KETE, Tana Toraja. Dalam sebuah bangunan adat, di lantai ruangan tengah, teronggok bermacam bentuk cawan dan mangkuk kayu, hitam dan kotor. Barang-barang ini, bersama beberapa jenis barang lainnya di situ, dikumpulkan dari pedusunan sekitar Makale dan Rantepao. Seorang lelaki muda menyerahkan kepada saya beberapa di antara mangkuk itu sambil berpesan khidmat: "Harap Bapak simpan dan rawat baik-baik. Jangan disia-siakan, karena besar artinya bagi kami. Kelak bila seorang Toraja datang bertamu ke rumah Bapak, melihat barang ini ia akan menyanyi: Tempat sayur tetap sedap, meskipun tak ada lagi sayurnya." Saya menatapnya: pada senyum tersipu saya mencoba menduga rahasia tempat sayur. Kenangan itu mengusik saya dan membawa ingatan kepada periuk, lesung, perkakas tenun - kepada sejumlah barang yang sempat saya kenal selintas di masa kanak-kanak. Saya tertegun: di berbagai bagian masyarakat, di berbagai pelosok tanah air di abad kita, betapa banyak - dan betapa cepat - barang semacam itu telah menyingkir dari arus kesibukan sehari-hari. Sejak aman yang tidak teringat lagi tarikhnya, berjenis-jenis barang telah menyertai kehidupan para warga suatu masyarakat dari angkatan ke angkatan, menemani mereka dalam kehidupan, dalam upacara dan pesta, menjadi bagian dari pengalaman bersama, dan ikut membentuk angan-angan umum: dinyanyikan dalam lagu, menjadi wahana ungkapan dalam pepatah, berperan dalam dongeng, legenda, dan mitos. Para nenek moyang, hidup ketika tradisi utuh dan jaya, tidak amat memusingkan kenyataan itu. Hanyalah ketika tradisi pudar, dan satu demi satu barang tradisional lenyap, kita menjumpai seseorang dengan terharu melepas mangkuk kayu yang sudah usang dan hitam: barang sederhana ini merupakan simpul dari sejumlah pengalaman dan khayal kolektif, merupakan buhul dari sekian jalinan sosial. Tetapi, lalu, mengapa orang Toraja menjual wadah sayur mereka? Karena butuh uang, tentu. Dan mereka butuh uang untuk membeli, antara lain, wadah sayur dari kaleng atau plastik. Di masa menjelang Perang Dunia Kedua, orang Mimika (tetangga orang Asmat di Irian Jaya) menjuali wadah sagu untuk membeli piring kaleng atau email. Dan segera wadah yang terpuji indahnya itu hanya dapat dijumpai dalam koleksi museum. Ada bermacam sebab yang dapat membawa kepunahan suatu jenis barang. Dihentikannya kegiatan atau pen laku yang memerlukan barang itu, misalnya, atau persaingan dcngan barang pendatang yang lebih unggul. Tidak kurang penting adalah sebab yang bertalian dengan pandangan dan tata nilai. Dewasa ini, di pedesaan, dapat diamati semakin banyak orang yang - secepat keuangan memungkinkan - berpaling dari barang tradisional bikinan setempat yang sering lebih murah (pisau, keranjang bambu, dll.) serta lebih kukuh dan fungsional (peralatan pertanian), ke barang-barang modern bikinan kota. Di pedesaan Jawa Barat, pikiran pertama yang timbul ketika orang meningkat taraf hidupnya ialah membongkar rumah panggung mereka, menggantinya dengan rumah kota dan memenuhinya dengan barang kota. Atau, mereka yang belum cukup beruntung akan sekadar menutup tepas rumah menjadi "ruangan tamu" (gagasan yang datang dari kota) lengkap dengan perabotnya. Dengan demikian, tempat yang berfungsi ganda (dapat dipakai menerima tamu, tapi berguna juga antara lain untuk menimbun hasil bumi sebelum diangkut ke pasar) diubah menjadi tempat berfungsi tunggal. Jika rezeki bertambah, di ruangan tengah akan dipasang meja makan beserta kursinya dan bufet lengkap dengan peralatan makan cara kota. Semua itu lebih untuk pajangan daripada untuk dipakai: sehari-harinya si pemilik dan keluarganya melanjutkan kebiasaan makan di dapur, duduk di lantai pelupuh, dan menyuap dengan tangan telanjang. Di samping kelebihan mutu bahan dan kelebihan fungsional yang boleh dimilikinya (tidak selalu), barang baru, modern, bikinan kota diidamkan orang sebagai pengangkat gengsi, lambang kekuatan, kemantapan, dan kemampuan. Sudah tentu warga lapisan atas di kota-kota besar - kebanyakan baru saja, atau belum lama berselang, tiba pada keadaan baru merasakan kebutuhan amat mendesak untuk melingkungi hidup mereka dengan barang serba modern, sedapat mungkin impor. Setiap pendatang baru pada suatu kedudukan sosial sangat risau akan kepantasan penampilannya dan pergelaran diri (rias, busana, dekor, perilaku beserta perlengkapannya) yang sesuai dengan tingkat yang baru saja dimasukinya. Tetapi yang menarik, sehubungan dengan arus pemilikan barang modern, yang menggelora terutama dalam sepuluh tahun terakhir ini ialah kecenderungan di dalam, atau bersama, arus besar itu - kecenderungan kepada barang tua atau barang antik. Dari berbagai desa dan dacrah, barang-barang tua dan bermacam bagian rumah adat - ukiran Batak, pintu Bali, gebyog Jawa - mengalir ke kota-kota besar untuk menempati gedung-gedung modern, berdampingan dengan barang modern. Mereka yang belum sampai kepada kemewahan menguras barang antik daerah akan berpuas dengan barang buatan baru bergaya antik, termasuk antik kolonial. Tidak penting keselarasan yang menyeluruh atau kepaduan yang taat asas di dalam bangunan, ruangan, atau perabotan. Barang antik dipasang atau ditaruh justru untuk penyimpangannya dari tata tertib modern, untuk pertentangannya dengan lingkungan serba modern. Barang antik menyobek kekinian yang serba baru dan membuka matra (dimensi) yang lampau. Agaknya, kita berhadapan dengan semacam psikologi transmigran. Berangkat untuk tinggal di permukiman baru di lingkungan baru, para transmigran mengangkut barang tua dan usang - bahkan nama kota atau desa asal mereka. Sudah tentu para transmigran penuh harap akan perbaikan nasib dan pembaruan. Tetapi mereka juga menghendaki agar dalam lingkungan mereka terdapat hal-hal yang tetap, yang malar (berkesinambungan), yang dapat mereka gunakan sebagai cermin diri mereka sebagai pendatang dari masa lampau dan sekaligus dapat dipakai justru untuk memahami perubahan. Seandainya harus hidup dalam lingkungan yang segala-galanya baru dan asing, para transmigran menghadapi risiko kekacauan orientasi dan kehilangan gambaran diri. Dan apakah "diri" kita, kalau bukan sebuah gambaran yang kita gubah dari unsur-unsur masa lampau, masa kini, dan masa depan, yang kita ingini agar lingkungan kita mencerminkannya? Punahnya berjenis-jenis barang tradisional, kelahapan akan barang modern, serta perengkuhan barang antik oleh kalangan sosial yang beruntung saja tampaknya bukan pilihan terbaik. Sejarah barang bukan semata-mata cerita kepunahan, penciptaan, dan penemuan dasar. Barang mengenal perbaikan dan penyempurnaan dari masa ke masa, berulang mengalami penyesuaian karena perubahan lingkungan dan kehidupan. Barang dapat berganti bahan, selagi konsepnya tetap. Sebuah gagasan, sebuah akal atau peranti dari sebuah barang lama dapat berpindah dan menyesuaikan diri ke barang baru. Gagasan atau peranti dari barang pribumi dan dari barang pendatang dapat "kawin" dan melahirkan barang yang baru. Sekiranya di zaman kita berbagai proses evolusi itu dapat digerakkan sehubungan dengan barang tradisional kita, apa yang kita peroleh adalah barang masa kini yang menjawab keperluan masa kini, dan sekaligus barang yang punya acuan ke masa lampau kita sendiri. Tidak berarti segala kebutuhan kita sekarang dapat dipenuhi hanya dengan cara begitu. Jelas, kita memerlukan banyak barang modern yang tidak terdapat cikal bakalnya di negeri kita. Tetapi tidak layak dibiarkan berbagai barang tradisional berakhir tanpa keturunan dan menjadi simpul mati. Tugas para ahli teknik dan para perancanglah untuk membuka kembali simpul itu, agar evolusi berlanjut. Jangan seseorang di negeri ini terbangun pada suatu hari, dan dengan rasa aneh memandangi barang-barang di sekelilingnya: tidak satu pun memberi kesaksian bahwa ia adalah warga suatu bangsa yang punya sejarah. * Sanento Yuliman, doktor seni rupa Universitas Paris, adalah kritikus seni rupa dan pengajar pada Fakultas Seni Rupa & Desain ITB.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini