TAHUN ini yang tak naik mungkin cuma harga pegawai negeri.
Belanja pegawai yang pernah mendaki curam, kini dicoba
dikekan (lihat grafik). Mengingat keadaan ini sudah berlaku
sejak tahun lalu, keadaan pegawai negeri -- secara teoritis --
payah sekali.
Namun mereka toh bertahan hidup. Berbagai cara ditempuh untuk
mencari tambahan penghasilan. Kardi, 52 tahun, pegawai
Perusahaan Air Minum (PAM) DKI menjadi puyeng dengan gaji Rp
70.000 sebulan. Untuk menghidupi 10 jiwa -- dua istri, lima anak
dan tiga cucu -- ia membuka warung nasi dan kebutuhan
sehari-hari. Kalau nasib lagi mujur, sehari ia bisa memetik
untung Rp 5.000. Rezeki juga sering datang bila ada undangan
tetangganya untuk membetulkan pompa yang lagi "ngadat" (rusak).
Usaha mencari penghasilan ekstra tentunya agak lain dengan
Soetyanto (bukan nama sebenarnya), karyawan Setjen Departemen
Keuangan. Sarjana ilmu administrasi ini sebulan menerima gaji
resmi Rp 60.000. Tapi ia beruntung bisa mendapat tunjangan
khusus pembinaan keuangan negara Rp 90.000, honor proyek
antardepartemen Rp 35.000, ditambah honor tim kerja proyek
departemennya Rp 60.000 setiap bulan. Dengan gaji istrinya yang
bekerja pada sebuah perusahaan milik Pemda DKI sebesar Rp
150.000, pegawai golongan III-A itu hidup kecukupan. Sebulan
sekali keluarga dengan 2 anak itu bisa bersantai di Putri Duyung
Ancol selama dua malam.
Bagi yang cekatan membuat proyek seorang paling sedikit bisa
mendapat tambahan penghasilan Rp 25.000. Bahkan sering mereka
menciptakan proyek yang sebenarnya tidak perlu ada. "Kesempatan
terbuka dan kita memang butuh uang," kata seorang kepala bagian
Ditjen Bina Marga, Departemen PU. Namun dalam masa prihatin ini,
nampaknya peluang itu semakin sempit. "DIP proyek yang tidak
mendesak apalagi tidak perlu akan dicoret," kata Wakil Ketua
Bappenas J.B. Soemarlin kepada TEMPO.
Kecuali mengetatkan DIP (daftar isian proyek), pejabat eselon I
dan II juga dilarang menjadi pimpinan proyek. "Mereka hanya
menjadi pembina dan pengawas," katanya. Yang akan diserahi
memimpin proyek ialah pejabat eselon III ke bawah. Agaknya
langkah ini ditempuh untuk mengoreksi keadaan sebelumnya ketika
kontrol atas proyek sedikit terbengkalai. "Kalau dirjen sekjen
menjadi pimpinan proyek, lantas siapa yang mengawasi? " kata
Menteri PAN Soemarlin.
Kampanye "hati-hati" menggunakan anggaran yang dilancarkan
pemerintah itu nampaknya juga akan semakin menggerogoti kantung
pegawai negeri. Kecuali tidak akan mampu membeli mobil baru,
pemerintah juga akan menjual mobil dinas kepada pejabat yang
memakainya secara mencicil. Biaya perawatan dan minyak tidak
ditanggung negara.
Dari biaya perawatan dan bensin saja, pemerintah bisa berhemat
banyak. Departemen Dalam Negeri, misalnya, kini mempunyai 388
mobil dan 557 sepeda motor. Anggaran bensin dan perawatan tiap
mobil Rp 900.000 dan sepeda motor Rp 180.000 setahun. Jumlah
seluruhnya -- termasuk bis, truk dan angkutan umum yang tidak
dijual -- sebesar Rp 440 juta atau hampir tiga kali -- bantuan
Inpres bagi Daerah Tingkat II (Rp 160 juta). Pemerintah DKI
Jakarta memiliki 6.902 kendaraan dinas yang dibagikan kepada
pegawainya, terdiri 751 sedan, 1.787 jeep dan 4.364 sepeda
motor. Biaya perawatan dan minyak tiap tahun sekitar Rp 3 milyar
atau sepertiga lebih anggaran Inpres Daerah Tingkat I (Rp 9
milyar yang didrop dari pusat.
Kecuali berhemat, pegawai negeri juga diajak bekerja keras.
Kegiatan seperti rapat kerja (raker), seminar dan lain-lain
dibatasi. Wakil Gubernur Kalimantan Selatan pernah
mengungkapkan, berbagal kegiatan serupa itu sangat menghambat
tugas yang harus dilaksanakan pejabat daerah. "Tidak didatangi,
ini perintah. Dihadiri, tugas-tugas di daerah menjadi kurang
semestinya," kata H.M. Said di depan Komisi APBN DPR beberapa
waktu lalu.
Berapa kali dan besar biaya raker, seminar dan simposium itu,
ternyata tidak semua departemen mencatatnya. Rata-rata tiap
departemen mengadakan raker sekali setahun menjelang,
pelaksanaan APBN. Ini kemudian diikuti eselon di bawahnya sampai
tingkat daerah. Menjelang akhir tahun anggaran, masih ada lagi
musim raker dan seminar, sekedar untuk "mengecilkan" Siap (Sisa
Anggaran Pembangunan).
Departemen PU punya kebiasaan menyelenggarakan raker 2 kali
setahun, untuk menyusun dan mengevaluasi rencana program. Tahun
lalu, departemen itu 3 kali seminar mengenai sanitasi,
persungaian dan jalan yang disponsori Bank Dunia, dan tentang
pertanahan kota, dibantu Depdagri. "Seminar macam itu sangat
bermanfaat sebagai input pengetahuan baru," kata Soeroyo,
Kepala Humas PU.
Soal adanya ide baru yang muncul bisa saja terjadi. "Tapi,
setelah diamati, seminar-seminar yang gencar sejak awal 1970-an
itu, hasilnya ya itu-itu juga," kata Soemarlin. "Presiden pernah
memberikan petunjuk dalam suatu sidang kabinet bahwa yang
penting sekarang bukan raker dan seminar, tapi pelaksanaannya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini