Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Berita penarikan Ranitidin dari pasaran menjadi perhatian pada awal Oktober 2019 dan masih berlanjut. Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PP IAI), Nurul Falah Eddy Pariang, mengatakan produk farmasi yang mengandung Ranitidin seharusnya hanya ada di apotek karena tergolong obat keras.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Obat dengan Ranitidin ini obat keras, seharusnya tidak ada di toko obat, hanya di apotek," kata Nurul.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia mengatakan apotek kini berangsur sudah menarik obat mengandung Ranitidin yang biasa digunakan untuk mengobati sakit tukak lambung dan tukak usus. Penarikan dilakukan sesuai surat edaran Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), yang menarik secara sementara produk mengandung Ranitidin.
Penarikan dilakukan untuk uji laboratorium secara mendalam menilik adanya temuan cemaran Nitrosodimethylamine (NDMA) pada Ranitidin. Nurul mengatakan begitu BPOM mengeluarkan surat edaran soal penarikan obat mengandung Ranitidin kemudian direspon pengelola apotek menghentikan peredaran produk terkait.
Ilustrasi Obat Keras
"Biasanya BPOM menulis ke industri, industri ke distribusinya, distribusi ke pelayanan apotek di rumah sakit, puskesmas, klinik dengan layanan kefarmasian. Kemudian bagi yang memiliki produk dengan Ranitidin dikembalikan," ujarnya.
Bagi apotek, biasanya mendapatkan kompensasi dari produsen dengan kredit nota yang diperhitungkan dengan produk lain. "Ini kan ada harganya. Itu mekanisme yang biasa sudah paham," katanya.
Nurul mengatakan obat dengan Ranitidin saat ini statusnya belum dilarang tetapi ditarik secara sementara. "Kepada aparat, ini adalah obat legal sampai BPOM mengumumkan obat dengan Ranitidin dicabut izin edarnya karena masih dalam penelitian selanjutnya," jelasnya.