Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Teater Koma mementaskan Matahari Papua, sebuah lakon yang mengangkat kisah Biwar, anak muda yang berusaha memerangi naga.
Naga adalah makhluk jahat yang menguasai, menindas, dan menyengsarakan masyarakat Papua di segala lini. Mengeruk kekayaan bumi Papua.
Naskah (almarhum) Nano Riantiarno sepuluh tahun lalu yang masih relevan dengan situasi kini.
SANG Naga mengendap keluar ketika suasana menjadi sangat mencekam. Panggung memerah dengan latar hutan, sungai berkabut. Lima penduduk Komoro panik ketika Naga menyerang, mengempaskan perahu mereka. Yakomina, yang tengah hamil, berhasil menyelamatkan diri dari amukan naga itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itulah kisah dukun Koreri dengan tongkatnya. Ia meratapi tanah leluhurnya yang sungguh kaya tapi terbelenggu. Kekayaan alamnya dikeruk, keadilan pun seperti jauh panggang dari api. Ia mengingat empat warga Komoro yang tewas dimakan Naga. Masih teringat di benaknya ketika mereka melintasi sungai menuju hulu untuk mencari sagu. Ia pun mengingat Yakomina—diperankan Netta Kusumah Dewi—yang diselamatkannya dan kini putranya, Biwar (Lutfi Ardiansyah), telah tumbuh dewasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lakon Matahari Papua itu dipentaskan Teater Koma pada 6-9 Juni 2024. Sebuah lakon yang mengisahkan harapan rakyat Papua akan kebebasan. Narasi tentang kemerdekaan dan kemakmuran tanah Papua begitu kuat menggema dalam pertunjukan yang berlangsung di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, tersebut. Aktor Joind Bayuwinanda yang berperan sebagai dukun Koreri sedari awal menghidupkan suasana. Ia dengan lantang meneriakkan ketidakadilan yang menimpa rakyat Komoro dan suku lain di Papua. Lantas ia mengantarkan kisah Yakomina dan putranya.
Yakomina melepas putranya berburu ikan di sungai. Ada rasa khawatir yang menyelinap di hati perempuan itu. Untuk menepis kekhawatirannya, ia memberikan berkat doa keselamatan kepada putranya. Mendekati hulu sungai, Nadiva (Tuti Hartati) dan Niagara (Ariyunda Anggayasti) yang tengah bercengkerama dikejutkan oleh kedatangan tiga biawak. Biawak berwarna kuning, merah, dan hijau itu bisa berbicara, mengganggu dua gadis tersebut. Beruntung, datang Biwar yang sanggup mengusir ketiga biawak. Mereka ternyata anak buah Naga yang jahat.
Adegan naga dalam pertunjukan teater 'Matahari Papua: Saatnya Merdeka dari Naga' karya Teater Koma di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 6 Juni 2024. Tempo/Subekti
Di sinilah cerita romantis bergulir. Nadiva dan Biwar saling tertarik. Nadiva mengaku ditarik sebuah kekuatan yang tak ia pahami. Keduanya berjanji bertemu lagi di bawah pohon trembesi. Adegan kisah muda-mudi ini memancing tawa penonton dengan tingkah konyol Niagara, sahabat Nadiva. Setelahnya, Biwar dengan gembira dan bangga membawa pulang ikan kepada ibunya. Kekhawatiran sang ibu tak terjadi.
Lantas terungkaplah kisah pilu keluarga ini. Namun justru itulah yang memantik api balas dendam Biwar untuk memusnahkan Naga. Biwar meminta petunjuk gurunya, dukun Koreri, untuk mengalahkan naga tersebut, membebaskan diri dari sang Naga.
Di sinilah sebenarnya pesan-pesan naskah yang ditulis (almarhum) Nano Riantiarno itu. Ia begitu intens dan gamblang mengantarkan kisah tentang tanah Papua yang kaya raya tapi rakyatnya jauh dari kesejahteraan dan kemakmuran. Dukun Koreri menyebutkan semua yang tampak di muka bumi dan yang terpendam di tanah Papua, kayu, hutan yang lebat, minyak, “bebatuan” yang berharga, semua dibabat dan dikuasai sang Naga. Bukan hanya lewat ratapan sang dukun, penjarahan dan pengerukan itu disuarakan Nano hampir di semua adegan melalui tokoh-tokohnya.
Narasi dalam nyanyian tentang harapan akan terbebas dari belenggu demikian lantang dan jelas dalam naskah Nano, menggugah dan mengajak berefleksi mengenai harapan rakyat Papua yang “tertindas”. Harapan akan kebahagiaan dan kebebasan yang dirindukan selama ini. “Akankah datang masa itu?/Masa-masa kebahagiaan itu?/Kemerdekaan yang mulia itu?/Kebebasan yang didambakan/Bila kemerdekaan datang/Kami mampu tentukan nasib sendiri/ Papua bagi budaya kami semua/Papua, leluhur dan seluruh rakyat/Papua bagi seluruh bangsa kami/Semua akan menikmati itu/Kami adalah kebebasan itu/Ooo, harapan masa depanku…/Ooo, Papua, Papua, Papua….”
Adegan dalam teater "Matahari Papua: Saatnya Merdeka dari Naga' karya Teater Koma di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 6 Juni 2024. Tempo/Subekti
Ketika Nadiva dan Biwar bermesraan dengan bernyanyi, mereka pun menyuarakan harapan di bait terakhir nyanyian. “Kemerdekaan dan kebebasan bagi Papua/Adalah kebebasan yang memang ditakdirkan/Itulah kebebasan dan berkah dari langit/Itulah kemerdekaan utuh bagi manusia/Kemerdekaan inti untuk rakyat Papua.”
Burung Hitam (Sri Qadariyatin) dan Buaya (Sir Ilham Jambak) tak kalah beraksi. Tingkah kocak Sir Ilham yang bergaya imut ala anak remaja kekinian dengan menopangkan dagu di kedua tangannya menjadi adegan yang disukai penonton. Mereka tertawa dibuatnya. Kedua makhluk ini bukan anak buah Naga yang diperankan Bayu Dharmawan Saleh. Tapi mereka takut pada Naga si pemakan batu dan anak buahnya. Mereka menyadari kejahatan sang Naga dan orang-orang dari barat, suku-suku dari barat, Putih, Sawo Matang. Mereka menghabisi berbagai suku, mengeruk semua kekayaan di permukaan dan perut Papua. Merekalah yang merampok kekayaan suku-suku dan bumi Papua.
“Para juragan! Para bos! Para mafia. Dan yang dijajah hanya mampu menangis. Menjajah, menguasai seluruh tambang. Minyak, gas, nikel, emas, batu bara, tembaga, mereka menguasai semua lahan. Menggali bumi di sini! Bayangkan!” kata Buaya. “Mengapa kita di sini, di tempat konyol ini? Kita kan bukan monster jahat.” Mereka lantas berupaya menggalang kekuatan, memanggil para monster di semua penjuru untuk menyerang dan mengusir Naga. Tentu tak mudah karena Naga sangat sakti. Naga mengakui dirinya memang berbuat demikian karena diperintahkan membuat masalah untuk para manusia.
Mungkin sebuah kebetulan pementasan ini menjadi sesuatu yang cukup istimewa, klop dengan situasi sekarang, peristiwa yang menimpa suku Awyu dan Moi di Papua. Mereka tengah memperjuangkan nasib dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung. Beberapa pekan terakhir, viral di media sosial kampanye “All Eyes on Papua” yang memperlihatkan advokasi perjuangan kedua suku ini, menyorot suku Awyu dan Moi yang terancam kehilangan tanah mereka karena ulah perusahaan perkebunan sawit. Anggota kedua suku ini tersebar di beberapa wilayah di Kabupaten Mappi dan Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan. Mereka menempati kampung-kampung di sekitar aliran sungai, seperti Sungai Bamgi, Edera, Kia, Mappi, Pesue, Asue, dan Digoel, serta daerah lahan gambut dan rawa.
Sejatinya bukan hanya kedua suku ini yang ditindas. Selama ini banyak kabar dari tanah Papua tentang konflik yang mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia masyarakat Papua, terutama perempuan dan anak-anak, serta hilangnya hutan, tanah dan penghidupan. Hak kesehatan, pendidikan, dan sosial ekonomi lain pun terabaikan. Rangga Riantiarno, putra Nano, yang menggarap pertunjukan ini mengatakan momentum tersebut cukup pas dan kebetulan sedang viral tanda pagar All Eyes on Papua.
“Saya kira kebetulan, ya, sebelum ini juga kan ada beberapa peristiwa internasional. Di mana pun, selama ada pihak yang berkuasa dan menindas, itu akan menjadi naga,” ujar Rangga sembari menambahkan bahwa naskah ayahnya seperti visioner dan terus relevan.
Dalam pertunjukan ini, Rangga patut diacungi jempol. Dia berhasil mengelola timnya yang kompak, banyak mengikutkan anak muda. Beberapa pemain senior masih ikut tampil, seperti Daisy Lantang, Rita Matu Mona, dan Netta Kusumah Dewi. Rangga mengungkapkan, sejumlah pemain muda dilibatkan karena banyak adegan ramai-ramai yang menuntut pergantian pemain sebagai tokoh yang berbeda. Tapi mereka juga belajar kepada para senior.
Adegan dalam teater "Matahari Papua: Saatnya Merdeka dari Naga' karya Teater Koma di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 6 Juni 2024. Tempo/Subekti
Pertunjukan ini tidak menampilkan aksen bahasa Papua dalam dialog. Rangga lebih menekankan aspek emosi serta pengadeganan atau akting tokoh. Kostum atau aksesorinya pun bukan asli dari Papua, melainkan mengandung unsur Indonesia. Agar tampilan kulit para pemain mendekati kulit warga Papua, mereka menggunakan legging dan kaus panjang cokelat yang dilukis dengan gaya Papua. Ihwal kisah Biwar dan Naga, situasi Papua, serta tari atau koreografinya, mereka berdiskusi dengan Yayasan Maramowe untuk bekal penggarapan lakon ini.
Matahari Papua menjadi satu dari tiga naskah pemenang kategori Naskah Istimewa dalam Sayembara Naskah Teater Dewan Kesenian Jakarta Rawayan Award 2022. Lakon Matahari Papua ini merupakan naskah yang ditulis Nano Riantiarno pada 2014 dan pada 2015 untuk pentas pendek sekitar 50 menit dengan judul Cahaya dari Papua. Rangga mengungkapkan, Nano sudah mengembangkan naskah pendek menjadi naskah panjang, tapi belum menyangkut urusan artistik dan implementasi di panggung.
“Paling kami diskusi buat naganya seperti apa, bajunya, makeup, akting, musik, tata panggung, dan latar digitalnya, karena memang belum ke tahap itu. Belum dibicarakan dengan tim artistiknya,” ucap Rangga.
Dalam pementasan pada 2014 dan 2015, Rangga terlibat sebagai Biwar. Mulanya naskah ini akan dipentaskan pada November 2023 dan disutradarai sendiri oleh Nano. Rencana itu batal. Nano berpulang pada Januari 2023 karena sakit. Pementasan naskah ini direncanakan terus bergulir. Ada pula diskusi penambahan adegan dan tokoh-tokohnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Nyanyian Biwar dan Terbunuhnya Sang Naga"