MESKIPUN 9 Januari lalu Persatuan Dokter Hewan Indonesia (PDHI)
sudah berusia 30 tahun, anggotanya masih sekitar 1.000 orang.
Tentu kebanyakan betah tinggal di kota-kota besar. Tapi di kota
maupun di desa, dokter-dokter hewan itu punya
pengalaman-pengalaman pribadi yang unik -- terutama karena yang
mereka obati adalah hewan-hewan: dari segala jenis.
Drh. (dokter hewan) H. Goenawan di Surabaya misalnya. Suatu hari
ia didatangi seorang keturunan Cina mengendarai mobil mewah. Ia
minta tolong agar dokter itu mengobati binatang kesayangannya.
"Sudah tiga hari dia tak mau makan," kata si tamu. Tanpa
bertanya lagi, dokter tamatan Universitas Gajah Mada (1972) itu
segera melaju ke rumah tamunya. Ia terkejut ketika melihat
seekor kalajengking dalam sebuah kotak kaca. Itulah pasien yang
harus ia obati.
Goenawan tersenyum kecut. Setelah diberitahu apa makanan
kesukaan pasiennya, Goenawan segera minta disediakan
undur-undur. Binatang ini lalu dimasuki obat lewat suntikan.
Tiga kali pengobatan, kalajengking itu pun sembuh -- si
kalajengking itu kembali lahap makan. Tapi lagi-lagi Goenawan
harus tertawa kecut ketika mendapat pasien seekor ular piton,
milik seorang tokoh di kota itu. Ketika Goenawan datang,
binatang melata yang cukup besar itu mengangakan mulutnya. Siap
untuk mencaplok.
Dokter hewan itu meminta agar kandang ditutup. Ia pun menuangkan
cairan ether. Tak lama kemudian piton itu lunglai terbius.
Ternyata ia menderita radang tenggorokan dan kulitnya penuh
kutu. Suntikan segera diberikan. Ketika beberapa bulan kemudian
ular itu sakit lagi Goenawan mencobakan cara lain untuk
menjinakkan pasiennya. Ia memungut seekor katak yang kebetulan
sedang melompat-lompat di dekat ular itu. Goenawan memasukkan
kapsul obat ke dalam tubuh katak sebelum menyuguhkan katak itu
kepada si piton. Ular itu pun akhirnya sehat.
"Menjadi dokter hewan harus banyak akal," katanya. Ibarat
dalang, katanya lagi, dokter hewan tak boleh kekurangan lakon
(cerita). Maklum, bagaimana cara "menjinakkan" binatang
berbahaya, tak pernah diajarkan di bangku kuliah. Hal itu hanya
bisa diperoleh lewat pengalaman. Goenawan memasang tarif Rp
2.000 bagi tiap pasien yang datang.
Uniknya lagi, kata Ketua Persatuan Dokter Hewan Indonesia (PDHI)
Jawa Timur itu, pasien tak bisa diajak berdialog. Maka
pertanyaan biasanya diajukan kepada pemiliknya. Sudah tentu
keadaan pasien seperti mata rebekan, lemas, batuk atau
bertingkah lain dari biasa, bisa menjadi petunjuk untuk
melakukan diagnosa.
Anjing ternyata pasien yang paling banyak dihadapkan kepada
dokter hewan. Apalagi yang berpraktek di kota besar. Dari
rata-rata 15 pasien sehari Dokter Hewan Soewadi Sindoeredjo di
Jakarta, 80% adalah anjing. Binatang yang sering menjadi status
simbol itu, kebanyakan menderita sakit distemper (muntah
mencret), cacingan, infeksi dan kudisan. Sekali datang tarifnya
Rp 3.000.
Pasien Soewadi yang lain ialah kucing. Sekali dua ada juga yang
datang membawa binatang lain. Misalnya beberapa pemuda yang
datang ke tempat prakteknya di bilangan Cempaka Putih, Jakarta
Pusat, membawa seekor katak. Kawanan anak muda itu rupanya cuma
mau meledek. Dan Soewadi, tamatan Sekolah Dokter Hewan Bogor
(kini FKH-IPB Bogor) tahun 1946, segera bilang, lain kali bawa
nyamuk sekalian." Kawanan pemuda itu segera pergi.
Anjing yang dibawa ke dokter, tak hanya karena sakit. Drh.
Sutarman, misalnya, yang buka praktek di bilangan Jalan Jaksa,
juga di Jakarta Pusat, sering dimintai memotong kuping anjing
jenis boxer, doberman atau Great Dean, yang biasanya bertelinga
panjang. Tak hanya sekedar memotong, tapi juga membentuk model
tertentu, hingga anjing itu kelihatan manis atau keren. Tarif
untuk cauterisasi yang memakan waktu sekitar 15 menit itu sampai
Rp 40.000. "Pemiliknya kan kaya," kata Sutarman tertawa.
Di pameran anjing, model telinga itu selalu jadi bahan
pembicaraan. Dokter hewan yang hasil kerjanya disukai, jadi
populer di kalangan pencinta anjing ras itu. Sutarman pun bisa
tertawa lebar. Yang jelas, hasil buka prakteknya jauh lebih
besar dari gajinya di Kebun Binatang Ragunan. Dan suatu kali
ketika menerima pasien anjing herder, tamatan F-KH IPB (1977)
asal Klaten itu terpaksa tersenyum di kulum. Bukan terhadap
pasien, tapi terhadap pemiliknya, yang mengaku bosan bergaul
dengan manusia lain. Sebab, katanya, hampir tiap hari ia selalu
bertengkar dengan teman atau bawahannya. Ia merasa lebih baik
bergaul dengan herdernya, yang tiap pagi menemaninya jogging
hingga terbebas dari tekanan darah tinggi. Juga karena anjing
itu, "selalu menurut, tak pernah membantah."
Tapi tak selamanya menerima pasien anjing menyenangkan. Drh.
Faisal Rahim di Ujungpandang, pernah kedatangan seorang kulit
putih yang mengatakan bahwa anjing kesayangannya menggigit orang
di rumah. Setiap anjing yang menggigit, kata Faisal, patut
diduga berpenyakit rabies. Binatang itu tak boleh disentuh,
bahkan harus dikarantina. Mendengar itu, si bule tadi mengubah
laporannya. "Dia hanya mencakar," katanya. Faisal tak bisa
bertanya lebih banyak, sebab tiba-tiba anjing itu melompat dan
menggigit dokter hewan kelahiran Belawa Wajo tahun 1946 itu.
Ternyata anjing itu memang positif rabies dan mati esok harinya.
Faisal sendiri terpaksa harus disuntik 14 kali di perut, sebelum
rabies membuatnya tak berdaya.
Selain anjing, Faisal sering mengobati sapi dan kerbau milik
penduduk. Sebab itu ia kini memilih tinggal di Nipa-Nipa,
Kelurahan Antang, 10 km dari pusat Kota Ujungpandang. Tak jarang
malam hari rumahnya diketuk orang yang membawa ayam sakit.
Dengan senang hati ia memberi pertolongan. Untuk menarik ongkos
ia tak tega, sebab hidup penduduk kampung itu cukup
memprihatinkan. Lain malam pintunya digedor penduduk yang
meminta cap bebas penyakit bagi kerbaunya yang disembelih
mendadak karena kecelakaan.
Biasanya, Faisal memeriksa ternak itu dulu sebelum memberikan
persetujuan. "Kalau ternyata hewan itu berpenyakit, saya tolak,"
katanya. Kalau sudah begitu, terkadang ada yang membujuk. Bahkan
dengan menyodorkan sejumlah uang dan paha ternak yang disembelih
sebagai hadiah. Faisal hanya menggeleng. Apalagi kalau kerbau
itu sakit antrax atau cacing gelembung, ia harus dibakar. "Kalau
hanya dikubur, sering digali kembali lalu dimakan atau dijual
diam-diam. Padahal itu berbahaya bagi kesehatan manusia," kata
Kepala Dinas Peternakan Kodya Ujungpandang itu. Karena itu
terkadang Faisal harus bersikap "kejam" terhadap penduduk.
Lain lagi tugas rutin Drh. Zainul Arifin yang buka praktek di
Jalan Mahoni, Medan. "Tiap pagi saya mematikan hewan hidup,
sorenya saya berusaha menghidupkan hewan yang mau mati,"
katanya. Kepala Dinas Peternakan dan Rumah Potong Kodya Medan
itu, pagi bertugas di kantor memeriksa ternak yang hendak
dipotong. Sebaliknya, sore hari di tempat praktek ia mengobati
binatang yang sakit. Dan seperti banyak rekannya di tempat lain,
Zainul sering pula mengobati anjing.
Dibanding dengan kucing, yang juga banyak dipelihara orang.
"anjing relatif lebih sering sakit," kata Drh. I Made Sukadana,
37 tahun. di Klinik Hewan UGM, Yogyakarta. Meski diserang
penyakit sama, distemper misalnya, anjing dan kucing menunjukkan
tanda berbeda. Terserang penyakit itu, suhu anjing akan panas,
mata berlendir, ujung hidung kering disertai gerakan-gerakan
bawah sadar.
Kucing sebaliknya bisa diketahui mengidap distemper dengan cara
meraba perutnya. "Usus kucing mengeras dan akan menyentuh
dinding perut hingga mudah diraba bila kena penyakit itu," kata
Made. Kuda lain lagi. Bila terserang penyakit, ia akan
berguling-guling. Beda dengan anjing atau kucing yang justru
kalau sakit berdiam diri.
Mengobati kuda mesti hati-hati. "Salah-salah bisa kena sepak,"
kata tamatan F-KH-UGM itu. Maka bila kuda harus disuntik, jarum
tak ditusukkan di daerah pantat melainkan di bagian perut. Yang
penting, menurut Made, dokter hewan harus tebal perasaan cinta
terhadap binatang. Dengan begitu, binatang yang nampak ganas
bisa berubah jadi penurut bila dokter hewan bisa mengadakan
semacam kontak batin.
Drh. Decky di Ujungpandang, misalnya, menjadi dokter hewan
karena sejak kecil memang mencintai binatang. Suatu kali ketika
ia masih duduk di bangku SD, ayamnya sakit karena temboloknya
membesar. Tanpa pikir panjang, Decky kecil membedah tembolok
ayam kesayangannya dengan pisau silet, lalu dijahit lagi memakai
benang. Hasilnya? "Ayam itu mati," kata Decky tertawa. Sejak itu
ia penasaran dan bercita-cita menjadi dokter hewan. Dan seperti
halnya Drh. Faisal Rahim, Decky juga pernah digigit anjing yang
mengidap rabies. Namun ia tidak kapok, sebab di situlah
tempatnya mengabdi.
Drh. Fachrudin Siregar, 36 tahun, di Pontianak pun merasa cocok
dengan pekerjaannya. Padahal, sebagai pegawai negeri, gajinya
pernah terlambat dua bulan ketika masih bertugas di Singkawang.
Maklum tinggal di pedalaman, sering ia harus puas mendapat
imbalan Rp 500 setelah mengobati binatang yang sakit. Apalagi
kalau binatang yang diobatinya, setelah dua tiga kali datang,
ternyata akhirnya mati. "Tak sampai hati mau menagih ongkos,"
katanya lagi. Dan meski menyayangi binatang, ternyata ia tak
memelihara apa-apa. Punya dua ekor ayam, "eh tahu-tahu dicuri
orang," ia tertawa.
DRH. Suwarso, 39 tahun, pun selalu tertawa meski tugasnya cukup
berat. Menjadi dokter hewan di Koperasi Peternak Bandung Selatan
(KPBS) sejak 1979, ia selalu naik sepeda motor ke mana-mana.
Maklum yang dikunjunginya para peternak yang sering tinggal jauh
dari jalan aspal yang licin. Koperasi yang sukses itu
beranggotakan 2.000 peternak yang memiliki 10.000 ekor sapi.
"Tiap hari ada lapotan sapi yang sakit," katanya. Maka Suwarso
seolah tak pernah berhenti, keliling kampung. Tak jarang ia
menginap di rumah penduduk, karena kemalaman. Sekali dua, ia pun
tidur di samping kandang sapi. Bahkan pernah ia begadang sampai
pagi menunggui sapi betina yang hendak melahirkan.
Meski harus bekerja keras, tamatan F-KH-UGM yang baru empat
bulan diangkat sebagai pegawai negeri itu, merasa bahagia.
Ketika mula-mula bekerja di KPBS, jumlah sapi para peternak
hanya 4.000 ekor. Kini sudah 10.000 ekor -- berarti dalam waktu
empat tahun jumlahnya naik 150%. Memang, Suwarso tak hanya
mengobati sapi-sapi yang sakit. Ia juga mengajarkan cara
merawat, mengembangbiakkan dan memelihara kesehatan ternak
penghasil susu itu.
Dan ia merasa, itulah hidupnya. Karena itu tawaran teman-teman
seangkatannya yang kini hidup berkecukupan untuk pindah ke kota,
ditolaknya. Bahkan pergi ke kota pun, tak sebulan sekali.
"Biarlah saya hidup di sini, di tengah para peternak. Saya tak
mungkin berpisah dengan mereka," ujarnya penuh tekad.
Tekad Suwarso itu sekaligus menunjukkan bahwa masih ada dokter
hewan yang mau tinggal di desa -- tak seperti kebanyakan: hanya
mau tinggal di kota.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini