DENGAN RAPBN 1983/84 Pemerintah rupanya bertekad untuk menjaga
agar pembangunan tidak menjadi kendur dalam tahun 1983/84 yang
diperkirakan masih ada dalam cengkeraman resesi dunia. Terhadap
1982/83 pengeluaran untuk pembangunan dinaikkan sekitar 8%.
Angka ini sebetulnya tidak terlalu besar, kalau diukur terhadap
tingkat inflasi yang akan terjadi dalam tahun anggaran itu.
Sebaliknya, ada kemungkinan besar bahwa tingkat pengeluaran
anggaran tahun 1982/83 tidak akan tercapai karena kekurangan
dalam penerimaan.
Maklumlah, perkiraan mengenai penerimaan dari sektor minyak bumi
meleset. Lagi pula berbagai pajak terhadap ekspor dan impor juga
kurang masuk oleh karena resesi. Maka kalau angka-angka anggaran
pembangunan tahun 1983/84 dibandingkan dengan tingkat realisasi
tahun 1982/83, kenaikannya pasti melebihi 10%.
Sebaliknya, tingkat anggaran pembangunan tahun 1983/84, yang Rp
9,2 trilyun itu, masih tergantung apakah sasaran penerimaan
seluruhnya untuk tahun 1983/84, sebesar Rp 16,565 trilyun, betul
dapat dicapai.
Pos-pos rancangan penerimaan menunjukkan bahwa penerimaan dari
minyak dan gas bumi diperkirakan turun sedikit sekali hanya 2,8%
(dari angka anggaran 1982/83). Kita tahu bahwa baik harga
internasional minyak bumi, maupun jumlah yang dapat diekspor,
masih dapat turun dari tingkattingkat 1982. Maka hanya suatu
penurunan kurs rupiah terhadap dollar dapat menyelamatkan jumlah
penerimaan minyak bumi (dalam rupiah).
Devaluasi uang rupiah, sementara pasar dunia masih lesu sekali,
tidak akan membantu menggalakkan ekspor kita, akan tetapi
depresiasi nilai rupiah akan sangat membantu meningkatkan
penerimaan negara. Sebaliknya, kita tidak boleh lupa bahwa
devaluasi akan menghasilkan suatu tingkat inflasi yang
mengurangi nilai riil segala pengeluaran.
Pemerintah rupanya merancangkan penerimaan dari kredit luar
negeri untuk tahun 1983/84 yang jauh lebih besar daripada untuk
tahun sebelumnya. Penerimaan ini diperkirakan naik hampir 50%.
Ini rupanya merupakan siasat utama bagi pemerintah untuk
mengamankan kepentingan pembangunan itu. Pemerintah agaknya
mengharapkan disbursement kredit-kredit dari IGGI akan lebih
besar (kemampuan absorbsi yang lebih besar?), dan
pinjaman-pinjaman baru dari bank-bank asing Exim dan lain-lain
yang juga lebih besar. Memang kedudukan berutang credit
standing) Indonesia masih baik lagi pula dalam tahun-tahun
bonanza minyak kedua, 1979-80, pemerintah tidak banyak turun
untuk mencari utang di pasar modal internasional.
Di bagian pengeluaran, pos yang terpenting adalah pengurangan
subsidi BBM dari Rp 924 milyar untuk tahun 1982/ 83 menjadi Rp
698 milyar tahun 1983/84. Tapi jumlah subsidi untuk 1982/83
nyatanya jauh lebih besar, karena adanya kenaikan-kenaikan harga
dalam rupiah dan kenaikan biaya dalam dollar pula. Maka
pengurangan subsidi BBM sesungguhnya jauh lebih besar daripada
selisih antara Rp 924 dan Rp 698 milyar.
Kesimpulannya, uang yang mau dihemat dengan menaikkan harga BBM
dipakai untuk mengamankan anggaran belanja pembangunan. Hal ini
tidak tampak kalau kita membandingkan angka Pembiayaan Rupiah
dari pos Pengeluaran Pembangunan (APBN 1982/83: Rp 6,78 trilyun
RAPBN 1983/84: Rp 6,55 trilyun), yang seolah-olah mundur
sedikit. Akan tetapi, kalau harga-harga BBM tidak dinaikkan maka
pos ini dalam tahun 1983/84 harus sangat dikurangi dari anggaran
tahun 1.982/83.
Maka si pembeli BBM menjadi penanggung utama dari kelanjutan
usaha pembangunan di sektor pemerintah. bersama dengan
golongan-golongan masyarakat yang nanti harus menanggung beban
depresiasi rupiah. Perkiraan penerimaan pajak langsung mundur
dari tahun 1982/83, terutama karena perkiraan penerimaan pajak
perseroan minyak yang mundur. Penerimaan pajak-pajak tidak
langsung juga praktis tidak naik, akibat kemunduran dalam
penerimaan pajak ekspor.
Maka, kepentingan apa dan siapa, yang harus menanggung beban
dari tekad pembangunan pemerintah? Pertama, pegawai negeri dan
aparatur pemerintahan sendiri, yang ikat pinggangnya makin harus
dikencangkan. Anggaran rutin hampir tidak dinaikkan. Belanja
pegawai hanya naik 4,2%, yang hanya menampung sedikit keperluan
ekspansi jumlah pegawai dan kenaikan gaji berkala, akan tetapi
sama sekali tidak memungkinkan penyesuaian gaji terhadap
inflasi. Seperti biasa, sebagian pegawai negeri masih dapat
menikmati anggaran pembangunan, lewat pengeluaran-pengeluaran
yang dapat di-DIP-kan.
Tingkat inflasi tahun 1983/84 mungkin sekali paling sedikit 10%,
oleh karena kenaikan harga BBM dan depresiasi kurs rupiah. Harus
dijaga bahwa inflasi ini tidak akan melebihi suatu tingkat yang
"tolerable" (misalnya 12%) untuk tidak menambah beban
masyarakat. Dan penjagaan ini terutama tergantung dari efek
inflator anggaran belanja dalam realisasinya. Maka
golongan-golongan pendapatan tetap (rendah dan menengah) juga
akan menanggung beban pembangunan 1983/84, oleh karena
pendapatan riil mereka akan digerogoti oleh inflasi.
Apakah artinya komitmen pemerintah untuk memegang prinsip
anggaran belanja berimbang secara dinamis? Kalau sasaran
penerimaan tidak akan tercapai, apakah berimbang dinamis berarti
bahwa tingkat pengeluaran pembangunan akan dikurangi, oleh
karena mengurangi tingkat pengeluaran rutin praktis tidak
mungkin lagi? Ataukah pemerintah diamdiam akan mengizinkan suatu
defisit? Menjalankan deficit financing dalam periode resesi
tidak akan ada jeleknya, kalau dalam periode bonanza
(sebelumnya) pemerintah telah mengumpulkan surplus. Tetapi
tingkat inflasi harus dijaga agar tidak melebihi tingkat yang
"tolerable" itu.
Ruang gerak dari sektor swasta juga harus diperhatikan dalam
menghitung konsekuensi anggaran belanja ini. Swasta juga dapat
menyumbang kepada pembangunan dengan penanaman modalnya. Swasta
juga dapat menarik modal dan kredit dari luar negeri, dengan
demikian mengurangi beban pembangunan pemerintah. Akan tetapi
untuk memancing arus modal dari luar negeri, dan dari dirinya
sendiri, maka bank-bank pemerintah (juga bank-bank swasta dalam
negeri) harus mampu membantu. Maka ceiling (batas tertinggi)
ekspansi kredit untuk sektor swasta harus cukup longgar.
Keperluan anggaran belanja pemerintah tidak boleh "preempt"
(menghabiskan) perluasan likuiditas baru. Atau, dalam keadaan
pancaroba ini bank-bank pemerintah harus diberi kelonggaran yang
lebih besar untuk membantu sektor swasta, artinya untuk menarik
dana-dana lain dan untuk meminjamkannya dengan tingkat bunga
yang lebih realistis. Bank-bank pemerintah ini sudah menanggung
beban berat dalam pelaksanaan program kredit, artinya kredit
kecil untuk pemerataan dan kredit ekspor yang sangat murah itu.
Apakah kredit nonprogram juga dapat diperluas?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini