NYALI
Oleh: Putu Wijaya
Penerbit: Balai Pustaka, Jakarta, 1983, 94 halaman.
Kali ini Putu Wijaya benar-benar mendongeng. Latar belakangnya
adalah sebuah kerajaan entah-berantah dalam zaman kita ini.
Dikisahkan kerajaan itu dipimpin seorang raja. Namun yang lebih
banyak menentukan dan melakukan ini-itunya adalah orang
kepercayaannya: Jenderal Leonel. Sang jenderal ini pun mempunyai
tangan kanan yang tangguh: Kolonel Krosy yang boleh dikatakan
menangani langsung kegiatan militer, tentara kerajaan.
Masyarakat negeri itu rupanya sedang dalam suasana yang resah.
Penyebabnya adalah gerombolan, sangat kejam dan berdisiplin
tinggi, yang berusaha terus-menerus merongrong kewibawaan
pemerintah.
Pihak kerajaan sudah lama berusaha menumpas gerombolan itu. Tapi
belum menunjukkan hasil menggembirakan. Bahkan di pihak
pemerintah malah yang banyak jadi korban. Antara lain, seorang
perwira menengah -- ayah Kolonel Krosy, yang hanya sempat
mencapai pangkat letnan kolonel.
Novel Putu ini dimulai dengan kisah seorang mata-mata tentara
kerajaan, Kropos, yang diselundupkan ke dalam gerombolan Zabaza.
Setelah lima tahun bersama gerombolan itu, ada tanda-tanda bahwa
Kropos sudah dianggap sebagai anggota. Namun selama itu Kropos
harus menerima berbagai macam cobaan -- ini adalah kebiasaan
Putu.
Kropos telah diciptakan untuk menanggung akibat daya khayal
pengarang: mata-mata itu dipaksa menyaksikan orang-orang
disembelih, dan malah dipaksa pula untuk menyembelih. Yang
paling mengerikan Kropos adalah ketika dipaksa menyaksikan
sekitar sepuluh tawanan mati perlahan-lahan dalam lubang yang
sudah disediakan untuk mereka. Dan adegan semakin 'seru'
sewaktu Kropos menerima 'cobaan' terakhir: kepalanya ditebas.
Tapi pada detik-detik terakhir itu ia masih sempat meneriakkan
slogan: "Hancurkan Jenderal Leonel!"
Seperti dalam banyak cerpennya, Putu tidak hanya menciptakan
adegan kejam habis-habisan, juga membelok-belokkan
peristiwa-peristiwa sehingga pembaca menjadi curiga -- dan
kemudian waspada. Seandainya hanya adegan-adegan kejam --
berpuluh pembunuhan dan pembantaian yang tampil dalam buku ini,
maka ia tak lebih dari novel horor. Tapi berkat alur yang
dibangun Putu menyebabkan Nyali memiliki nuansa sosial dan
politik -- meski tidak jelas benar apa dan di mana. Setidaknya
novel ini, lewat kutak-kutik alurnya, merupakan semacam protes
terhadap kaitan erat antara politik dan keresahan, kelicikan,
serta kekejaman.
Kropos adalah mata-mata yang dikirim komandannya, Kolonel Krosy,
untuk menyusup ke dalam gerombolan Zabaza. Akhirnya menjadi
tokoh utama Zabaza. Bahkan menjadi Zabaza itu sendiri. Kroposlah
akhirnya yang membunuh Krosy -- tepat ketika kolonel itu
menyadari Zabaza itu bukan nama orang tetapi ideologi.
Sebenarnya Krosy tidak mati di tangan Kropos. Tetapi di tangan
dokter yang seharusnya menolong nyawanya. Dokter itu pun sekadar
menerima perintah Leonel. Ternyata memang ada kaitan antara
Leonel dan Kropos -- dan juga raja. Juga ada hubungan yang tak
beres antara raja dan jenderalnya, antara jenderal dan istrinya,
antara istri jenderal dan Kropos, antara janda Krosy dan istri
jenderal, antara anggota masyarakat yang satu dan yang lain.
Seorang pelancong yang berkunjung ke kerajaan itu berkomentar,
"Kami melihat semacam muslihat yang sulit sekali ditebak. Rakyat
sedang ditipu. Tetapi mereka ikut bersalah karena suka tipuan
itu."
Mungkin gerombolan Zabaza itu tak ada, hanya akal-akalan
Jenderal Leonel (dan raja?) saja. Mungkin Kropos seorang Zabaza
tulen atau sekadar budak Leonel: tetapi apa pula bedanya? Dan
akhir dari 'muslihat yang sulit ditebak' itu adalah serangan
Zabaza ke ibukota. Gerombolan itu berhasil ditumpas Leonel,
tetapi raja dan segenap keluarganya mati terbunuh. Tinggal
Leonel memegang kendali kerajaan -- yang diubahnya menjadi
republik.
Tapi simpati rakyat kepada Leonel tidak bertahan lama: di
mana-mana timbul keresahan. Dan pada waktu itu Kropos sedang
menikmati hidupnya di desa bersama seorang wanita. Ia tidak
terbunuh dalam penyerbuan ke ibukota itu, dan kini hidup dalam
suasana pedusunan yang mirip Taman Firdaus. Namun Kropos harus
segera keluar dari taman itu ketika negerinya menjadi resah
kembali. "Kropos, sudah waktunya lagi sekarang." Kropos
mengangguk. Itulah akhir Nyali, yang sekaligus merupakan awalnya
juga. Dan cerita boleh dimulai lagi.
Kropos mungkin dimaksudkan sebagai lambang tenaga yang tersimpan
dalam tubuh rakyat. Nyali berarti empedu. Bernyali besar berarti
pemberani. Bernyali kecil penakut. Dan tokoh-tokoh lain tentunya
juga lambang-lambang -- mereka lebih mirip konsep ketimbang
manusia. Dan tafsiran menjadi terbuka karena konsep-konsep itu
bergerak dalam alur yang sangat berliku-liku, dan dalam
peristiwa-peristiwa yang cenderung surealistis. Satu hal yang
tetap dipamerkan Putu: ia seorang juru cerita yang kaya
muslihat.
Sedikit catatan untuk penerbit: riwayat hidup pengarang di kulit
belakang, yang dibuat untuk novel Lho, mengapa tidak dihilangkan
saja?
Sapardi Djoko Damono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini