Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Mobil Balap Anti-Selingkuh

Penggemar balapan mobil radio control semakin meningkat, terutama dari kalangan profesional muda.

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Panas terik tak mereka hiraukan. Di sebuah sudut Gelanggang Olahraga Bung Karno, Senayan, Jakarta, puluhan pria menghadap sebuah arena balap mobil mini sore itu. Tangan mereka berkutat dengan remote control, tubuh meliuk-liuk mengendalikan mobil-mobilan kecil di arena. Persis seperti anak kecil—kecuali mereka mengenakan pantalon kantoran dan sebagian masih berdasi rapi. Mereka umumnya memang datang dari gedung perkantoran terdekat di kawasan Segitiga Emas untuk menyalurkan hobi baru yang tengah menjadi kegemaran para eksekutif muda berduit. Heri, misalnya, seorang staf Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang berkantor di kawasan Jalan Sudirman, menghabiskan waktunya hingga sore hari di sirkuit mini Senayan itu. Riry, seorang pegawai perusahaan negara dalam bidang perkapalan, bahkan datang dari tempat agak jauh—di Koja, Tanjung Priok—khusus untuk menjajal keterampilan jemari dan konsentrasi pikirannya mengendalikan mobil-mobil di sirkuit. Ini bukan hobi biasa. Sirkuit di Senayan itu—yang diberi nama keren Jakarta Internasional Twin Sirkuit—sebenarnya dipersiapkan untuk arena akbar: kejuaraan tingkat Asia-Pasifik. Di situ, awal November lalu para jago dari berbagai negara direncanakan hadir—termasuk pula juara dunia asal Thailand, Surikarn Chaidajsuriya. Namun, acara menarik itu diundur sampai tahun depan menyusul teror bom di Kuta, Bali, 12 Oktober lalu. Di Indonesia, jenis permainan ini kembali populer setelah sempat tenggelam karena krisis moneter. Permainan ini muncul pada 1980-an dan sempat mengalami masa jaya pada 1990-an dengan melibatkan banyak tokoh ternama seperti "si Boy" Onky Alexander, pengusaha Indra Bakrie, adik Menteri Riset dan Teknologi (kala itu), Nudy Habibie, dan pembawa acara televisi Teddy Syah. Belakangan, ketika muncul kembali, tinggal Onky dan Teddy yang sering bolak-balik ke Senayan. Selebihnya pendatang baru. Teddy kini tercatat sebagai pemegang gelar "Top Driver" tingkat nasional dengan rekor kecepatan 14.489 detik seputaran sirkuit. Menurut Danu Wardana, pemilik gerai khusus penjual mobil berikut pernak-perniknya di Sirkuit Senayan, peminat permainan ini terus meningkat. "Dalam dua tahun terakhir ada peningkatan sekitar 30 persen penggemar di Jakarta saja," katanya. Para penggemar tergabung dalam Asosiasi Radio Mobil Indonesia, yang beranggotakan 500 orang—dan 200 orang di antaranya masuk kategori profesional karena aktif ikut kejuaraan di mana-mana. Tak hanya di Jakarta. Sirkuit permainan ini juga marak di Medan, Bandung, Semarang, Solo, dan Surabaya. Bahkan di Semarang sudah ada orang yang mau menginvestasikan uangnya untuk membangun sirkuit off road—sirkuit dengan trek berbukit-bukit alamiah. Frans Nugroho, seorang pengusaha setempat, bekerja sama dengan developer Perumahan Bumi Semarang Baru, membangun sirkuit mini seluas 400 meter persegi untuk memuaskan hobinya sekaligus mencari penghasilan tambahan. Seperti di Jakarta, penjualan mobil-mobilan yang dikendalikan lewat gelombang radio ini juga meningkat. Mobil-mobilan jenis buggy off road, misalnya, yang populer menjadi tunggangan bintang film sintal Pamela Anderson dalam serial TV Baywatch, sangat populer. Menurut Andi, pemilik toko olahraga di Plaza Simpangan, Semarang, penjualan jenis mobil-mobilan itu naik dua kali lipat menjadi 30 dalam dua tahun terakhir. Penggemar mobil-mobilan jenis ini juga berasal dari Solo, kota lain di Jawa Tengah, tempat para penggemar mendirikan klub bernama X-Treme. Memang, jika dibandingkan dengan negara lain seperti Thailand, dan terlebih-lebih Amerika, penggemar radio-mobil di Indonesia masih tergolong sedikit. Danu Wardana, yang pernah kuliah di Amerika, mengatakan bahwa di sana hampir setiap kota memiliki klub. Sehingga, jika ada perlombaan, memakan waktu hampir sepekan. "Itu lantaran banyaknya peserta dan kelas yang dipertandingkan," katanya. Di sini, permainan ini memang masih tergolong permainan kaum gedongan belaka. Pasalnya, untuk membeli satu set khusus mobil-mobilan, yang mesinnya hanya diproduksi dua negara digdaya otomotif—Jepang dan Italia—penggemar harus merogoh kocek sampai Rp 15 juta-20 juta. Namun, untuk kota-kota di luar Jakarta, para penggemar bisa menyiasatinya dengan membeli mobil asal Taiwan, yang harganya lebih terjangkau, sekitar Rp 2 juta-5 juta. Dan itu baru mobilnya. Harga satu set ban, berisi empat buah, bisa mencapai Rp 200 ribu untuk kelas 1/10 atau Rp 400 ribu untuk kelas yang lebih besar, kelas 1/8 atau seperdelapan ukuran mobil asli. Padahal ban itu hanya tahan dipakai untuk dua jam melaju di trek on road. Bahan bakar mobil ini, metanol, juga relatif mahal, seliter mencapai Rp 100 ribu, dan habis sekali latihan. Belum lagi mereka harus membayar ongkos sewa sirkuit. Jika setiap latihan seseorang bisa menghabiskan waktu satu hingga dua jam, bisa dibayangkan biaya yang harus dikeluarkannya: sekitar Rp 500 ribu. Padahal mereka rata-rata berlatih minimal dua kali dalam sepekan. Itu semua belum terhitung onderdil yang rusak jika terjadi tabrakan. "Mobil pemain baru sering rusak karena belum lihai mengendalikannya," kata Lepana Saragih, 29 tahun, penggemar radio mobil yang berprofesi sebagai pengacara. Rata-rata pemain radio mobil ini adalah bekas "raja jalanan" yang sering "ngetrek" mobil di jalan raya. Riry, misalnya, mengaku pernah ngebut sampai mobilnya jungkir balik. Sejalan dengan meningkatnya umur, mereka beralih ke mobil mini berbahan bakar metanol itu: "naluri gila" mereka terpenuhi—mengendalikan mobil dengan kecepatan tinggi, bermanuver di tikungan tajam—tapi bebas dari risiko maut. Tapi, sementara dulu para penggemar ngebut ini dimusuhi para ibu yang khawatir anaknya terluka, kini mereka dimusuhi para istri yang telantar. Para penggemar radio mobil bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengeset mobil agar bisa lari kencang, bisa dari pagi sampai sore mereka mengotak-atik mesin dan onderdil. "Kalau sudah begitu, yang menjadi musuh adalah para istri," kata Lepana, yang sehari-hari mengendarai "mobil asli" Mitsubishi Pajero. Psikolog Jo Rumeser, pemilik lembaga konsultasi psikologi Iradat, menyebut kegemaran baru terhadap tamiya dan radio-mobil itu lebih merupakan permainan ketimbang olahraga. Sebagai permainan, ini juga digemari karena bisa menunjukkan status ekonomi dan sosial tertentu. "Mereka ingin terlihat trendi bergabung ke klub, sehingga tidak dicap berada di luar kelompok," katanya. Bagaimanapun, menurut Jo Rumeser, permainan ini lebih positif ketimbang kebut-kebutan di jalanan. "Ada proses sublimasi, untuk menyalurkan insting membunuh, ketika bisa melewati tikungan," katanya. Sebagai penyaluran, sayangnya, ini hanya bisa dinikmati mereka yang kaya. "Yang tidak mampu beli hanya bisa berkhayal atau menjadi penonton." Edy Budiyarso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus