 kilometer per jam. "Semua suku cadangnya saya beli di California," tutur Hartawan, yang jadi anggota Ford Thunderbird Club, Amerika Serikat. Total pengeluaran Hartawan untuk suku cadang Rp 5 juta. Sebaliknya Sofyan Tamara yang membeli Morris (1924) di Malang, 15 tahun lalu, seharga Rp 6 juta. Periode pemugaran mobil itu merupakan periode sulit bagi pemilik barunya karena peralatannya sudah sulit dicari di tukang loak maupun di pabrik asalnya. Maka, Sofyan terpaksa mencetakkan sebagian suku cadang yang dibutuhkannya pada sebuah bengkel. Untuk secher saja, misalnya, Sofyan mengeluarkan biaya Rp 25 juta. Total keseluruhan biaya renovasi sebesar Rp 40 juta. "Kalau sudah cinta, sudah senang, mau apa lagi," kata Sofyan. Hasilnya memang tidak mengecewakan. Pada reli Medan -- Jakarta, 1986, Morris dengan kecepatan tertinggi 60 kilometer per jam ini mencapai garis finis dalam keadaan utuh. Apalagi cuma jarak tempuh Hyatt-Cinere. Mohamad Cholid, MOebanoe Moera, dan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini