Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ikat pinggang dan tali kendali ...

Harga bbm naik, subsidi pemerintah dicabut. yang akan menanggung beban yaitu pegawai negeri. kenaikan gaji berkala pegawai tak memungkinkan penyesuaian terhadap inflasi. swasta dapat menarik modal dari luar.

15 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN RAPBN 1983/84 Pemerintah rupanya bertekad untuk menjaga agar pembangunan tidak menjadi kendur dalam tahun 1983/84 yang diperkirakan masih ada dalam cengkeraman resesi dunia. Terhadap 1982/83 pengeluaran untuk pembangunan dinaikkan sekitar 8%. Angka ini sebetulnya tidak terlalu besar, kalau diukur terhadap tingkat inflasi yang akan terjadi dalam tahun anggaran itu. Sebaliknya, ada kemungkinan besar bahwa tingkat pengeluaran anggaran tahun 1982/83 tidak akan tercapai karena kekurangan dalam penerimaan. Maklumlah, perkiraan mengenai penerimaan dari sektor minyak bumi meleset. Lagi pula berbagai pajak terhadap ekspor dan impor juga kurang masuk oleh karena resesi. Maka kalau angka-angka anggaran pembangunan tahun 1983/84 dibandingkan dengan tingkat realisasi tahun 1982/83, kenaikannya pasti melebihi 10%. Sebaliknya, tingkat anggaran pembangunan tahun 1983/84, yang Rp 9,2 trilyun itu, masih tergantung apakah sasaran penerimaan seluruhnya untuk tahun 1983/84, sebesar Rp 16,565 trilyun, betul dapat dicapai. Pos-pos rancangan penerimaan menunjukkan bahwa penerimaan dari minyak dan gas bumi diperkirakan turun sedikit sekali hanya 2,8% (dari angka anggaran 1982/83). Kita tahu bahwa baik harga internasional minyak bumi, maupun jumlah yang dapat diekspor, masih dapat turun dari tingkattingkat 1982. Maka hanya suatu penurunan kurs rupiah terhadap dollar dapat menyelamatkan jumlah penerimaan minyak bumi (dalam rupiah). Devaluasi uang rupiah, sementara pasar dunia masih lesu sekali, tidak akan membantu menggalakkan ekspor kita, akan tetapi depresiasi nilai rupiah akan sangat membantu meningkatkan penerimaan negara. Sebaliknya, kita tidak boleh lupa bahwa devaluasi akan menghasilkan suatu tingkat inflasi yang mengurangi nilai riil segala pengeluaran. Pemerintah rupanya merancangkan penerimaan dari kredit luar negeri untuk tahun 1983/84 yang jauh lebih besar daripada untuk tahun sebelumnya. Penerimaan ini diperkirakan naik hampir 50%. Ini rupanya merupakan siasat utama bagi pemerintah untuk mengamankan kepentingan pembangunan itu. Pemerintah agaknya mengharapkan disbursement kredit-kredit dari IGGI akan lebih besar (kemampuan absorbsi yang lebih besar?), dan pinjaman-pinjaman baru dari bank-bank asing Exim dan lain-lain yang juga lebih besar. Memang kedudukan berutang credit standing) Indonesia masih baik lagi pula dalam tahun-tahun bonanza minyak kedua, 1979-80, pemerintah tidak banyak turun untuk mencari utang di pasar modal internasional. Di bagian pengeluaran, pos yang terpenting adalah pengurangan subsidi BBM dari Rp 924 milyar untuk tahun 1982/ 83 menjadi Rp 698 milyar tahun 1983/84. Tapi jumlah subsidi untuk 1982/83 nyatanya jauh lebih besar, karena adanya kenaikan-kenaikan harga dalam rupiah dan kenaikan biaya dalam dollar pula. Maka pengurangan subsidi BBM sesungguhnya jauh lebih besar daripada selisih antara Rp 924 dan Rp 698 milyar. Kesimpulannya, uang yang mau dihemat dengan menaikkan harga BBM dipakai untuk mengamankan anggaran belanja pembangunan. Hal ini tidak tampak kalau kita membandingkan angka Pembiayaan Rupiah dari pos Pengeluaran Pembangunan (APBN 1982/83: Rp 6,78 trilyun RAPBN 1983/84: Rp 6,55 trilyun), yang seolah-olah mundur sedikit. Akan tetapi, kalau harga-harga BBM tidak dinaikkan maka pos ini dalam tahun 1983/84 harus sangat dikurangi dari anggaran tahun 1.982/83. Maka si pembeli BBM menjadi penanggung utama dari kelanjutan usaha pembangunan di sektor pemerintah. bersama dengan golongan-golongan masyarakat yang nanti harus menanggung beban depresiasi rupiah. Perkiraan penerimaan pajak langsung mundur dari tahun 1982/83, terutama karena perkiraan penerimaan pajak perseroan minyak yang mundur. Penerimaan pajak-pajak tidak langsung juga praktis tidak naik, akibat kemunduran dalam penerimaan pajak ekspor. Maka, kepentingan apa dan siapa, yang harus menanggung beban dari tekad pembangunan pemerintah? Pertama, pegawai negeri dan aparatur pemerintahan sendiri, yang ikat pinggangnya makin harus dikencangkan. Anggaran rutin hampir tidak dinaikkan. Belanja pegawai hanya naik 4,2%, yang hanya menampung sedikit keperluan ekspansi jumlah pegawai dan kenaikan gaji berkala, akan tetapi sama sekali tidak memungkinkan penyesuaian gaji terhadap inflasi. Seperti biasa, sebagian pegawai negeri masih dapat menikmati anggaran pembangunan, lewat pengeluaran-pengeluaran yang dapat di-DIP-kan. Tingkat inflasi tahun 1983/84 mungkin sekali paling sedikit 10%, oleh karena kenaikan harga BBM dan depresiasi kurs rupiah. Harus dijaga bahwa inflasi ini tidak akan melebihi suatu tingkat yang "tolerable" (misalnya 12%) untuk tidak menambah beban masyarakat. Dan penjagaan ini terutama tergantung dari efek inflator anggaran belanja dalam realisasinya. Maka golongan-golongan pendapatan tetap (rendah dan menengah) juga akan menanggung beban pembangunan 1983/84, oleh karena pendapatan riil mereka akan digerogoti oleh inflasi. Apakah artinya komitmen pemerintah untuk memegang prinsip anggaran belanja berimbang secara dinamis? Kalau sasaran penerimaan tidak akan tercapai, apakah berimbang dinamis berarti bahwa tingkat pengeluaran pembangunan akan dikurangi, oleh karena mengurangi tingkat pengeluaran rutin praktis tidak mungkin lagi? Ataukah pemerintah diamdiam akan mengizinkan suatu defisit? Menjalankan deficit financing dalam periode resesi tidak akan ada jeleknya, kalau dalam periode bonanza (sebelumnya) pemerintah telah mengumpulkan surplus. Tetapi tingkat inflasi harus dijaga agar tidak melebihi tingkat yang "tolerable" itu. Ruang gerak dari sektor swasta juga harus diperhatikan dalam menghitung konsekuensi anggaran belanja ini. Swasta juga dapat menyumbang kepada pembangunan dengan penanaman modalnya. Swasta juga dapat menarik modal dan kredit dari luar negeri, dengan demikian mengurangi beban pembangunan pemerintah. Akan tetapi untuk memancing arus modal dari luar negeri, dan dari dirinya sendiri, maka bank-bank pemerintah (juga bank-bank swasta dalam negeri) harus mampu membantu. Maka ceiling (batas tertinggi) ekspansi kredit untuk sektor swasta harus cukup longgar. Keperluan anggaran belanja pemerintah tidak boleh "preempt" (menghabiskan) perluasan likuiditas baru. Atau, dalam keadaan pancaroba ini bank-bank pemerintah harus diberi kelonggaran yang lebih besar untuk membantu sektor swasta, artinya untuk menarik dana-dana lain dan untuk meminjamkannya dengan tingkat bunga yang lebih realistis. Bank-bank pemerintah ini sudah menanggung beban berat dalam pelaksanaan program kredit, artinya kredit kecil untuk pemerataan dan kredit ekspor yang sangat murah itu. Apakah kredit nonprogram juga dapat diperluas?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus