Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bayangan asia dari prncis "bayangan asia dari prancis"

Balet yang ditampilkan grup balet dari prancis di tim ternyata lain dari balet klasik yang dikenal selama ini. pemain tampil dengan kostum sederhana, tema bukan dongeng tapi problem masa kini.

18 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI samping bahasa Inggeris agaknya "ballet" oleh banyak warga ibukota dianggap sebagai atribut "terpelajar". Dan ballet dalam kamus mereka berarti "ballet klasik", sebuah tontonan spektakuler dengan primadona dan pasangannya yang ayu-gemulai tampan tegap, dengan penari-penari "corps de ballet" yang rapi-rampak. Teknik harus gerak prima, kostum semarak, diiringi musik klasik karya komponis besar, serta membawakan tema dongeng cinta kasih seorang pangeran dan seorang puteri. Misalnya: Swan Lake, The Dying Swan, The Firebird, dan sebagainya. Itu makanya, saya kira, walaupun tidak diguyur publikasi gencar seperti Ballet Australia 3 bulan yang lalu, Ballet Perancis "Group de Recherches Thetrales de l'Opera de Paris" dengan penata tari Carolyn Carlson (Teater Terbuka TIM, 31 Oktober dan 1 Nopember 1978) tetap dikunjungi banyak penonton. Akan tetapi setelah lebih 2 jam mengamati ulah Carolyn Carlson dan teman-temannya, banyak kaum "terpelajar" itu yang kecewa. Karena harapan mereka untuk dapat sesaat tamasya ke alam "kebagusan" ternyata tak kunjung tiba. Satu dua orang mulai meninggalkan tempat duduk sambil menggerutu (di antara mereka banyak yang bermata sipit), walaupun pertunjukan belum seluruhnya usai. Tetapi anehnya, cukup banyak juga orang yang merasa sangat terkesan dengan penampilan ballet ini, sehingga menonton ulang pada malam kedua. Sudah barang tentu jenis penonton yang kedua ini adalah minoritas. Memang agak ironis, selagi kita tetap mengagumi ballet (maksudnya yang klasik) maka di benua asalnya genre ini sesungguhnya telah banyak mengalami perubahan. Walaupun tak dapat diingkari bahwa bentuknya yang klasik masih tetap dipertunjukkan. (Sama halnya dengan seorang turis yang menangis karena melihat Bali yang sekarang, sudah "tidak sama" dengan Bali 30 tahun yang lalu). Di samping ballet klasik dikenal juga "ballet d'action" "ballet romantik" "ballet modern" dan "ballet abad ke-20" atau "ballet masa kini". Eksperimental Bentuk ballet yang terakhir ini memang tak banyak diketahui oleh kita di Indonesia, sehingga tak heran jika banyak penonton yang cukup kaget mengamati ulah Carolyn Carlson bersama grupnya yang eksperimental ini. Sebagai sebuah grup yang sengaja dihimpun untuk mencari kemungkinan-kemungkinan baru 3 tahun yang lalu (Juli 1975) oleh l'Opera de Paris, Carolyn Carlson memang telah cukup jauh melangkah. Satu hal yang masih dipertahankan dengan teguh oleh grup ini adalah tuntutan teknik gerak yang tinggiyang ternyata memang dimiliki oleh masing-masing penari. Selain itu banyak hal vang telah dikembangkannya. Sistim ballet klasik dengan primadona dan pasangannya yang menjadi fokus, dengan puluhan penari "corps de ballet" yang seakan ditampilkan hanya untuk membantu dan mengisi waktu-waktu sela, telah ditinggalkan. Jumlah seluruh grup yang hanya 7 orang menuntut kemampuan yang lebih dari masing-masing penari. Tidak ada primadona, sehingga setiap penari mempunyai peranan yang hampir sama pentingnya, dengan demikian setiap penari dituntut untuk hadir dengan kepribadian yang utuh. Kostum sederhana, musik elektronik dan temanya ridak lagi tentang dunia dongeng yang khayali, tetapi lebih mempersoalkan problim masa kini. Repotnya, sama-sama masa kini problim Barat tidak selalu sama dengan problim Timur. Judul semacam "Ini, itu," "Yang Lain," "Awal" dan "Akhir" agaknya memang belum merupakan hal yang biasa dalam dunia tari kita. Lagi di ncgeri kita, kebanyakan penonton datang ke sebuah pertunjukan untuk santai dan terhibur. Maka ketika dalam perrunjukan ini mereka diajak berpikir, banyak yang menjadi malas, kalau tidak malahan marah. Bagi penonton yang tidak membawa pra-konsep dari rumah atau mereka yang mau diajakberpikir, sesungguhnya banyak yang bisa diamati terutamapenjelajahan gerak yang tekun yang kemudian melahirkan kebaruan. Yang dengan mudah dapat segera ditangkap misalnya usaha koreografer untuk memasukkan suara penari dalam komposisinya. Baik dalam bentuk dialog, nyanyi atau suara lain. Karena biasanya seorang penari ballet adalah "a silent performer". Warna suara setiap pemain bernama "Arja Saijonmaa" yang cukup mantap memang memberikan warna tersendiri. Sayang dia penyanyi bukan penari-penyanyi seperti Meredith Monk, sehingga gerak-geriknya nampak berjarak dengan penari yang lain. Usaha memperluas kawasan gerak, diawali oleh Ms. Carlson dengan menjauhi vokabuler-vokabuler ballet. Yang Juga ia hindari adalah kecenderungan yang mengarah ke kebagusan gerak ballet yang biasa. Dan dalam usaha ini ia sampai kepada gerakan pantomimik dan gerak lucu yang lebih manusiawi. Penjelajahan gerak Ms. Carlson menyentuh juga sampai ke gerak amat perlahan yang tak biasa dilakukan di dalam ballet. Sayangnya terlalu banyak, sehingga menimbulkan kesan lamban. Dan celakanya warna gerak ini justru merupakan warna gerak tari Oriental kita (Jawa, Jepang, Cina misalnya) yang bagi kebanyakan orang Asia "kontemporer" terlalu lambat. Banyak misalnya orang Jawa yang sudah tak tahan lagi menonton sebuah pertunjukan Tari Srimpi atau Bedaya yang utuh. Padahal jika diteliti, beberapa adegan cukup mengesankan adegan berjalan low-speednya Larrio Ekson, yang menggambarkan gerakan lari misalnya, juga gerakan dalam adegan penutup "Ini, itu dan "Yang Lain" di mana grup berjalan perlahan dengan menggeser telapak kaki, mirip gerakan tari "Noh". Yang menarik, hasil yang dicapai oleh Carolyn Carlson bukanlah bentuk drama tari yang dimotori urutan ceritera, tetapi merupakan paduan pekat antara masing-masing unsur yang coba digumuli. Wajah ballet masa kini memang telah banyak berubah, terutama karena pertemuannya dengan tari modern Amerika. Paling awal kontak ini terjadi ketika seorang pelopor tari moderen Amerika Isadora Duncan, mengadakan pertunjukan keliling ke Rusia. Yang pertunjukannya telah merangsang Michel Fokine mengadakan pembaharuan ballet yang (kala itu) cukup radikal. Kini interaksi antara tari modern dan ballet sudah bukan barang baru lagi. Beberapa tokoh tari modern (Graham Cunningham dan Tharp) pernah diundang sebagai koreografer tamu pada berbagai kompani ballet. Sebaliknya, saya pernah menyaksikan penari ballet kenamaan Rudolf Nurejev menarikan komposisi modern Glen Tetley. Dalam pertunjukan Ballet Australia (19 - 20 Juli) yang lalu Luis Falco dengan "Caravan"nya juga telah memberikan warna baru dalam pertunjukannya. Dan kini, sebuah contoh lagi yang dilakukan oleh Carolyn Carlson dengan grup Ballet Perancis. Carolyn Carlson, adalah lulusan Universitas Utah -- salah satu universitas di Midwest yang berbobot program tarinya. Ia pernah bergabung dengan San Fransisco Ballet dan sebelum hijrah ke Perancis bergabung dengan Alwin Nikolais salah seorang eksponen tari modern dewasa ini. Dari rokoh inilah rupanya Ms. Carlson banyak belajar. Sebagaimana Murray Louis mewarisi gerak jenaka dalam koreografinya, hal yang sama didapat Ms. Carlson dari guru itu. Demikian pula gerakan parah-patah yang terasa dominan dalam karyanya, jelas bukan dari tradisi ballet. Bagi kebanyakan kita tontonan yang dua jam 10 menit itu barangkali memang melelahkan. Apalagi lampu dan tata-suara jauh dari memadai, padahal ini sering sangat menentukan. Pada tahun 1974, saya pernah melihat Carolyn Carlson di "l'Opera de Paris" dan menyaksikan betapa kesempurnaan tata lampu banyak menambah bobot. Suara ajeg dan lembut dari 6 buah "metronome" yang ditinggalkan para penari di atas Teater Terbuka tak sampai ke telinga penonton, adalah karena tata suara buruk. Berbeda dengan Ballet Australia yang agaknya memang "dipersiapkan" untuk penonton Asia, Ballet Perancis ini tidak bermaksud serupa. Ia lebih tampil sebagaimana adanya. Jadi tak ada penyesuaian selera. Ini justru bagus, tidak dibuat-buat. Sebuah informasi yang berharga bagi kita tentang perkembangan tari ballet (yang terkenal "klasik" itu) di benua asalnya. Ruginya, ada benturan selera. Lagi pula tak jarang kebaruan di Eropa atau Amerika justru bersumber atau mengambil inspirasi dari Asia. Anehnya kita toh tetap suka mengejar bayangan kita sendiri. Hhhhmmm.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus