DI samping bahasa Inggeris agaknya "ballet" oleh banyak warga
ibukota dianggap sebagai atribut "terpelajar". Dan ballet dalam
kamus mereka berarti "ballet klasik", sebuah tontonan
spektakuler dengan primadona dan pasangannya yang ayu-gemulai
tampan tegap, dengan penari-penari "corps de ballet" yang
rapi-rampak. Teknik harus gerak prima, kostum semarak, diiringi
musik klasik karya komponis besar, serta membawakan tema dongeng
cinta kasih seorang pangeran dan seorang puteri. Misalnya: Swan
Lake, The Dying Swan, The Firebird, dan sebagainya.
Itu makanya, saya kira, walaupun tidak diguyur publikasi gencar
seperti Ballet Australia 3 bulan yang lalu, Ballet Perancis
"Group de Recherches Thetrales de l'Opera de Paris" dengan
penata tari Carolyn Carlson (Teater Terbuka TIM, 31 Oktober dan
1 Nopember 1978) tetap dikunjungi banyak penonton.
Akan tetapi setelah lebih 2 jam mengamati ulah Carolyn Carlson
dan teman-temannya, banyak kaum "terpelajar" itu yang kecewa.
Karena harapan mereka untuk dapat sesaat tamasya ke alam
"kebagusan" ternyata tak kunjung tiba. Satu dua orang mulai
meninggalkan tempat duduk sambil menggerutu (di antara mereka
banyak yang bermata sipit), walaupun pertunjukan belum
seluruhnya usai.
Tetapi anehnya, cukup banyak juga orang yang merasa sangat
terkesan dengan penampilan ballet ini, sehingga menonton ulang
pada malam kedua. Sudah barang tentu jenis penonton yang kedua
ini adalah minoritas.
Memang agak ironis, selagi kita tetap mengagumi ballet
(maksudnya yang klasik) maka di benua asalnya genre ini
sesungguhnya telah banyak mengalami perubahan. Walaupun tak
dapat diingkari bahwa bentuknya yang klasik masih tetap
dipertunjukkan. (Sama halnya dengan seorang turis yang menangis
karena melihat Bali yang sekarang, sudah "tidak sama" dengan
Bali 30 tahun yang lalu). Di samping ballet klasik dikenal juga
"ballet d'action" "ballet romantik" "ballet modern" dan "ballet
abad ke-20" atau "ballet masa kini".
Eksperimental
Bentuk ballet yang terakhir ini memang tak banyak diketahui oleh
kita di Indonesia, sehingga tak heran jika banyak penonton yang
cukup kaget mengamati ulah Carolyn Carlson bersama grupnya yang
eksperimental ini.
Sebagai sebuah grup yang sengaja dihimpun untuk mencari
kemungkinan-kemungkinan baru 3 tahun yang lalu (Juli 1975) oleh
l'Opera de Paris, Carolyn Carlson memang telah cukup jauh
melangkah. Satu hal yang masih dipertahankan dengan teguh oleh
grup ini adalah tuntutan teknik gerak yang tinggiyang ternyata
memang dimiliki oleh masing-masing penari. Selain itu banyak hal
vang telah dikembangkannya.
Sistim ballet klasik dengan primadona dan pasangannya yang
menjadi fokus, dengan puluhan penari "corps de ballet" yang
seakan ditampilkan hanya untuk membantu dan mengisi waktu-waktu
sela, telah ditinggalkan. Jumlah seluruh grup yang hanya 7 orang
menuntut kemampuan yang lebih dari masing-masing penari. Tidak
ada primadona, sehingga setiap penari mempunyai peranan yang
hampir sama pentingnya, dengan demikian setiap penari dituntut
untuk hadir dengan kepribadian yang utuh. Kostum sederhana,
musik elektronik dan temanya ridak lagi tentang dunia dongeng
yang khayali, tetapi lebih mempersoalkan problim masa kini.
Repotnya, sama-sama masa kini problim Barat tidak selalu sama
dengan problim Timur. Judul semacam "Ini, itu," "Yang Lain,"
"Awal" dan "Akhir" agaknya memang belum merupakan hal yang biasa
dalam dunia tari kita. Lagi di ncgeri kita, kebanyakan penonton
datang ke sebuah pertunjukan untuk santai dan terhibur. Maka
ketika dalam perrunjukan ini mereka diajak berpikir, banyak yang
menjadi malas, kalau tidak malahan marah.
Bagi penonton yang tidak membawa pra-konsep dari rumah atau
mereka yang mau diajakberpikir, sesungguhnya banyak yang bisa
diamati terutamapenjelajahan gerak yang tekun yang kemudian
melahirkan kebaruan.
Yang dengan mudah dapat segera ditangkap misalnya usaha
koreografer untuk memasukkan suara penari dalam komposisinya.
Baik dalam bentuk dialog, nyanyi atau suara lain. Karena
biasanya seorang penari ballet adalah "a silent performer".
Warna suara setiap pemain bernama "Arja Saijonmaa" yang cukup
mantap memang memberikan warna tersendiri. Sayang dia penyanyi
bukan penari-penyanyi seperti Meredith Monk, sehingga
gerak-geriknya nampak berjarak dengan penari yang lain.
Usaha memperluas kawasan gerak, diawali oleh Ms. Carlson dengan
menjauhi vokabuler-vokabuler ballet. Yang Juga ia hindari adalah
kecenderungan yang mengarah ke kebagusan gerak ballet yang
biasa. Dan dalam usaha ini ia sampai kepada gerakan pantomimik
dan gerak lucu yang lebih manusiawi.
Penjelajahan gerak Ms. Carlson menyentuh juga sampai ke gerak
amat perlahan yang tak biasa dilakukan di dalam ballet.
Sayangnya terlalu banyak, sehingga menimbulkan kesan lamban. Dan
celakanya warna gerak ini justru merupakan warna gerak tari
Oriental kita (Jawa, Jepang, Cina misalnya) yang bagi kebanyakan
orang Asia "kontemporer" terlalu lambat. Banyak misalnya orang
Jawa yang sudah tak tahan lagi menonton sebuah pertunjukan Tari
Srimpi atau Bedaya yang utuh.
Padahal jika diteliti, beberapa adegan cukup mengesankan adegan
berjalan low-speednya Larrio Ekson, yang menggambarkan gerakan
lari misalnya, juga gerakan dalam adegan penutup "Ini, itu dan
"Yang Lain" di mana grup berjalan perlahan dengan menggeser
telapak kaki, mirip gerakan tari "Noh".
Yang menarik, hasil yang dicapai oleh Carolyn Carlson bukanlah
bentuk drama tari yang dimotori urutan ceritera, tetapi
merupakan paduan pekat antara masing-masing unsur yang coba
digumuli.
Wajah ballet masa kini memang telah banyak berubah, terutama
karena pertemuannya dengan tari modern Amerika. Paling awal
kontak ini terjadi ketika seorang pelopor tari moderen
Amerika Isadora Duncan, mengadakan pertunjukan keliling ke
Rusia. Yang pertunjukannya telah merangsang Michel Fokine
mengadakan pembaharuan ballet yang (kala itu) cukup radikal.
Kini interaksi antara tari modern dan ballet sudah bukan barang
baru lagi. Beberapa tokoh tari modern (Graham Cunningham dan
Tharp) pernah diundang sebagai koreografer tamu pada berbagai
kompani ballet. Sebaliknya, saya pernah menyaksikan penari
ballet kenamaan Rudolf Nurejev menarikan komposisi modern Glen
Tetley. Dalam pertunjukan Ballet Australia (19 - 20 Juli) yang
lalu Luis Falco dengan "Caravan"nya juga telah memberikan warna
baru dalam pertunjukannya. Dan kini, sebuah contoh lagi yang
dilakukan oleh Carolyn Carlson dengan grup Ballet Perancis.
Carolyn Carlson, adalah lulusan Universitas Utah -- salah satu
universitas di Midwest yang berbobot program tarinya. Ia pernah
bergabung dengan San Fransisco Ballet dan sebelum hijrah ke
Perancis bergabung dengan Alwin Nikolais salah seorang eksponen
tari modern dewasa ini. Dari rokoh inilah rupanya Ms. Carlson
banyak belajar. Sebagaimana Murray Louis mewarisi gerak jenaka
dalam koreografinya, hal yang sama didapat Ms. Carlson dari guru
itu. Demikian pula gerakan parah-patah yang terasa dominan dalam
karyanya, jelas bukan dari tradisi ballet.
Bagi kebanyakan kita tontonan yang dua jam 10 menit itu
barangkali memang melelahkan. Apalagi lampu dan tata-suara jauh
dari memadai, padahal ini sering sangat menentukan. Pada tahun
1974, saya pernah melihat Carolyn Carlson di "l'Opera de Paris"
dan menyaksikan betapa kesempurnaan tata lampu banyak menambah
bobot. Suara ajeg dan lembut dari 6 buah "metronome" yang
ditinggalkan para penari di atas Teater Terbuka tak sampai ke
telinga penonton, adalah karena tata suara buruk.
Berbeda dengan Ballet Australia yang agaknya memang
"dipersiapkan" untuk penonton Asia, Ballet Perancis ini tidak
bermaksud serupa. Ia lebih tampil sebagaimana adanya. Jadi tak
ada penyesuaian selera. Ini justru bagus, tidak dibuat-buat.
Sebuah informasi yang berharga bagi kita tentang perkembangan
tari ballet (yang terkenal "klasik" itu) di benua asalnya.
Ruginya, ada benturan selera.
Lagi pula tak jarang kebaruan di Eropa atau Amerika justru
bersumber atau mengambil inspirasi dari Asia. Anehnya kita toh
tetap suka mengejar bayangan kita sendiri. Hhhhmmm.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini