SUATU hari, tahun 1846, seorang dokter gigi datang ke Rumah Sakit Umum Massachusetts, Amerika Serikat, untuk memperkenalkan cairan aneh yang disebut eter. Peristiwa ini, ternyata, kemudian dikenal sebagai peristiwa terbesar dalam sejarah ilmu bedah, karena eter mampu membius pasien dan mengebalkannya dari rasa sakit. Maka pembedahan bisa dilakukan leluasa, tanpa ragu-ragu. Sebelumnya, ikhtial mengurangi rasa sakit dalam pembedahan - yang kadang-kadang berupa penggergajian kaki - sekadar membekap kepala pasien dengan handuk panas. Nah, siapa mau dibedah dengan cara itu? Kini, setelah perkembangan hampir 140 tahun, pembiusan itu sudah membangun ilmu tersendiri - anastesiologi, dari kata anastesia yang berarti: tidak sadar. Cairan eter pun sudah berkembang ke berbagai substansi lain: gas, obat suntik, dan salep. Tekniknya sangat beragam dan sudah sangat aman. Pasien tak perlu lagi muntah-muntah sesudah dioperasi, atau mual, atau pusing. Namun, anastesiologi oleh banyak ilmuwan hingga kini lebih banyak diterima sebagai ilmu yang tinggal dipraktekkan saja tanpa diketahui lebih jauh persoalannya - seperti banyak juga bidang lain ilmu kedokteran karena apa yang menyebabkan anastesia belum terungkap dengan tuntas. Pertanyaan mengapa seorang pasien kehilangan kesadarannya ketika diberi obat bius, dan mengapa saraf-saraf tubuh menjadi kebal, masih belum bisa dijawab dengan pasti. Karena itu, RSU Massachusetts, yang pada 1846 dianggap di dunia kedokteran pertama kali memperkenalkan pemblusan, sampai kini masih memburu misteri anastesia itu. Di sana, Dr. Keith W. Miller, seorang ahli anastesia dan dosen Universitas Harvard, dengan laboratorium lengkap menghabiskan separuh dari usianya yang 43 tahun memburu rahasia itu. Dan, belum lama ini, ia mengumumkan beberapa penemuannya - yang toh belum tuntas - di harian San Francisco Examiner. Kemajuan penelitiannya sedikit banyak terbantu oleh berbagai penelitian lain tentang otak - yang belakangan memang membuahkan sejumlah teori baru. Miller secara garis besar menyebutkan jawaban bagi anastesia terletak pada dinding sel-sel otak, yang dikenal sebagai membran. Pada otak memang terletak pusat saraf yang memerintahkan semua aktivitas saraf di seluruh tubuh, termasuk rasa sakit. Dalam hasil penelitiannya, Miller menyebutkan membran atau dinding sel otak itu terdiri dari dua material dasar, yaitu protein dan molekul-molekul lemak yang berupa cairan seperti minyak, yang dikenal sebagai cairan lipid. Dua subtansi ini, yang merupakan bagian terluar sel otak, bekerja sama dalam menerima isyarat-isyarat saraf. Ketika menerima isyarat-isyarat itu terjadi perubahan cairan lipid yang membangun reaksi protein, berupa bintik-bintik pada lingkungan cairan lipid. Pangkal ketidaksadaran, atau anastesia, adalah terblokirnya isyarat-isyarat saraf itu. Dan menelusuri ini perlu menyimak berbagai penelitian mutakhir tentang otak. Kedudukan sel-sel saraf - yang merambatkan seluruh isyarat dari pusat saraf keseluruh jaringan saraf di tubuh - ternyata tidak rapat benar. Terdapat jarak yang sangat kecil di antara dua sel, yang disebut synaps. Isyarat dirambatkan dengan jalan memintas jarak-jarak kecil ini. Untuk pemintasan itu, diperlukan sejenis bahan kimia yang disebut nerotransmiter. Caranya, sebuah sel mengirimkan nerotransmiter ke sel lain, yang diterima di permukaan sel lain itu. Permukaan sel inilah, dinding sel, yang mengandung protein dan cairan lipid. Cara penerimaannya, permukaan sel membuka sejumlah porinya, hingga ion sodium bisa memasuki sel penerima. Bila cukup banyak pori-pori terbuka, tanda isyarat sudah diterima, sel melepaskan arus listrik yang dikenal sebagai pulsa-pulsa saraf - untuk melakukan perambatan selanjutnya. Hasil penelitian Miller menunjukkan, obat anastesikum atau obat bius yang mempunyai sifat larut dalam minyak, larut pula pada cairan lipid. Perubahan cairan lipid ini kemudian mempengaruhi protein, dan seluruh permukaan sel. Akibatnya, kemampuan permukaan sel menerima isyarat terhalang. Maka, tak ada rambatan isyarat, tak ada pula perintah untuk merasakan apa-apa. Dan di pusat saraf, tak merambatnya isyarat membuat kesadaran hilang total. Dalam percobaan, Miller menemukan, tekanan bisa mengubah pula cairan lipid dan permukaan sel. Ini digunakannya untuk meneliti fungsi cairan lipid dalam anastesia. Prinsipnya, mengembangnya membran (permukaan sel itu) membuat binatang percobaan jatuh ke dalam keadaan tidak sadar (anastesia). Namun, ketika binatang itu dimasukkan ke dalam ruangan dan tekanan di ruangan itu dinaikkan, tampak membran kembali ke bentuk semula, dan binatang percobaan pun sadar kembali. Tapi Miller belum sepenuhnya yakin apakah memang membran sel itu yang bertanggung jawab dalam anastesia. Dalam lima tahun terakhir, ia mencoba meneliti fungsi protein, yang bertugas langsung membuka pori-pori permukaan sel dalam menerima nerotransmiter. Ini sebuah penelitian maharumit, karena terdapat sangat banyak jenis nerotransmiter - yang masing-masing bertugas hanya menerima satu jenis isyarat - dan sudah tentu terdapat banyak pula jenis protein penerima. Toh, Miller menemukan juga satu jenis protein yang diperkirakan bertanggung jawab atas pemblokiran isyarat. Protein ini mempunyai kekhasan, penerima acetylcholine senyawa yang terdapat pada nerotransmiter. Di tengah riuhnya kedokteran Barat mencoba akunpungtur untuk melakukan pembiusan operasi, penemuan-penemuan Miller tentunya sebuah penawaran yang bersaing. Bukankah akupungtur pun masih sangat misterius, dan percobaannya pada pembiusan operasi di Barat masih dibantu anastesia dengan obat-obat anastesikum?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini