Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH bangunan berlantai dua di ujung pertigaan jalan di kawasan Cipete Utara, Jakarta Selatan, itu tampak seperti rumah pada umumnya. Ketika Tempo bertandang pada Kamis, 6 Juni 2024, seorang pria yang berada di depan pagar rumah itu menyambut ramah. “Subo, ya? Di situ,” kata pria tersebut sambil menunjuk sebuah pintu di bagian belakang rumah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alunan musik dari vinil musikus Zeke Khaseli yang diputar melalui turntable bermerek Thorens TD 126 MK III buatan tahun 1979 memenuhi isi ruangan di balik pintu tersebut. Ruangan bawah tanah yang tersembunyi di rumah itu menyuguhkan nuansa vintage.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu sisi dindingnya penuh dengan koleksi vinil atau piringan hitam album musikus dalam negeri dan mancanegara. Lalu ada seperangkat audio antik yang menghasilkan suara berkualitas dari musik analog. Di sisi lain, terdapat rak berisi koleksi buku.
Ruang bawah tanah itu adalah lokasi Subo Family, sebuah listening bar atau ruang mendengarkan musik yang diciptakan pasangan suami-istri Aria Anggadwipa-Intan Anggita Pratiwie bersama rekan mereka, Arif Liberto.
Pemilik Listening Bar Subo Family Intan Anggita dan Aria Anggadwipa bersama koleksi turntable dan piringan hitam di Jakarta, 6 Juni 2024. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Aria dan Intan membuka listening bar di basemen rumah mereka untuk umum sejak 2020. Nama Subo dipilih karena merupakan akronim judul lagu kesukaan mereka, yaitu “Summum Bonum” milik grup pop jazz asal Taiwan, Sunset Rollercoaster.
Sebelumnya, rubanah tersebut adalah tempat Aria biasa mendengarkan musik. Terkadang ada temannya yang datang untuk mengobrol dan mendengarkan musik bersama sambil menikmati makanan buatan Intan.
Pengalaman itulah yang hendak Aria dan Intan hidupkan ketika mereka memutuskan membuka Subo Family. “Supaya ada ekspektasi orang yang datang seperti bertamu ke rumahku,” ujar Aria.
Boleh dibilang lokasi Subo Family benar-benar seperti hidden gem alias permata tersembunyi. Alamatnya bahkan tak bisa ditemukan di Google Maps.
Suasana kafe Sonaa, di Senayan Park, Jakarta, 6 Juni 2024. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Ada beberapa aturan khusus bagi pengunjung Subo Family. Pengunjung wajib melakukan reservasi dulu sesuai dengan slot waktu yang tersedia. Pemesanan bisa dilakukan lewat akun Instagram atau IG @subofamily. Barulah kemudian sang pemilik memberikan alamatnya. “Tidak boleh secara sengaja membagikan alamat sini. Kalau ada orang nanya, refer ke IG kami,” kata Aria.
Pengunjung bisa menikmati koleksi rilisan fisik sambil menyantap makanan yang dimasak di dapur rumah Aria dan Intan. Jangan heran bila Anda tak bisa menemukan menu di tempat tersebut. Sebab, jenis makanan bervariasi sesuai dengan ketersediaan saat itu.
Aria mengatakan menu utama Subo Family justru musik yang dihadirkan dengan pengalaman audio dan medianya. Makanan dan minuman hanya pelengkap.
Musik-musik analog tersebut dapat dinikmati dengan berbagai turntable alias alat pemutar vinil yang berbeda-beda, seperti Garrard 401, Technics, dan Thorens. Ada pula gramofon antik buatan 1930.
Tak hanya menikmati musik dari daftar lagu yang sudah disiapkan Aria, pengunjung juga boleh meminta diputarkan lagu tertentu. Mereka dibolehkan mengakses koleksi rilisan fisik di sana. Hanya turntable yang tak boleh disentuh. “Kalau di Jepang, tamu enggak boleh pegang-pegang koleksi,” tuturnya.
Bagi pengunjung yang ingin mengenal perangkat audio lebih dalam, Subo Family membuka kelas audio. Kelas ini berlangsung sejak tahun pertama Subo dibuka.
Aria bercerita, awalnya banyak tamu yang datang penasaran dan menanyakan hal teknis tentang turntable. “Karena tidak mungkin menjelaskannya satu per satu, diadakanlah kelas audio.”
Salah satu peserta kelas tersebut adalah Cahyo Adhi Nugroho. Pria 33 tahun ini tertarik mengikuti kelas audio karena ingin serius mempelajari pengaturan standar audio.
Cahyo mengaku mengoleksi kaset lagu sejak duduk di sekolah menengah pertama, lalu masuk ke dunia piringan hitam mulai 2019. Tahun lalu, pegawai swasta di Jakarta ini nyemplung lebih dalam ke bidang audio dengan membeli amplifier dan loudspeaker. Karena tak ingin asal mendengarkan musik, ia pun berminat mempelajari audio lebih jauh lewat kelas yang diampu Aria.
•••
MENUKIL dari situs newsletter musik Arpeggio, listening bar berasal dari budaya Jepang dan merupakan bagian dari kissaten, kedai kopi kecil dan unik yang banyak terdapat di pinggir jalan Tokyo sejak 1950-an.
Ide awal listening bar cukup sederhana: sedikit berbicara, banyak mendengarkan. Alih-alih makanan, elemen audiolah yang menjadi menu utama. Kehadiran listening bar ini menyediakan cara yang berbeda dalam menikmati musik.
Di Indonesia, listening bar atau listening space kini menjamur di sejumlah kota. Di Jakarta, selain Subo Family yang merupakan pemain lama, ada Sonaa yang baru lahir pada 27 April 2024—bertepatan dengan Record Store Day Indonesia (acara tahunan bagi penggemar rilisan fisik).
Meski baru, kafe yang menempati lantai dasar mal Senayan Park, Jakarta Pusat, itu menjadi spot favorit muda-mudi yang ingin nongkrong sambil mendengarkan musik. Salah satunya Sherren. Perempuan 30 tahun itu mengaku suka bertandang ke Sonaa karena suasananya tenang.
Selain itu, desain Sonaa yang estetik dengan koleksi rilisan fisiknya membuat Sherren penasaran. Dalam beberapa kesempatan, ia memotret sejumlah spot di kafe itu, antara lain rak yang memajang vinil album berbagai grup dan musikus, seperti ABBA, Taylor Swift, dan Raisa.
Pemilik Sonaa, Hogi Wirjono, 47 tahun, mengatakan, rak piringan hitam tersebut menjadi spot foto favorit pengunjung anak muda. Di akhir pekan, banyak yang antre di sana untuk sekadar berfoto hingga membuat konten video.
Hogi Wirjono, pemilik kafe Sonaa, di Jakarta, 7 Juni 2024. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Piringan hitam tersebut bukan hanya pajangan. Sonaa memang menjual rilisan fisik. Selain vinil, ada kaset dan cakram padat (CD) serta turntable Gadhouse dengan harga bervariasi.
Hogi mengatakan sengaja menampilkan kafenya sebagai listening room sekaligus toko rilisan fisik. Sebab, Sonaa diharapkan menjadi sebuah hub. “Bahasa gampangnya, di situ tempat orang bisa dengerin musik, beli musik, dan belajar,” kata Hogi, yang sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia musik.
Setiap hari Hogi membuat daftar lagu untuk menemani para pengunjung yang ingin berlama-lama nongkrong di sana. Genre musik yang dihadirkan bermacam-macam, dari pop, funk, soul, hingga reggae.
Tapi sesekali Hogi juga terlibat sebagai disjoki (DJ) dan menyuguhkan musik langsung dari vinil. Di samping itu, pengunjung bisa meminta staf memutarkan lagu tertentu. Namun ini hanya berlaku untuk beberapa vinil yang sudah terbuka.
Hogi mengatakan tren listening bar dari Jepang sedang booming belakangan ini. Ia tak menampik anggapan bahwa Sonaa juga berkiblat pada listening bar di Negeri Sakura. “Tapi kami mengadaptasi juga,” ujarnya. Sonaa, Hogi menjelaskan, lebih pas disebut sebagai listening room ketimbang listening bar.
Di kota lain, seperti Bandung, Jawa Barat, kafe dengan listening bar juga menjadi favorit anak muda. Salah satunya Mental Vacation yang terletak di Jalan Perintis, Sarijadi.
Pada Senin sore, 10 Juni 2024, dua perempuan muda berkerudung yang datang ke kafe tersebut dan memesan es kopi meminta diputarkan beberapa tembang The Beatles. Lagu yang semuanya berasal dari piringan hitam selanjutnya diputar oleh barista lewat turntable.
Di rak samping meja bar tersedia sekitar 20 vinil yang bisa dipilih untuk didengarkan. Genre musiknya antara lain ska, reggae, dan pop. Beberapa pelantang suara disusun rapi bertingkat di belakang meja bar dan di pojok ruangan dekat sekat kaca. Adapun turntable ditempatkan sejajar di samping meja bar.
Menurut pengelola kafe, Lisdianto alias Brez, tempat itu mengadopsi konsep listening bar sejak awal buka pada 2020. “Inspirasinya dari coffeeshop bergaya Jepang,” kata Brez kepada Tempo, Senin, 10 Juni 2024.
Bedanya, tutur Brez, sementara listening bar di Jepang menyajikan minuman beralkohol, kafe yang ia dirikan bersama mantan vokalis grup punk Billfold, Gania Alianda, itu hanya menyuguhkan minuman nonalkohol dari racikan kopi dan mocktail, juga pastry. Harganya mulai dari Rp 25 ribu.
Sejauh ini tidak banyak varian sajian kuliner yang disediakan karena pemilik lebih mengutamakan pengalaman pengunjung mendengarkan musik dengan suara yang lezat. Sumbernya adalah piringan hitam yang didukung seperangkat audio khusus agar bunyinya terdengar jelas dan rinci.
Mereka antara lain menggunakan perangkat turntable Technics SL-1200MK3, pre-amplifier McIntosh, dan tiga pasang loudspeaker JBL 4311, 4312, serta 4546 yang paling bongsor. “Sebagian besar barang kuno sezaman yang sekarang lagi jadi tren di kalangan penggemar audio,” ucap pria 38 tahun itu.
Alat-alat itulah yang membuat Ferdy Destrian, 30 tahun, kepincut. Setelah mendapat informasi dari teman dan melihat fotonya di media sosial, Ferdy meluncur ke Mental Vacation karena tertarik pada spesifikasi speaker yang digunakan.
Karyawan swasta itu lantas bisa mampir dua-tiga kali setiap bulan ke Mental Vacation. Tujuan utamanya adalah mendengarkan musik secara jernih. Kadang ia pun mengasah kemampuannya menjadi DJ atau sekadar mengobrol dengan teman di sana.
Ferdy juga kerap membawa album piringan hitam koleksinya untuk diputar di kafe tersebut. “Suaranya beda dibanding kalau diputar di rumah, lebih jelas dan detail bunyi instrumen musiknya,” kata penggemar band British pop 1990-an ini.
Menurut Brez, bagian dalam Mental Vacation bisa memuat 10 orang dan bagian luar di teras dapat menampung 10 orang. Di ruangan dalam juga dijual kaus serta gantungan kunci dan berbagai aksesori lain, juga vinil bekas yang dibeli dari Jepang. Sisa lahan digunakan untuk parkiran kendaraan.
Mayoritas pengunjung adalah kalangan mahasiswa. Sebagian besar belum memanfaatkan penuh konsep listening bar yang dimulai sore hari. “Sekitar 70 persen datang ngopi, ngobrol, buka laptop, dan bikin konten media sosial,” ujar Brez.
Suasana interior ruangan menjadi daya tarik pengunjung lain yang berfoto atau membuat video. Selama enam bulan pertama kafe itu buka, pengunjung ramai hingga harus disediakan daftar tunggu. Aktivitas utama pengunjung saat itu adalah membuat konten media sosial.
Brez mengaku hal itu turut mempromosikan tempat usahanya. “Sekarang yang datang empat-enam orang per jam atau 30-50 orang per hari,” ucapnya.
Pengunjung lebih ramai saat akhir pekan atau masa libur panjang, juga ketika kafe mendatangkan DJ. Kafe itu juga kadang disewa sebagai tempat foto pakaian dan pranikah dengan tarif Rp 1,5 juta per empat jam.
•••
KAFE yang mengusung konsep listening bar juga hadir di Yogyakarta. Salah satunya Suara Dewandaru. Kafe yang berdiri sejak akhir 2021 itu memiliki program Ruang Dengar.
Ide awal program yang diinisiasi pendiri sekaligus salah satu pemilik Suara Dewandaru, Lana Pranaya, tersebut adalah membuat konser. Namun bukan musikus, penyanyi, atau disjoki yang didatangkan.
“Aku cuma muter satu album. Jadi yang konser sound system,” kata Lana, 33 tahun, saat ditemui Tempo di kafenya di Dusun Surodadi, Desa Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat, 7 Juni 2024.
Sepintas, program itu terkesan sama seperti mendengarkan musik di kafe-kafe pada umumnya. Namun Lana menyertakan sejumlah syarat bagi pengunjung yang ingin mendengarkan musik di listening bar. Selain melakukan reservasi, selama pemutaran album, pengunjung tak boleh keluar-masuk ruangan dan ikut menyanyi, hanya mendengarkan satu album penuh.
DJ Arms1 dari Singapura saat tampil di listening bar Kafe Dewandaru di Dusun Surodadi, Desa Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, 7 Juni 2024. Tempo/Pito Agustin Rudiana
Lewat Ruang Dengar, Lana ingin mengajak pengunjung Suara Dewandaru mendengarkan musik seperti menonton film di bioskop. Pintu ditutup, lampu dimatikan, orang tak boleh bersuara.
“Jadi dengerin aja. Karena sudah jarang orang meluangkan waktu khusus untuk dengerin musik. Pasti sambil lalu, sekadar pelengkap,” tutur Lana.
Hingga kini sudah empat kali program itu digelar. Album yang disajikan adalah Terbaik Terbaik (Dewa 19), diikuti 07 Des (Sheila on 7), Mantra Mantra (Kunto Aji), dan Starlit Carousel (Frau). Biasanya listening bar itu pun penuh dengan jumlah pengunjung mencapai 30.
Seusai acara, Lana membuka ruang interaksi untuk berbincang dengan para pengunjung. Obrolannya perihal yang mereka rasakan setelah mendengarkan musik satu album dengan khusyuk. “Ternyata responsnya aneh-aneh,” ujarnya.
Pemilik kafe Suara Dewandaru, Lana Pranaya, di Sleman, Yogyakarta, 7 Juni 2024. Tempo/Pito Agustin Rudiana
Lana mengungkapkan, ada pengunjung yang baru tahu bahwa pentolan Dewa 19, Ahmad Dhani, banyak menggunakan kata “cinta” dalam menulis lagu. Ada juga pengunjung yang baru tahu lagu favoritnya terdapat dalam album 07 Des milik Sheila on 7.
“Itu karena biasanya orang mendengarkan satu musik dari satu artis, lalu pindah ke artis lain. Jarang mendengar satu album,” ucap Lana.
Usaha Lana menjadikan kafe sekaligus ruang mendengarkan musik berawal dari hobinya mengoleksi piringan hitam dan sound system sejak 2011. Lana juga seorang DJ yang telah berkelana ke sejumlah bar. Kini ada 300-an vinil yang ia koleksi, kebanyakan musik jazz, funk, soul, house music, dan bossanova.
Saat pandemi Covid-19 menerjang, Lana harus lebih banyak tinggal di rumah. Sejak awal 2020, Lana pun banyak membuatkan musik yang dipesan DJ lain lewat marketplace. “Aku jadi ghost producer,” katanya.
Suasana kafe listening bar Mental Vacation di Bandung, Jawa Barat, 10 Juni 2024. Tempo/Prima Mulia
Pada masa pandemi itu pula Lana melihat jazz kissa di Internet. Ini sebuah kultur jazz bar yang ada di Jepang. Barnya kecil dan cenderung berantakan. Bar ini secara spesifik memutar musik-musik jazz dengan vinil.
Jazz kissa itulah yang kemudian menginspirasi Lana membuat kafe Suara Dewandaru. Ia mengajak seorang temannya yang bekas barista di kedai kopi ternama untuk mengelola kafe tersebut. Lana yang menyusun konsep kafe yang dilengkapi listening bar, yang menjadi ruang untuk menikmati musik sekaligus berinteraksi.
“Spirit jazz kissa itu bertukar pengetahuan, bertukar referensi, ada komunikasi, sehingga tempatnya lebih hidup,” tuturnya. “Jadi bukan sekadar aku nge-track orang untuk datang ke sini, terus kubiarin.”
Dengan spirit itu, Suara Dewandaru memikat pengunjung dari berbagai usia, termasuk anak-anak milenial. Salah satunya Sandy Suhendra. Pria 22 tahun itu mengaku mulai suka mendengarkan musik dari vinil akhir-akhir ini. “Mendengarkan musik dari vinil terasa lebih orisinal,” ucap Sandy, penyuka lagu-lagu Jepang, The Beatles, dan musik 1980-an.
Tak hanya program Ruang Dengar sebagai menu utama, Suara Dewandaru juga kerap menggelar acara lainnya. Seperti penampilan DJ tamu dari Singapura, Arms1, pada Jumat, 7 Juni 2024. Sore itu, DJ Arms1 beraksi dalam program Guest Selector di kafe tersebut. Dia memutar beberapa piringan hitam album musik lewat perangkat turntable.
Selain menghadirkan musik, Suara Dewandaru menyajikan camilan, hidangan berat, aneka kopi, hingga minuman herbal. Di antaranya mi lethek, nasi rawon, nasi bakar, tempe mendoan, cireng, secang, dan bir pletok. Harganya dipatok Rp 25-75 ribu.
Sebulan sekali, Lana pun menggelar “konser makanan”. Ia berkolaborasi dengan Sarah, istri gitaris Sheila on 7, Eross Candra, dan Mazaraat Artisan Cheese dengan mengusung tema tertentu. Hidangan itu hanya disajikan terbatas untuk 30 orang.
Hal lain yang juga menarik dari Suara Dewandaru adalah lokasinya yang cukup jauh dari keramaian. Kafe itu menempati lahan kebun yang didominasi tanaman bambu. Pintu gerbangnya ditandai dengan batang-batang bambu yang melengkung dan beradu.
Bangunan kafe didesain berupa rumah Jawa dengan paduan kayu, bata merah, dan kaca. Bahkan ada amfiteater berbangku bambu buatan ayah Lana, Widya Purwaka, seniman bambu.
Lana mengungkapkan, pada masa libur, banyak pengunjung yang datang dari luar Yogyakarta, seperti dari Jakarta, Surabaya, dan Surakarta, Jawa Tengah. “Mereka mengajak anak-anak sampai hewan peliharaan,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Anwar Siswadi dari Bandung dan Pito Agustin Rudiana dari Yogyakarta berkontribusi pada penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Menikmati Sajian Musik Analog di Listening Bar"