Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Muslihat putu wijaya

Pengarang: putu wijaya jakarta balai pustaka, 1983 resensi oleh: sapardi djoko damono. (bk)

14 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NYALI Oleh: Putu Wijaya Penerbit: Balai Pustaka, Jakarta, 1983, 94 halaman. Kali ini Putu Wijaya benar-benar mendongeng. Latar belakangnya adalah sebuah kerajaan entah-berantah dalam zaman kita ini. Dikisahkan kerajaan itu dipimpin seorang raja. Namun yang lebih banyak menentukan dan melakukan ini-itunya adalah orang kepercayaannya: Jenderal Leonel. Sang jenderal ini pun mempunyai tangan kanan yang tangguh: Kolonel Krosy yang boleh dikatakan menangani langsung kegiatan militer, tentara kerajaan. Masyarakat negeri itu rupanya sedang dalam suasana yang resah. Penyebabnya adalah gerombolan, sangat kejam dan berdisiplin tinggi, yang berusaha terus-menerus merongrong kewibawaan pemerintah. Pihak kerajaan sudah lama berusaha menumpas gerombolan itu. Tapi belum menunjukkan hasil menggembirakan. Bahkan di pihak pemerintah malah yang banyak jadi korban. Antara lain, seorang perwira menengah -- ayah Kolonel Krosy, yang hanya sempat mencapai pangkat letnan kolonel. Novel Putu ini dimulai dengan kisah seorang mata-mata tentara kerajaan, Kropos, yang diselundupkan ke dalam gerombolan Zabaza. Setelah lima tahun bersama gerombolan itu, ada tanda-tanda bahwa Kropos sudah dianggap sebagai anggota. Namun selama itu Kropos harus menerima berbagai macam cobaan -- ini adalah kebiasaan Putu. Kropos telah diciptakan untuk menanggung akibat daya khayal pengarang: mata-mata itu dipaksa menyaksikan orang-orang disembelih, dan malah dipaksa pula untuk menyembelih. Yang paling mengerikan Kropos adalah ketika dipaksa menyaksikan sekitar sepuluh tawanan mati perlahan-lahan dalam lubang yang sudah disediakan untuk mereka. Dan adegan semakin 'seru' sewaktu Kropos menerima 'cobaan' terakhir: kepalanya ditebas. Tapi pada detik-detik terakhir itu ia masih sempat meneriakkan slogan: "Hancurkan Jenderal Leonel!" Seperti dalam banyak cerpennya, Putu tidak hanya menciptakan adegan kejam habis-habisan, juga membelok-belokkan peristiwa-peristiwa sehingga pembaca menjadi curiga -- dan kemudian waspada. Seandainya hanya adegan-adegan kejam -- berpuluh pembunuhan dan pembantaian yang tampil dalam buku ini, maka ia tak lebih dari novel horor. Tapi berkat alur yang dibangun Putu menyebabkan Nyali memiliki nuansa sosial dan politik -- meski tidak jelas benar apa dan di mana. Setidaknya novel ini, lewat kutak-kutik alurnya, merupakan semacam protes terhadap kaitan erat antara politik dan keresahan, kelicikan, serta kekejaman. Kropos adalah mata-mata yang dikirim komandannya, Kolonel Krosy, untuk menyusup ke dalam gerombolan Zabaza. Akhirnya menjadi tokoh utama Zabaza. Bahkan menjadi Zabaza itu sendiri. Kroposlah akhirnya yang membunuh Krosy -- tepat ketika kolonel itu menyadari Zabaza itu bukan nama orang tetapi ideologi. Sebenarnya Krosy tidak mati di tangan Kropos. Tetapi di tangan dokter yang seharusnya menolong nyawanya. Dokter itu pun sekadar menerima perintah Leonel. Ternyata memang ada kaitan antara Leonel dan Kropos -- dan juga raja. Juga ada hubungan yang tak beres antara raja dan jenderalnya, antara jenderal dan istrinya, antara istri jenderal dan Kropos, antara janda Krosy dan istri jenderal, antara anggota masyarakat yang satu dan yang lain. Seorang pelancong yang berkunjung ke kerajaan itu berkomentar, "Kami melihat semacam muslihat yang sulit sekali ditebak. Rakyat sedang ditipu. Tetapi mereka ikut bersalah karena suka tipuan itu." Mungkin gerombolan Zabaza itu tak ada, hanya akal-akalan Jenderal Leonel (dan raja?) saja. Mungkin Kropos seorang Zabaza tulen atau sekadar budak Leonel: tetapi apa pula bedanya? Dan akhir dari 'muslihat yang sulit ditebak' itu adalah serangan Zabaza ke ibukota. Gerombolan itu berhasil ditumpas Leonel, tetapi raja dan segenap keluarganya mati terbunuh. Tinggal Leonel memegang kendali kerajaan -- yang diubahnya menjadi republik. Tapi simpati rakyat kepada Leonel tidak bertahan lama: di mana-mana timbul keresahan. Dan pada waktu itu Kropos sedang menikmati hidupnya di desa bersama seorang wanita. Ia tidak terbunuh dalam penyerbuan ke ibukota itu, dan kini hidup dalam suasana pedusunan yang mirip Taman Firdaus. Namun Kropos harus segera keluar dari taman itu ketika negerinya menjadi resah kembali. "Kropos, sudah waktunya lagi sekarang." Kropos mengangguk. Itulah akhir Nyali, yang sekaligus merupakan awalnya juga. Dan cerita boleh dimulai lagi. Kropos mungkin dimaksudkan sebagai lambang tenaga yang tersimpan dalam tubuh rakyat. Nyali berarti empedu. Bernyali besar berarti pemberani. Bernyali kecil penakut. Dan tokoh-tokoh lain tentunya juga lambang-lambang -- mereka lebih mirip konsep ketimbang manusia. Dan tafsiran menjadi terbuka karena konsep-konsep itu bergerak dalam alur yang sangat berliku-liku, dan dalam peristiwa-peristiwa yang cenderung surealistis. Satu hal yang tetap dipamerkan Putu: ia seorang juru cerita yang kaya muslihat. Sedikit catatan untuk penerbit: riwayat hidup pengarang di kulit belakang, yang dibuat untuk novel Lho, mengapa tidak dihilangkan saja? Sapardi Djoko Damono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus