Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Para penggali balung buto

Pencari fosil di bukit sangiran, ada yang resmi ada yang pencuri. pencuri fosil ini hidup lebih baik dari pada penggali yang resmi. (sd)

14 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKIT runtuh atau tanah longsor tidak selalu menimbulkan malapetaka. Penduduk Desa Sangiran, Kecamatan Kalijambe, Sragen (Ja-Teng), justru bergembira jika itu terjadi. Bila hujan turun, selalu disertai harapan penduduk agar tanah di bukit yang luasnya 250 ha di atas desa itu longsor. Itu artinya sebagian penduduk akan datang mengendap-endap di bekas longsoran. Dengan peralatan cangkul, linggis, dan tongkat mereka membalik-balik tanah. Mata mereka dengan awas meneliti setiap benda keras di sela-sela longsoran itu. Mereka adalah pencari-pencari fosil. Pencari fosil tertua di Bukit Sangiran adalah Toto Marsono. Usianya yang 78 tahun tak menghambat geraknya naik dan turun bukit. Kakek yang sudah punya 44 cucu dari 8 anaknya itu tampak sehat. "Sejak tahun 1930 saya mencari fosil," katanya kepada Kastoyo Ramelan dari TEMPO. Toto semula adalah orang kepercayaan Von Kuningswald. Sarjana kelahiran Berlin (Jerman) inilah yang mula-mula memperkenalkan Sangiran kepada dunia internasional sebagai bukit penuh fosil. Ahli palaeoantropologi ini pula yang menemukan tengkorak manusia purba di Sangiran yang terkenal dengan nama: Meganthropus Paleo Javanicus, tahun 1930. Penggalian selanjutnya menemukan tengkorak binatang sepeti gajah dan badak. Toto Marsono dipercayai menjadi mandor penggalian itu. Waktu itu penduduk Sangiran masih menganggap balung buto (tulang raksasa) yang jadi perhatian serius sarjana Jerman ini sebagai hal aneh. Sebagai komandan penggalian, Toto waktu itu mendapat upah Rp 3 setiap minggu. "Uang sebesar itu bisa untuk membeli seekor anak sapi," ujarnya. Namun yang lebih berarti bagi kehidupan Toto adalah pengetahuannya tenung fosil. Von Kuningswald mengajarkan seluk-beluk fosil, dari cara menggalinya sampai menau dan mengumpulkan. Juga sedikit pengetahuan tenung riwayat fosil itu. Karena itu, ketika sarjana asing ini meninggalkan Sangiran tahun 1938 dengan membawa puluhan kotak penuh fosil, Toto Marsono yang saat itu menjadi carik desa, lebih senang mencari fosil. Ia sudah sadar betapa berharganya balung buto itu. Menggali fosil suatu pekerjaan tanpa risiko. "Yang dibutuhkan ketelitian, ketekunan, dan kesabaran, kata Toto. Sehabis hujan biasanya Bukit Sangiran di sana-sini rontok. Toto dengan peralatan sederhana mengelilingi bagian bukit yang rontok. Jika fosil yang ditemukan sudah tergeletak begitu saja -- biasanya berupa pecahan-pecahan -- langsung dimasukkan ke keranjang. Jika penggalian harus dilakukan juga, mestilah dengan teliti. Karena siapa tahu fosil yang kelihatan kecil itu, mempunyai bagian lebih besar yang masih terbenam. "Kalau menggalinya serampangan dan tergesa-gesa, bisa pecah kena cangkul," katanya lagi. Toto selama ini belum pernah mengalami penggalian sampai memecahkan fosil. Ia dikenal sebagai penggali fosil jempolan. Selain jempolan, Toto yang tamatan sekolah dasar zaman Belanda itu, mengaku selalu mengikuti petunjuk "penghuni" Bukit Sangiran. Mahluk halus itu yang oleh masyarakat di sana disebut Danyang Sangiran, menurut Toto, bertubuh tinggi besar dan berjanggut. Katanya, Sang Danyang pernah membisiki Toto di suatu malam "hati-hati dengan pekerjaanmu, masih banyak benda berharga hanya untuk orang tertentu." Dan Toto mengartikan dirinyalah "orang tertentu" itu. Karenanya setiap Jumat malam ia tirakatan. Hari Senin dan Kamis ia mutih makan nasi putih tanpa lauk. Di pendopo rumah Toto Marsono dulu banyak terlihat fosil penemuannya. Ketika Gubernur Ja-Teng Munadi (di tahun 1972) melihat benda purbakala itu, timbullah ide untuk mendirikan museum di Sangiran. Tahun 1975 museum mini berdiri, seluas 9 x 8 meter. Fosil koleksi Toto Marsono diankut ke museum. Toto yang akhirnya pernah jadi lurah diangkat menjadi pemimpin museum. Murid Kuningswald ini akhirnya tergolong penggali fosil resmi. Setiap hasil temuannya dimasukkan museum dan ia menerima ganti rugi dengan standar harga pemerintah -- sayang ia tak mau menyebutkan jumlahnya. Yang jelas hidup keluarganya tampak berkecukupan, walau rumahnya terbuat dari papan. Ketika Desember tahun lalu Wakii Presiden Adam Malik meninjau Sangiran, Toto mendapat hadiah Tabanas Rp 150.000. Kepada Adam Malik Toto memberikan sebuah fosil gigi badak. Jika Toto Marsono penggali fosil resmi dan mendapat honor dari Pemda Sragen sebagai Kepala Museum, ada 3 penggali lain yang masih bersaudara dengan status yang belum jelas. Mereka adalah Suwarno, Sutanto dan Warsimin. Setiap bulan masing-masing menerima honor Rp 15.000. Padahal setiap hari mereka mondar-mandir di bukit untuk meneliti apakah ada fosil yang muncul. Jika ada, laporan segera dikirim ke Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung -- sementara fosil itu tak diganggu di tempatnya semula. Lembaga inilah yang nantinya meneliti, apakah fosil itu layak digali. Jika dianggap berharga ketiga penggali ini ditugasi mengangkatnya dan masing-masing mendapat uang saku Rp. 5.000 per hari. Ketiga orang itu tak dapat menjelaskan ukuran satu fosil dianggap atau tidak digali. Ketiga penggali muda ini tinggal dalam satu rumah milik orang tua mereka, padahal semuanya sudah beristri. Suwarno dan Sutanto masing-masing punya satu anak. Masing-masing bercita-cita suatu saat diangkat sebagai pegawai resmi di museum. "Tanpa kami tak akan ada fosil yang berarti bisa ditemukan. Kenapa kami tak diangkat bekerja di museum?" tanya Suwarno. Sebagai penambah penghasilan, mereka pernah membuat "kerajinan fosil". Fosil dalam bentuk tulang yang tak jelas asal-usulnya mereka bentuk menjadi asbak rokok, vas bunga dan hiasan lainnya. Barang ini dijajakan di depan museum dengan harga antara Rp. 500 sampai Rp. 1.000. Tetapi sejak Oktober 1982, PemJa Sragen melarang jual beli fosil yang sudah dibentuk itu. Mengapa? "Kalau fosil sudah diukir rusaklah nilai ilmiahnya," kata Toto Marsono yang ditugasi mengawasi larangan itu. "Fosil yang bentuknya tak jelas itu kan belum diteliti," kata Toto lagi dengan gaya seorang ahli. Bersamaan dengan larangan menjual fosil itu, pengawasan terhadap Bukit Sangiran lebih ditingkatkan. Sebab penggali fosil yang berstatus pencuri masih tetap ada, walau tak banyak. Dalam perkiraan Lurah Sangiran, Syawabi, tak ada sepuluh orang. "Sebelum ada larangan jual beli fosil, penggali pencuri itu memang banyak," kata Syawabi. Pencuri fosil ini hidup lebih baik. Contohnya Tukiran (bukan nama sebenarnya), 59 tahun, punya sepeda motor, rumahnya tembok. Dengan tubuh agak pendek, ia gesit naik turun bukit. Tukiran hanya beroperasi bila sudah mendekati malam. Atau dipilih saat sedang hujan -- sementara penggali fosil yang resmi sedang menunggu reda. Dengan tubuh dibungkus mantel plastik ia mengendap-endap di antara tebingtebing. Kadang ia berkomplot dengan 4 orang pencuri lainnya. Jika berhasil mendapatkan fosil, ia titipkan di rumah temannya. "Rumah saya sering digeledah polisi," katanya terus terang. Cara menjualnya pun dengan berbisik-bisik. Ia selalu berdiri di depan museum. Jika ada turis asing yang nampak berminat pada fosil, ia buntuti sampai ke hotelnya d Sala. Fosil itu bisa berharga sampai Rp. 100.000. Malah, katanya, pernah berharga Rp. 1 juta -- tergantung jenis fosil dan cara Tukiran membujuk pembeli. Tukiran mengaku pernah menjual fosil palsu. Batu-batu di Bukit Sangiran sepintas memang sulit dibedakan dengan fosil. Dari batu itu Tukiran suatu ketika membentuk tengkorak, gading, dan rahang gajah, meniru fosil yang tersimpan di museum. Agar lebih mirip lagi, ia olesi air daun jati. Warnanya jadi persis fosil sungguhan. Tukiran tak menyebut harganya, kecuali mengatakan "mahal". "Ternyata turis memang sulit membedakan yang asli dan yang palsu. Banyak yang goblok," katanya sambil tertawa. Profesi seperti Tukiran, menurut sebuah sumber, ternyata lebih banyak dari perkiraan Lurah Syawabi. Apalagi di musim hujan. Sosok-sosok tubuh yang mengendap-endap mengumpulkan pecahan fosil binatang purba sulit dibedakan dengan penggali fosil resmi yang sedang meneliti medan. Walau pecahan-pecahan kecil itu sulit dijual kepada turis asing, ada penadah pribumi yang menampungnya. Kabarnya pecahan fosil tulang kecil dapat digunakan untuk ramuan obat. Setelah ada penelitian masih banyak fosil di sana, pengawasan terhadap Bukit Sangiran semakin ditingkatkan. Sudah direncanakan bukit itu akan dijadikan Museum Cagar Budaya Sangiran. Menurut Mohammad Romli, Ketua/Kordinator Teknis di Kantor Suaka dan Peninggalan Sejarah Purbakala Ja-Teng, jika cagar budaya dengan biaya Rp. 200 juta itu rampung, Bukit Sangiran akan diawasi oleh 26 tenaga semacam Satpam. Sekarang ini baru ada 4 Satpam yang selalu kewalahan mengawasi areal 250 ha itu. April 1981 dua orang penduduk Sangiran, Atmowiyono dan Sunarno menemukan fosil yang sebagian terpendam. Mereka bermaksud mencurinya. Untuk menggalinya harus mengupah 10 orang lagi. Uang untuk kelompok penggali ini memang sudah diperoleh dari seorang pedagang (yang dikenal penadah fosil) sebanyak Rp. 50.000. Jika fosil itu berhasil diangkat dan lolos dari pengawasan pihak keamanan dan aparat museum, pedagang itu akan membayar lagi Rp. 700.000. Celaka buat pencuri itu. Seorang penduduk melaporkan ke kantor kelurahan. "Sebelum pedagang memboyong fosil itu, pihak keamanan cepat menyitanya," kata Syawabi. Terjadi keributan antara penggali dan Atmowiyono, karena para penggali tak mengira usaha itu liar. Akhirnya Pemda setempat membayar ganti rugi ongkos menggali dan sekadar uang penghargaan untuk Atmowiyono dan Sunarno yang menemukan fosil itu. Fosil itu memang berharga: satu gading gajah dengan panjang 4 meter, satunya lagi rahang gajah seberat 2 kuintal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus