Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Pasiennya: kalajengking sampai piton

Pengalaman para dokter hewan dengan pasien-pasiennya. (sd)

15 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MESKIPUN 9 Januari lalu Persatuan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) sudah berusia 30 tahun, anggotanya masih sekitar 1.000 orang. Tentu kebanyakan betah tinggal di kota-kota besar. Tapi di kota maupun di desa, dokter-dokter hewan itu punya pengalaman-pengalaman pribadi yang unik -- terutama karena yang mereka obati adalah hewan-hewan: dari segala jenis. Drh. (dokter hewan) H. Goenawan di Surabaya misalnya. Suatu hari ia didatangi seorang keturunan Cina mengendarai mobil mewah. Ia minta tolong agar dokter itu mengobati binatang kesayangannya. "Sudah tiga hari dia tak mau makan," kata si tamu. Tanpa bertanya lagi, dokter tamatan Universitas Gajah Mada (1972) itu segera melaju ke rumah tamunya. Ia terkejut ketika melihat seekor kalajengking dalam sebuah kotak kaca. Itulah pasien yang harus ia obati. Goenawan tersenyum kecut. Setelah diberitahu apa makanan kesukaan pasiennya, Goenawan segera minta disediakan undur-undur. Binatang ini lalu dimasuki obat lewat suntikan. Tiga kali pengobatan, kalajengking itu pun sembuh -- si kalajengking itu kembali lahap makan. Tapi lagi-lagi Goenawan harus tertawa kecut ketika mendapat pasien seekor ular piton, milik seorang tokoh di kota itu. Ketika Goenawan datang, binatang melata yang cukup besar itu mengangakan mulutnya. Siap untuk mencaplok. Dokter hewan itu meminta agar kandang ditutup. Ia pun menuangkan cairan ether. Tak lama kemudian piton itu lunglai terbius. Ternyata ia menderita radang tenggorokan dan kulitnya penuh kutu. Suntikan segera diberikan. Ketika beberapa bulan kemudian ular itu sakit lagi Goenawan mencobakan cara lain untuk menjinakkan pasiennya. Ia memungut seekor katak yang kebetulan sedang melompat-lompat di dekat ular itu. Goenawan memasukkan kapsul obat ke dalam tubuh katak sebelum menyuguhkan katak itu kepada si piton. Ular itu pun akhirnya sehat. "Menjadi dokter hewan harus banyak akal," katanya. Ibarat dalang, katanya lagi, dokter hewan tak boleh kekurangan lakon (cerita). Maklum, bagaimana cara "menjinakkan" binatang berbahaya, tak pernah diajarkan di bangku kuliah. Hal itu hanya bisa diperoleh lewat pengalaman. Goenawan memasang tarif Rp 2.000 bagi tiap pasien yang datang. Uniknya lagi, kata Ketua Persatuan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) Jawa Timur itu, pasien tak bisa diajak berdialog. Maka pertanyaan biasanya diajukan kepada pemiliknya. Sudah tentu keadaan pasien seperti mata rebekan, lemas, batuk atau bertingkah lain dari biasa, bisa menjadi petunjuk untuk melakukan diagnosa. Anjing ternyata pasien yang paling banyak dihadapkan kepada dokter hewan. Apalagi yang berpraktek di kota besar. Dari rata-rata 15 pasien sehari Dokter Hewan Soewadi Sindoeredjo di Jakarta, 80% adalah anjing. Binatang yang sering menjadi status simbol itu, kebanyakan menderita sakit distemper (muntah mencret), cacingan, infeksi dan kudisan. Sekali datang tarifnya Rp 3.000. Pasien Soewadi yang lain ialah kucing. Sekali dua ada juga yang datang membawa binatang lain. Misalnya beberapa pemuda yang datang ke tempat prakteknya di bilangan Cempaka Putih, Jakarta Pusat, membawa seekor katak. Kawanan anak muda itu rupanya cuma mau meledek. Dan Soewadi, tamatan Sekolah Dokter Hewan Bogor (kini FKH-IPB Bogor) tahun 1946, segera bilang, lain kali bawa nyamuk sekalian." Kawanan pemuda itu segera pergi. Anjing yang dibawa ke dokter, tak hanya karena sakit. Drh. Sutarman, misalnya, yang buka praktek di bilangan Jalan Jaksa, juga di Jakarta Pusat, sering dimintai memotong kuping anjing jenis boxer, doberman atau Great Dean, yang biasanya bertelinga panjang. Tak hanya sekedar memotong, tapi juga membentuk model tertentu, hingga anjing itu kelihatan manis atau keren. Tarif untuk cauterisasi yang memakan waktu sekitar 15 menit itu sampai Rp 40.000. "Pemiliknya kan kaya," kata Sutarman tertawa. Di pameran anjing, model telinga itu selalu jadi bahan pembicaraan. Dokter hewan yang hasil kerjanya disukai, jadi populer di kalangan pencinta anjing ras itu. Sutarman pun bisa tertawa lebar. Yang jelas, hasil buka prakteknya jauh lebih besar dari gajinya di Kebun Binatang Ragunan. Dan suatu kali ketika menerima pasien anjing herder, tamatan F-KH IPB (1977) asal Klaten itu terpaksa tersenyum di kulum. Bukan terhadap pasien, tapi terhadap pemiliknya, yang mengaku bosan bergaul dengan manusia lain. Sebab, katanya, hampir tiap hari ia selalu bertengkar dengan teman atau bawahannya. Ia merasa lebih baik bergaul dengan herdernya, yang tiap pagi menemaninya jogging hingga terbebas dari tekanan darah tinggi. Juga karena anjing itu, "selalu menurut, tak pernah membantah." Tapi tak selamanya menerima pasien anjing menyenangkan. Drh. Faisal Rahim di Ujungpandang, pernah kedatangan seorang kulit putih yang mengatakan bahwa anjing kesayangannya menggigit orang di rumah. Setiap anjing yang menggigit, kata Faisal, patut diduga berpenyakit rabies. Binatang itu tak boleh disentuh, bahkan harus dikarantina. Mendengar itu, si bule tadi mengubah laporannya. "Dia hanya mencakar," katanya. Faisal tak bisa bertanya lebih banyak, sebab tiba-tiba anjing itu melompat dan menggigit dokter hewan kelahiran Belawa Wajo tahun 1946 itu. Ternyata anjing itu memang positif rabies dan mati esok harinya. Faisal sendiri terpaksa harus disuntik 14 kali di perut, sebelum rabies membuatnya tak berdaya. Selain anjing, Faisal sering mengobati sapi dan kerbau milik penduduk. Sebab itu ia kini memilih tinggal di Nipa-Nipa, Kelurahan Antang, 10 km dari pusat Kota Ujungpandang. Tak jarang malam hari rumahnya diketuk orang yang membawa ayam sakit. Dengan senang hati ia memberi pertolongan. Untuk menarik ongkos ia tak tega, sebab hidup penduduk kampung itu cukup memprihatinkan. Lain malam pintunya digedor penduduk yang meminta cap bebas penyakit bagi kerbaunya yang disembelih mendadak karena kecelakaan. Biasanya, Faisal memeriksa ternak itu dulu sebelum memberikan persetujuan. "Kalau ternyata hewan itu berpenyakit, saya tolak," katanya. Kalau sudah begitu, terkadang ada yang membujuk. Bahkan dengan menyodorkan sejumlah uang dan paha ternak yang disembelih sebagai hadiah. Faisal hanya menggeleng. Apalagi kalau kerbau itu sakit antrax atau cacing gelembung, ia harus dibakar. "Kalau hanya dikubur, sering digali kembali lalu dimakan atau dijual diam-diam. Padahal itu berbahaya bagi kesehatan manusia," kata Kepala Dinas Peternakan Kodya Ujungpandang itu. Karena itu terkadang Faisal harus bersikap "kejam" terhadap penduduk. Lain lagi tugas rutin Drh. Zainul Arifin yang buka praktek di Jalan Mahoni, Medan. "Tiap pagi saya mematikan hewan hidup, sorenya saya berusaha menghidupkan hewan yang mau mati," katanya. Kepala Dinas Peternakan dan Rumah Potong Kodya Medan itu, pagi bertugas di kantor memeriksa ternak yang hendak dipotong. Sebaliknya, sore hari di tempat praktek ia mengobati binatang yang sakit. Dan seperti banyak rekannya di tempat lain, Zainul sering pula mengobati anjing. Dibanding dengan kucing, yang juga banyak dipelihara orang. "anjing relatif lebih sering sakit," kata Drh. I Made Sukadana, 37 tahun. di Klinik Hewan UGM, Yogyakarta. Meski diserang penyakit sama, distemper misalnya, anjing dan kucing menunjukkan tanda berbeda. Terserang penyakit itu, suhu anjing akan panas, mata berlendir, ujung hidung kering disertai gerakan-gerakan bawah sadar. Kucing sebaliknya bisa diketahui mengidap distemper dengan cara meraba perutnya. "Usus kucing mengeras dan akan menyentuh dinding perut hingga mudah diraba bila kena penyakit itu," kata Made. Kuda lain lagi. Bila terserang penyakit, ia akan berguling-guling. Beda dengan anjing atau kucing yang justru kalau sakit berdiam diri. Mengobati kuda mesti hati-hati. "Salah-salah bisa kena sepak," kata tamatan F-KH-UGM itu. Maka bila kuda harus disuntik, jarum tak ditusukkan di daerah pantat melainkan di bagian perut. Yang penting, menurut Made, dokter hewan harus tebal perasaan cinta terhadap binatang. Dengan begitu, binatang yang nampak ganas bisa berubah jadi penurut bila dokter hewan bisa mengadakan semacam kontak batin. Drh. Decky di Ujungpandang, misalnya, menjadi dokter hewan karena sejak kecil memang mencintai binatang. Suatu kali ketika ia masih duduk di bangku SD, ayamnya sakit karena temboloknya membesar. Tanpa pikir panjang, Decky kecil membedah tembolok ayam kesayangannya dengan pisau silet, lalu dijahit lagi memakai benang. Hasilnya? "Ayam itu mati," kata Decky tertawa. Sejak itu ia penasaran dan bercita-cita menjadi dokter hewan. Dan seperti halnya Drh. Faisal Rahim, Decky juga pernah digigit anjing yang mengidap rabies. Namun ia tidak kapok, sebab di situlah tempatnya mengabdi. Drh. Fachrudin Siregar, 36 tahun, di Pontianak pun merasa cocok dengan pekerjaannya. Padahal, sebagai pegawai negeri, gajinya pernah terlambat dua bulan ketika masih bertugas di Singkawang. Maklum tinggal di pedalaman, sering ia harus puas mendapat imbalan Rp 500 setelah mengobati binatang yang sakit. Apalagi kalau binatang yang diobatinya, setelah dua tiga kali datang, ternyata akhirnya mati. "Tak sampai hati mau menagih ongkos," katanya lagi. Dan meski menyayangi binatang, ternyata ia tak memelihara apa-apa. Punya dua ekor ayam, "eh tahu-tahu dicuri orang," ia tertawa. DRH. Suwarso, 39 tahun, pun selalu tertawa meski tugasnya cukup berat. Menjadi dokter hewan di Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS) sejak 1979, ia selalu naik sepeda motor ke mana-mana. Maklum yang dikunjunginya para peternak yang sering tinggal jauh dari jalan aspal yang licin. Koperasi yang sukses itu beranggotakan 2.000 peternak yang memiliki 10.000 ekor sapi. "Tiap hari ada lapotan sapi yang sakit," katanya. Maka Suwarso seolah tak pernah berhenti, keliling kampung. Tak jarang ia menginap di rumah penduduk, karena kemalaman. Sekali dua, ia pun tidur di samping kandang sapi. Bahkan pernah ia begadang sampai pagi menunggui sapi betina yang hendak melahirkan. Meski harus bekerja keras, tamatan F-KH-UGM yang baru empat bulan diangkat sebagai pegawai negeri itu, merasa bahagia. Ketika mula-mula bekerja di KPBS, jumlah sapi para peternak hanya 4.000 ekor. Kini sudah 10.000 ekor -- berarti dalam waktu empat tahun jumlahnya naik 150%. Memang, Suwarso tak hanya mengobati sapi-sapi yang sakit. Ia juga mengajarkan cara merawat, mengembangbiakkan dan memelihara kesehatan ternak penghasil susu itu. Dan ia merasa, itulah hidupnya. Karena itu tawaran teman-teman seangkatannya yang kini hidup berkecukupan untuk pindah ke kota, ditolaknya. Bahkan pergi ke kota pun, tak sebulan sekali. "Biarlah saya hidup di sini, di tengah para peternak. Saya tak mungkin berpisah dengan mereka," ujarnya penuh tekad. Tekad Suwarso itu sekaligus menunjukkan bahwa masih ada dokter hewan yang mau tinggal di desa -- tak seperti kebanyakan: hanya mau tinggal di kota.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus