JAKSA Agung Muhammad Abdul Rachman menyimpan banyak misteri. Ternyata yang patut diamati dari dirinya bukanlah melulu soal rumah mewahnya di Cinere atau ihwal keintimannya dengan sejumlah makelar perkara kakap. Ada satu hal lagi yang luput dari perhatian khalayak ramai: Rachman telah mencabut perintah pemblokiran rekening Tommy Soeharto, narapidana yang kini mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan.
Langkah mengejutkan itu terungkap dari dokumen yang diperoleh mingguan ini. Pada 15 Agustus 2002, Rachman berkirim surat rahasia kepada Gubernur Bank Indonesia (BI) Syahril Sabirin. Isinya, ia meminta bank sentral meneruskan suratnya kepada segenap pemimpin bank, baik bank pemerintah maupun swasta, "Guna melakukan pencabutan pemblokiran terhadap seluruh rekening atas nama Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, karena adanya Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung RI tanggal 1 Oktober 2001 atas nama terpidana tersebut yang amar putusannya pada pokoknya: menyatakan kesalahan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, dan membebaskan terdakwa oleh karena itu dari semua dakwaan Penuntut Umum."
Putusan peninjauan kembali (PK) ini berkait dengan kasus korupsi tukar guling Bulog-Goro. Pemblokiran semula dilakukan atas permintaan Jaksa Agung sebelumnya, Marzuki Darusman, melalui suratnya tertanggal 17 Januari 2001. Menurut Marzuki, selain untuk menyelamatkan uang negara, langkah ini diambil untuk mempersempit ruang gerak Tommy selama menjadi buron. Sebagaimana diketahui, putra bungsu Soeharto ini menjadi buron setelah sempat divonis 18 bulan penjara dan diperintah membayar ganti rugi Rp 30 miliar di tingkat kasasi oleh majelis yang diketuai mendiang Syafiuddin Kartasasmita.
Kini Tommy meringkuk di Nusakambangan dalam kaitannya dengan perkara lain. Pada 26 Juli lalu, ia dinyatakan terbukti bersalah telah melakukan empat tindak pidana, yaitu turut serta tanpa hak menguasai, menyimpan, dan menyembunyikan senjata api dan bahan peledak di Apartemen Cemara dan di rumah Jalan Alam Segar, mendalangi pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin, serta dengan sengaja melarikan diri alias menjadi buron. Untuk semua kesalahan itu, Tommy divonis 15 tahun penjara.
Dan Tommy boleh meringkuk di selnya tanpa perlu khawatir kekurangan duit. Surat pencabutan pemblokiran dari Rachman telah direspons cepat. Dua minggu setelah ia meneken perintah itu, pada 4 September 2002, Kepala Bagian Informasi dan Dokumentasi Pengawasan Bank BI, Ade N. Rachmana, langsung berkirim surat kepada para direksi bank untuk membuka kembali keran duit Tommy. Adanya surat ini dibenarkan Oey Hoey Tiong, Deputi Direktur Hukum BI. "Kami hanya meneruskan permintaan kejaksaan," kata Oey.
Sepintas memang seperti tak ada yang aneh dengan surat Rachman ini. Dinyatakan oleh juru bicara Kejaksaan Agung, Barman Zahir, pencabutan itu wajar-wajar saja karena "secara hukum Tommy tidak bersalah." Dalam perkara korupsi yang merugikan keuangan negara senilai Rp 96 miliar itu, Tommy telah dibebaskan majelis hakim. Keputusannya pun sudah final, tak lagi bisa diganggu gugat. Maka sudah selayaknyalah kejaksaan memulihkan hak Tommy atas rekeningnya. "Jika tidak, kami justru bisa digugat," Barman menambahkan. Soal kenapa baru dicabut Agustus kemarin, Barman bilang instansinya menunggu sampai sang Pangeran Cendana ditangkap dari pelariannya.
Pendapat itu pula yang dinyatakan Elza Syarief. "Memang seharusnya begitu," kata pengacara Tommy ini mendukung seratus persen langkah Rachman. Elza menilai pemblokiran rekening kliennya adalah "tindakan konyol yang berlebihan." Alasannya, harta Tommy yang dibekukan mencapai ratusan miliar, jauh melebihi nilai uang yang diperkarakan dalam kasus Goro. Selain itu, beberapa di antaranya juga disimpan di bank yang telah ditutup pemerintah beberapa waktu lalu. Bank Pesona adalah salah satunya.
Jadi beres? Tunggu dulu. Masih ada sejumlah tanda tanya yang menggayut. Surat itu misalnya diteken Rachman hanya 20 hari setelah Tommy divonis 15 tahun penjara. Lebih aneh lagi, surat ini juga baru dilayangkan 10 bulan setelah putusan PK dari Mahkamah Agung turun.
Pengacara Kamal Firdaus, anggota Majelis Eksaminasi yang pernah menguji putusan PK Tommy Soeharto, bahkan menilai pencabutan itu "tak selayaknya dilakukan Rachman." Sebabnya jelas, kata Kamal, putusan PK itu sendiri sarat dengan kejanggalan. Salah satunya, sebagaimana pernah ramai diperdebatkan, adalah karena Tommy mengajukan PK sekaligus juga memohon grasi. Padahal, secara esensial, keduanya bertolak belakang. Dalam grasi, si pemohon telah menyatakan menerima hukumannya, sedangkan PK justru sebaliknya. Menurut Undang-Undang Grasi yang ditetapkan kemudian, jelas dinyatakan grasi tak boleh diajukan berbarengan dengan PK.
Berbagai cacat hukum lain pun telah ditelanjangi Majelis Eksaminasi—forum yang didirikan sejumlah pengacara dan guru besar hukum seperti Trimoelja D. Soerjadi, Arif Soerowidjojo, Bambang Widjojanto, Adi Andojo Soetjipto, dan Achmad Ali. Pada 29 November lalu, kepada Ketua MA Bagir Manan, mereka telah menyerahkan hasil pengujian terhadap putusan PK Tommy. Hasilnya, kejanggalan ditemukan di sana-sini, dari yang bersifat prosedural semacam tak adanya persetujuan dari majelis hakim kasasi sampai yang termasuk hal material seperti tak ikut dipertimbangkannya berbagai bukti dan keterangan saksi yang menyimpulkan terjadinya penyelewengan uang negara dalam perkara ini.
Karena itulah Majelis Eksaminasi tegas menyimpulkan bahwa "permohonan PK harus dinyatakan ditolak" dan bahwa "putusan PK tersebut menjadi tidak layak untuk dilaksanakan (non-eksekutabel) dengan segala akibat hukumnya." Tak cuma itu, bahkan mereka juga menilai ketiga hakim agung yang menangani perkara ini—Taufiq, Soeharto, dan German Hoediarto—"tak cakap dan harus diberhentikan dari jabatannya sebagai hakim agung dengan segala akibat hukum lebih lanjut terhadap masing-masing."
Di atas semua kejanggalan yang berserak-serak itu, Majelis Eksaminasi pun telah mewanti-wanti supaya segala rekening dan aset Tommy yang telah disita negara tak dicabut dulu. "Bahwa semua benda yang disita berkaitan dengan perkara terpidana Hutomo Mandala Putra supaya tetap dalam status sitaan, tidak diangkat karena sifatnya mengikuti (accesoir)," begitu Majelis Eksaminasi menyimpulkan.
Selain itu, Ketua MA Bagir Manan sendiri pernah menjanjikan akan membentuk tim klarifikasi untuk meneliti vonis janggal itu. Karena itulah, kata Kamal lagi, "Mestinya Rachman menunggu dulu tim klarifikasi bekerja."
Pendapat Kamal diamini Marzuki Darusman. Menurut mantan Jaksa Agung ini, pencabutan mestinya memang tak perlu buru-buru dilakukan. "Soalnya, masih ada masalah dalam penggantian kerugian negara yang seharusnya dikejar kejaksaan," ujar Marzuki. Apalagi kasus korupsi yang diduga melibatkan Tommy bukanlah cuma dalam perkara Goro semata.
Tapi apa lacur, sumbat sudah telanjur dibuka dan keran duit Imot—begitu Tommy dipanggil selama jadi buron—telah kembali menggelontor bebas.
Karaniya Dharmasaputra, Ahmad Taufik, Rommy Fibri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini