SEKITAR dua tahun yang lalu, di Indonesia diperkenalkan teknik bedah mata baru, yaitu radial keratotomi. Operasi ini khusus untuk menolong mata miop (minus) dan astigmat (silindris). Dengan peralatan khusus, lengkungan kornea mata dipaksa menjadi lebih datar, hina fokus mata bisa tepat pada retina (selaput jala). Dengan operasi ini mata yang minus 6, misalnya, bisa kembali menjadi normal. Tapi bedah mata ini konon mempunyai kelemahan, yaitu mata bisa kembali menjadi minus. (TEMPO, 19 November 1983). Kini, muncul teknik baru yang agaknya merupakan perkembangan dari radial keratotomi. Dikenal dengan sebutan keratomileusis. Berbeda dengan radial keratotomi yang sudah ditemukan sejak 1953 - oleh seorang dokter Jepang - keratomileusis relatif belum lama ditemukan. Baru tahun 1960-an ditemukan di Columbia oleh dr. Tose Baraquer. Dan baru stabil pengembangannya sejak tahun 1970, setelah berbagai rinci teknik dan peralatannya dikembangkan dua ahli mata AS, Prof. Dr. Troutman dan Prof. Dr. Swinger. Troutman tahun lalu datang ke Indonesia untuk mendemonstrasikan pembedahan katarak di Universitas Indonesia - tak ada hubungannya dengan keratomileusis. Sedangkan Swinger tadinya akan mendemonstrasikan keratomileusis itu di Jakarta, 5 Januari lalu sesudah demonstrasi yang sama di Singapura. Tapi kunjungan itu dibatalkan, sementara yang di Singapura, maslh sempat berlangsung. Di sana ia mendemonstrasikan teknik baru itu - yang sempat disaksikan oleh beberapa dokter Indonesia. "Keratomileusis adalah suatu teknik operasi yang menyerupai pembuatan lensa kontak," ujar dr. Istiantoro dari RSCM Jakarta, yang pernah melihat demonstrasi Swinger. "Tapi lensa kontak itu dibuat dari kornea si penderita sendiri." Bedah mata keratomileusis terhitung rumit dan sangat membutuhkan keterampilan. Permukaan kornea, yang berupa piringan, diambil lewat pembedahan. Hal itu dilakukan dengan sangat cermat agar tidak merusakkan lapisan endetol kornea (lapisan yang mengatur kejernihan kornea). Selanjutnya, potongan ini dibekukan agar menjadi keras seperti es. Tujuannya - cukup menakjubkan - agar potongan ini bisa diasah, seperti layaknya mengasah lensa. Maka, ketebalan potongan kornea itu, seperti juga lensa, bisa dibuat seperti yang dikehendaki. Sesudah pengasahan, potongan kornea itu dijahitkan kembali. Dengan pembedahan ini, seperti radial keratotomi, mata minus dapat kembali normal. Juga mata silindris. Atau paling tidak kelainan -kelainan pada mata itu bisa dikurangi. Seperti yang dialami Eni, 27, pasien dr. Istiantoro, yang menjalani operasi keratomileusis di Amerika Serikat. Ia menderita kelainan mata hingga harus menggunakan kaca mata minus 18. Setelah operasi, minusnya tinggal 0,5. Saat ini keratomileusis masih belum mungkin dilakukan di Indonesia. Selain tak ada tenaga ahli untuk mendidik, peralatan untuk mengasah potongan kornea sangat mahal. Menurut Istiantoro, harganya bisa mencapai US$ 50.000. Di Amerika Serikat sendiri, pembedahan ini konon belum banyak dilakukan. Baru sekitar 20 sampai 30 penderita. Biayanya di sana sampai US$ 3.000. Dr. Raman Saman, yang merintis radial keratotomi, pun pesimistis bahwa keratomileusis bisa mulus dilaksanakan di Indonesia. Menurut pendapat dokter kolonel AU itu, risikonya sangat tinggi, karena kornea terlalu banyak diotak-atik. Kalau toh dilakukan di Indonesia, kata ahli mata itu, sebaiknya disiapkan donor mata. Siapa tahu, gagal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini