Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Neurolog di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional Prof Dr dr Mahar Mardjono Jakarta, Chairunnisa, mengatakan ciri-ciri epilepsi sebenarnya sangat banyak. Contohnya seperti melamun atau bahkan sakit kepala.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menjelaskan dalam gelar wicara "Hari Epilepsi Sedunia 2024" yang disiarkan melalui kanal YouTube RSPON Prof Dr dr Mahar Mardjono, Kamis, 21 Maret 2024, selama ini masyarakat awam hanya tahu mulut berbusa sebagai ciri-ciri epilepsi dan sering menganggap penderita sedang kesurupan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ada juga yang sederhana seperti bengong. Orang selama ini, 'Ah saya bengong, biasa lah dok yang namanya bengong.' Tapi ternyata itu gejala epilepsi yang bentuknya blank. Jadi pasiennya blank, bengong, dia tidak sadar," jelasnya.
Dia mengatakan epilepsi adalah sindrom, yaitu kumpulan beberapa gejala. Epilepsi merupakan suatu bangkitan atau kejang yang tanpa pencetus.
"Kejang yang berulang lebih dari 24 jam tanpa pencetus, itu yang kita sebut dengan epilepsi," ujarnya.
Namun, dia menyebut tidak semua orang yang kejang terkena epilepsi. Kejang terjadi karena adanya aktivitas listrik yang abnormal di otak. Dia menjelaskan ciri-ciri lain epilepsi adalah nyeri kepala, terutama yang sudah diderita selama bertahun-tahun.
Chairunnisa menambahkan penderita biasanya terdapat sensasi-sensasi tertentu, yang disebut sebagai aura, yang terjadi beberapa detik atau menit sebelum epilepsi. Dia menyebut sensasi tersebut menyerang audio maupun visual penderita dan kerap menimbulkan fenomena deja vu atau jamais vu.
Deja vu adalah perasaan ketika orang merasa yang dialami sekarang pernah juga dialami di masa lalu. Sementara itu, jamais vu adalah ketika orang tidak mengenali hal yang familiar dengan dirinya.
"Atau yang paling sering lagi disebut dengan epigastric discomfort. Jadi pasiennya merasa ada sensasi yang tidak nyaman. Dari mulut hati terus naik ke atas seperti muntah. Itu juga merupakan salah satu aura yang paling sering, juga bisa jadi bagian dari epilepsi," paparnya.
Epilepsi dapat dikontrol
Chairunnisa juga menjelaskan apabila terjadi gerakan-gerakan halus atau kedutan perlu segera dipastikan hal tersebut bukan pertanda epilepsi. Dia menyebutkan penyebab epilepsi diduga adalah faktor genetik serta simptomatik, di mana ada sesuatu di otak yang menyebabkan gangguan itu.
Dia mencontohkan tumor, infeksi, atau trauma pada saat proses kelahiran. Adapun pencetusnya antara lain waktu menatap layar, baik itu TV maupun telepon pintar.
Dia menjelaskan epilepsi dapat dikontrol melalui pengobatan namun pada 1 persen penderita dapat terjadi kematian mendadak setelah epilepsi (SUDEP). Menurutnya, penyebab kematian tersebut masih belum jelas. Akan tetapi diduga terkait masalah pernapasan dan jantung.
Pada kesempatan yang sama, ahli gizi Masruroh Mastin menyebutkan penderita epilepsi perlu menjaga asupan gizi yang seimbang agar daya tahan tubuh tetap kuat sehingga tidak terjadi infeksi.