Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Paul Hendro memamerkan lukisan karyanya tentang Sukarno di masa Perang Dingin, di sela-sela masa Konferensi Asia-Afrika dan Gerakan Nonblok.
Paul melukis dari foto-foto koleksi Arsip Nasional RI yang memperlihatkan Sukarno bersama para pemimpin dunia di tengah panas-dingin hubungan Barat dan Timur.
Dari peristiwa masa lalu dalam visual hitam-putih, Paul membenturkannya dengan situasi kekinian dalam karyanya dengan goresan warna-warna cerah.
BERBALUT jas putih dengan peci hitam, Presiden Sukarno berdiri di podium bergambar lambang Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam lukisan hitam-putih. Di sekitar Sukarno terlihat ruang tamu, ruang belakang, dan porselen Cina. Sentuhan dekorasi di ruangan antara lain lampu, bufet, lemari berwarna cokelat berhiaskan ukiran, dan keramik kuno berwarna biru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sukarno dalam lukisan itu sedang berpidato tentang “To Build the World a New” atau membangun dunia kembali di Sidang Umum PBB di New York, Amerika Serikat, pada 30 September 1960. Pelukis Paul Hendro menggambar foto bersejarah itu berbasis dokumentasi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lukisan berukuran 150 x 200 sentimeter itu dia beri judul To Build the World. Karya berbahan cat minyak di atas kanvas ini satu dari 24 lukisan dalam pameran bertajuk “Vivere Pericoloso” di Bale Black Box Laboratory, Panggungharjo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, 1-9 Juni 2024. Semua lukisan menampilkan Sukarno dan persinggungannya dengan tokoh dunia. Vivere pericoloso berarti masa yang mendebarkan dalam dinamika politik internasional.
Sukarno memperkenalkan Pancasila sebagai alternatif ideologi di antara kapitalisme dan komunisme melalui pidatonya. Badan PBB untuk Pendidikan, Sains, dan Kebudayaan atau UNESCO mengakui pidato Sukarno sebagai salah satu Memory of the World pada Mei 2023. Paul menambahkan suasana modern supaya lukisannya tidak kaku. Bila sesuai dengan foto arsip ANRI, lukisannya hanya menampilkan gambar Sukarno berpidato dalam kelir hitam-putih.
Suasana modern itu, kata pelukis beraliran realis berumur 56 tahun tersebut, menggambarkan Sukarno yang gemar mengoleksi benda seni dan barang antik. Paul terinspirasi dari interior antik di Desa Cipicung, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. “Foto itu saya bawa ke era kekinian dengan menambahkan interior supaya lebih hidup,” ucap Paul saat ditemui di Bale Black Box Laboratory, Sabtu, 1 Juni 2024.
Kedekatan Sukarno dengan sejumlah pemimpin dunia dari dua kutub ideologi muncul dalam lukisan lain. Paul melukis pemimpin karismatik Vietnam, Ho Chi Minh atau dikenal sebagai Paman Ho; pendiri Cina baru, Mao Zedong atau Mao Tse-tung; Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy; dan ibu negara Amerika, Eleanor Roosevelt. Tengoklah karya berjudul Sulang Paman Ho. Lukisan berukuran 20 x 150 sentimeter itu menggambarkan Sukarno yang mengenakan jas dan peci hitam sedang berdiri dan menggenggam gelas bersama Paman Ho yang dibalut baju berkelir putih.
Paul, alumnus Pendidikan Seni Rupa Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yogyakarta (kini Universitas Negeri Yogyakarta), menambahkan gambar ruang tamu yang dilengkapi kursi, meja, bunga dan vas, buku, sofa, serta guci. Lukisan itu menunjukkan keakraban Sukarno dengan Paman Ho. Keduanya menjalin persahabatan karena sejalan dalam melawan kolonialisme dan imperialisme.
Kedekatan Indonesia dengan Vietnam terlihat ketika Vietnam diinvasi Amerika. Sukarno saat itu memerintahkan pembentukan Komite Pembebasan Vietnam Selatan dengan membuka kantor perwakilan di Jakarta. Paman Ho pun pernah mengunjungi Jakarta pada 8 Maret 1959. Sukarno menerima hangat kedatangan Paman Ho dengan jamuan teh. “Sukarno bercengkerama dengan Paman Ho dalam suasana santai,” ujar Paul.
Lukisan karya seniman Paul Hendro berjudul 'Antara Tiga Presiden' di pameran seni bertajuk 'Vivere Pericoloso' di Bale Black Box Laboratory, Panggungharjo, Bantul, Yogyakarta, 1 Juni 2024. Tempo/Shinta Maharani
Paul menyebutkan, ketika menggarap lukisan itu, ia mengalami kesulitan karena harus mencampur berbagai warna dengan perpindahan antarobyek. Dia juga tertantang menggambar Paman Ho, tokoh bengis yang dibenci Amerika, menjadi sosok yang bersahabat.
Kedekatan Sukarno dengan Presiden John F. Kennedy tergambar dalam lukisan berjudul Antara Tiga Presiden. Lukisan berukuran 150 x 150 sentimeter itu menunjukkan Sukarno yang diapit John F. Kennedy dan wakilnya, Lyndon Baines Johnson. Ketiganya mengenakan setelan jas. Dalam bingkai yang berbeda, masih dalam satu lukisan, Paul melukis Sukarno yang berdiri bersama Fidel Castro. Keduanya digambarkan dalam masa krisis Teluk Babi, ketegangan antara Amerika dan Kuba. Peristiwa itu menandai upaya penggulingan pemerintahan Fidel Castro pada masa pemerintahan Kennedy. Seperti pada lukisan lain, Paul menambahkan interior berupa sofa berwarna hijau dan putih.
Paul mengatakan semua lukisan itu ia persiapkan sejak empat tahun lalu. Tanpa sponsor, dia mengumpulkan uang untuk menggelar pameran tunggal di Yogyakarta. Paul menyortir 3.000 foto hitam-putih dokumentasi ANRI, memilih foto-foto Sukarno yang berhubungan dengan diplomasi internasional. Sukarno dan para pemimpin dunia dia lukis dalam warna hitam-putih sesuai dengan foto asli. Adapun interior ia lukis dengan aneka kelir cerah untuk menambah sudut pandang baru dalam karyanya.
Kurator pameran Taufik Rahzen menyebutkan ide menggelar pameran itu bermula dari diskusi intens dengan Paul ketika pandemi Covid-19 menyerang. Empat tahun lalu, keduanya bertemu di Pasar Gembrong, Jakarta. Di bagian depan pasar itu ada kaca yang mirip akuarium. Taufik kemudian menantang Paul untuk berpameran tunggal dalam kaca.
Pengunjung di pameran seni bertajuk 'Vivere Pericoloso' di Bale Black Box Laboratory, Panggungharjo, Bantul, Yogyakarta, 1 Juni 2024. Tempo/Shinta Maharani
Tujuannya adalah menunjukkan daya tahan seniman pada masa pandemi. Eksperimen pameran itu berlangsung selama sebulan. Paul saat itu melukis Sukarno yang berpidato pada 1960 dan Presiden Amerika Richard Nixon.
Dari situlah kemudian Paul menggelar pameran untuk memperingati Pancasila sebagai Memory of the World. Karya-karya yang dipamerkan menjadi pengingat pidato Bung Karno pada 1964 tentang situasi global yang dihadapi saat itu. Masa mendebarkan itu bermula ketika Indonesia menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955, saat memproklamasikan pembebasan kaum kulit berwarna. Bung Karno mengorkestrasi dinamika politik internasional dalam suasana penuh turbulensi. “Ada gairah politik yang jejaknya masih diingat dan menjadi percakapan publik,” ucap Taufik.
Paul, kata Taufik, menyusuri jejak ingatan itu melalui eksperimen visual terdokumentasi. Dia menyelundupkan peristiwa masa lalu dalam interior masa kini. Paul membenturkan ingatan dan waktu serta menghadirkan transformasi peristiwa menjadi ingatan kolektif. Ruang dibangun berdasarkan situasi kontemporer. Waktu berdasarkan memori terhadap berbagai peristiwa bersejarah, misalnya Konferensi Asia-Afrika dan Gerakan Nonblok.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Sukarno, Diplomasi Dunia, dan Masa Kini"