BUKIT runtuh atau tanah longsor tidak selalu menimbulkan
malapetaka. Penduduk Desa Sangiran, Kecamatan Kalijambe, Sragen
(Ja-Teng), justru bergembira jika itu terjadi. Bila hujan turun,
selalu disertai harapan penduduk agar tanah di bukit yang
luasnya 250 ha di atas desa itu longsor.
Itu artinya sebagian penduduk akan datang mengendap-endap di
bekas longsoran. Dengan peralatan cangkul, linggis, dan tongkat
mereka membalik-balik tanah. Mata mereka dengan awas meneliti
setiap benda keras di sela-sela longsoran itu. Mereka adalah
pencari-pencari fosil.
Pencari fosil tertua di Bukit Sangiran adalah Toto Marsono.
Usianya yang 78 tahun tak menghambat geraknya naik dan turun
bukit. Kakek yang sudah punya 44 cucu dari 8 anaknya itu tampak
sehat. "Sejak tahun 1930 saya mencari fosil," katanya kepada
Kastoyo Ramelan dari TEMPO.
Toto semula adalah orang kepercayaan Von Kuningswald. Sarjana
kelahiran Berlin (Jerman) inilah yang mula-mula memperkenalkan
Sangiran kepada dunia internasional sebagai bukit penuh fosil.
Ahli palaeoantropologi ini pula yang menemukan tengkorak manusia
purba di Sangiran yang terkenal dengan nama: Meganthropus Paleo
Javanicus, tahun 1930.
Penggalian selanjutnya menemukan tengkorak binatang sepeti
gajah dan badak. Toto Marsono dipercayai menjadi mandor
penggalian itu. Waktu itu penduduk Sangiran masih menganggap
balung buto (tulang raksasa) yang jadi perhatian serius sarjana
Jerman ini sebagai hal aneh.
Sebagai komandan penggalian, Toto waktu itu mendapat upah Rp 3
setiap minggu. "Uang sebesar itu bisa untuk membeli seekor anak
sapi," ujarnya. Namun yang lebih berarti bagi kehidupan Toto
adalah pengetahuannya tenung fosil. Von Kuningswald mengajarkan
seluk-beluk fosil, dari cara menggalinya sampai menau dan
mengumpulkan. Juga sedikit pengetahuan tenung riwayat fosil itu.
Karena itu, ketika sarjana asing ini meninggalkan Sangiran tahun
1938 dengan membawa puluhan kotak penuh fosil, Toto Marsono yang
saat itu menjadi carik desa, lebih senang mencari fosil. Ia
sudah sadar betapa berharganya balung buto itu.
Menggali fosil suatu pekerjaan tanpa risiko. "Yang dibutuhkan
ketelitian, ketekunan, dan kesabaran, kata Toto. Sehabis hujan
biasanya Bukit Sangiran di sana-sini rontok. Toto dengan
peralatan sederhana mengelilingi bagian bukit yang rontok. Jika
fosil yang ditemukan sudah tergeletak begitu saja -- biasanya
berupa pecahan-pecahan -- langsung dimasukkan ke keranjang.
Jika penggalian harus dilakukan juga, mestilah dengan teliti.
Karena siapa tahu fosil yang kelihatan kecil itu, mempunyai
bagian lebih besar yang masih terbenam.
"Kalau menggalinya serampangan dan tergesa-gesa, bisa pecah kena
cangkul," katanya lagi. Toto selama ini belum pernah mengalami
penggalian sampai memecahkan fosil. Ia dikenal sebagai penggali
fosil jempolan.
Selain jempolan, Toto yang tamatan sekolah dasar zaman Belanda
itu, mengaku selalu mengikuti petunjuk "penghuni" Bukit
Sangiran. Mahluk halus itu yang oleh masyarakat di sana disebut
Danyang Sangiran, menurut Toto, bertubuh tinggi besar dan
berjanggut. Katanya, Sang Danyang pernah membisiki Toto di suatu
malam "hati-hati dengan pekerjaanmu, masih banyak benda berharga
hanya untuk orang tertentu." Dan Toto mengartikan dirinyalah
"orang tertentu" itu. Karenanya setiap Jumat malam ia tirakatan.
Hari Senin dan Kamis ia mutih makan nasi putih tanpa lauk.
Di pendopo rumah Toto Marsono dulu banyak terlihat fosil
penemuannya. Ketika Gubernur Ja-Teng Munadi (di tahun 1972)
melihat benda purbakala itu, timbullah ide untuk mendirikan
museum di Sangiran. Tahun 1975 museum mini berdiri, seluas 9 x 8
meter. Fosil koleksi Toto Marsono diankut ke museum. Toto yang
akhirnya pernah jadi lurah diangkat menjadi pemimpin museum.
Murid Kuningswald ini akhirnya tergolong penggali fosil resmi.
Setiap hasil temuannya dimasukkan museum dan ia menerima ganti
rugi dengan standar harga pemerintah -- sayang ia tak mau
menyebutkan jumlahnya. Yang jelas hidup keluarganya tampak
berkecukupan, walau rumahnya terbuat dari papan. Ketika Desember
tahun lalu Wakii Presiden Adam Malik meninjau Sangiran, Toto
mendapat hadiah Tabanas Rp 150.000. Kepada Adam Malik Toto
memberikan sebuah fosil gigi badak.
Jika Toto Marsono penggali fosil resmi dan mendapat honor dari
Pemda Sragen sebagai Kepala Museum, ada 3 penggali lain yang
masih bersaudara dengan status yang belum jelas. Mereka adalah
Suwarno, Sutanto dan Warsimin. Setiap bulan masing-masing
menerima honor Rp 15.000. Padahal setiap hari mereka
mondar-mandir di bukit untuk meneliti apakah ada fosil yang
muncul. Jika ada, laporan segera dikirim ke Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi Bandung -- sementara fosil itu tak
diganggu di tempatnya semula. Lembaga inilah yang nantinya
meneliti, apakah fosil itu layak digali. Jika dianggap berharga
ketiga penggali ini ditugasi mengangkatnya dan masing-masing
mendapat uang saku Rp. 5.000 per hari. Ketiga orang itu tak
dapat menjelaskan ukuran satu fosil dianggap atau tidak digali.
Ketiga penggali muda ini tinggal dalam satu rumah milik orang
tua mereka, padahal semuanya sudah beristri. Suwarno dan Sutanto
masing-masing punya satu anak. Masing-masing bercita-cita suatu
saat diangkat sebagai pegawai resmi di museum. "Tanpa kami tak
akan ada fosil yang berarti bisa ditemukan. Kenapa kami tak
diangkat bekerja di museum?" tanya Suwarno.
Sebagai penambah penghasilan, mereka pernah membuat "kerajinan
fosil". Fosil dalam bentuk tulang yang tak jelas asal-usulnya
mereka bentuk menjadi asbak rokok, vas bunga dan hiasan lainnya.
Barang ini dijajakan di depan museum dengan harga antara Rp. 500
sampai Rp. 1.000. Tetapi sejak Oktober 1982, PemJa Sragen
melarang jual beli fosil yang sudah dibentuk itu. Mengapa?
"Kalau fosil sudah diukir rusaklah nilai ilmiahnya," kata Toto
Marsono yang ditugasi mengawasi larangan itu. "Fosil yang
bentuknya tak jelas itu kan belum diteliti," kata Toto lagi
dengan gaya seorang ahli.
Bersamaan dengan larangan menjual fosil itu, pengawasan terhadap
Bukit Sangiran lebih ditingkatkan. Sebab penggali fosil yang
berstatus pencuri masih tetap ada, walau tak banyak. Dalam
perkiraan Lurah Sangiran, Syawabi, tak ada sepuluh orang.
"Sebelum ada larangan jual beli fosil, penggali pencuri itu
memang banyak," kata Syawabi.
Pencuri fosil ini hidup lebih baik. Contohnya Tukiran (bukan
nama sebenarnya), 59 tahun, punya sepeda motor, rumahnya tembok.
Dengan tubuh agak pendek, ia gesit naik turun bukit. Tukiran
hanya beroperasi bila sudah mendekati malam. Atau dipilih saat
sedang hujan -- sementara penggali fosil yang resmi sedang
menunggu reda. Dengan tubuh dibungkus mantel plastik ia
mengendap-endap di antara tebingtebing. Kadang ia berkomplot
dengan 4 orang pencuri lainnya. Jika berhasil mendapatkan fosil,
ia titipkan di rumah temannya. "Rumah saya sering digeledah
polisi," katanya terus terang.
Cara menjualnya pun dengan berbisik-bisik. Ia selalu berdiri di
depan museum. Jika ada turis asing yang nampak berminat pada
fosil, ia buntuti sampai ke hotelnya d Sala. Fosil itu bisa
berharga sampai Rp. 100.000. Malah, katanya, pernah berharga Rp.
1 juta -- tergantung jenis fosil dan cara Tukiran membujuk
pembeli.
Tukiran mengaku pernah menjual fosil palsu. Batu-batu di Bukit
Sangiran sepintas memang sulit dibedakan dengan fosil. Dari batu
itu Tukiran suatu ketika membentuk tengkorak, gading, dan rahang
gajah, meniru fosil yang tersimpan di museum. Agar lebih mirip
lagi, ia olesi air daun jati. Warnanya jadi persis fosil
sungguhan. Tukiran tak menyebut harganya, kecuali mengatakan
"mahal". "Ternyata turis memang sulit membedakan yang asli dan
yang palsu. Banyak yang goblok," katanya sambil tertawa.
Profesi seperti Tukiran, menurut sebuah sumber, ternyata lebih
banyak dari perkiraan Lurah Syawabi. Apalagi di musim hujan.
Sosok-sosok tubuh yang mengendap-endap mengumpulkan pecahan
fosil binatang purba sulit dibedakan dengan penggali fosil resmi
yang sedang meneliti medan. Walau pecahan-pecahan kecil itu
sulit dijual kepada turis asing, ada penadah pribumi yang
menampungnya. Kabarnya pecahan fosil tulang kecil dapat
digunakan untuk ramuan obat.
Setelah ada penelitian masih banyak fosil di sana, pengawasan
terhadap Bukit Sangiran semakin ditingkatkan. Sudah direncanakan
bukit itu akan dijadikan Museum Cagar Budaya Sangiran. Menurut
Mohammad Romli, Ketua/Kordinator Teknis di Kantor Suaka dan
Peninggalan Sejarah Purbakala Ja-Teng, jika cagar budaya dengan
biaya Rp. 200 juta itu rampung, Bukit Sangiran akan diawasi oleh
26 tenaga semacam Satpam. Sekarang ini baru ada 4 Satpam yang
selalu kewalahan mengawasi areal 250 ha itu.
April 1981 dua orang penduduk Sangiran, Atmowiyono dan Sunarno
menemukan fosil yang sebagian terpendam. Mereka bermaksud
mencurinya. Untuk menggalinya harus mengupah 10 orang lagi. Uang
untuk kelompok penggali ini memang sudah diperoleh dari seorang
pedagang (yang dikenal penadah fosil) sebanyak Rp. 50.000. Jika
fosil itu berhasil diangkat dan lolos dari pengawasan pihak
keamanan dan aparat museum, pedagang itu akan membayar lagi Rp.
700.000.
Celaka buat pencuri itu. Seorang penduduk melaporkan ke kantor
kelurahan. "Sebelum pedagang memboyong fosil itu, pihak keamanan
cepat menyitanya," kata Syawabi. Terjadi keributan antara
penggali dan Atmowiyono, karena para penggali tak mengira usaha
itu liar. Akhirnya Pemda setempat membayar ganti rugi ongkos
menggali dan sekadar uang penghargaan untuk Atmowiyono dan
Sunarno yang menemukan fosil itu. Fosil itu memang berharga:
satu gading gajah dengan panjang 4 meter, satunya lagi rahang
gajah seberat 2 kuintal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini