Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Wajah yang tidak naik

Bagaimana nasib pegawai negeri tahun ini dan tahun depan ? gaji tetap, raker dipotong. tapi ternyata tak cukup catatan tentang besarnya ongkos raker ini.

15 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAHUN ini yang tak naik mungkin cuma harga pegawai negeri. Belanja pegawai yang pernah mendaki curam, kini dicoba dikekan (lihat grafik). Mengingat keadaan ini sudah berlaku sejak tahun lalu, keadaan pegawai negeri -- secara teoritis -- payah sekali. Namun mereka toh bertahan hidup. Berbagai cara ditempuh untuk mencari tambahan penghasilan. Kardi, 52 tahun, pegawai Perusahaan Air Minum (PAM) DKI menjadi puyeng dengan gaji Rp 70.000 sebulan. Untuk menghidupi 10 jiwa -- dua istri, lima anak dan tiga cucu -- ia membuka warung nasi dan kebutuhan sehari-hari. Kalau nasib lagi mujur, sehari ia bisa memetik untung Rp 5.000. Rezeki juga sering datang bila ada undangan tetangganya untuk membetulkan pompa yang lagi "ngadat" (rusak). Usaha mencari penghasilan ekstra tentunya agak lain dengan Soetyanto (bukan nama sebenarnya), karyawan Setjen Departemen Keuangan. Sarjana ilmu administrasi ini sebulan menerima gaji resmi Rp 60.000. Tapi ia beruntung bisa mendapat tunjangan khusus pembinaan keuangan negara Rp 90.000, honor proyek antardepartemen Rp 35.000, ditambah honor tim kerja proyek departemennya Rp 60.000 setiap bulan. Dengan gaji istrinya yang bekerja pada sebuah perusahaan milik Pemda DKI sebesar Rp 150.000, pegawai golongan III-A itu hidup kecukupan. Sebulan sekali keluarga dengan 2 anak itu bisa bersantai di Putri Duyung Ancol selama dua malam. Bagi yang cekatan membuat proyek seorang paling sedikit bisa mendapat tambahan penghasilan Rp 25.000. Bahkan sering mereka menciptakan proyek yang sebenarnya tidak perlu ada. "Kesempatan terbuka dan kita memang butuh uang," kata seorang kepala bagian Ditjen Bina Marga, Departemen PU. Namun dalam masa prihatin ini, nampaknya peluang itu semakin sempit. "DIP proyek yang tidak mendesak apalagi tidak perlu akan dicoret," kata Wakil Ketua Bappenas J.B. Soemarlin kepada TEMPO. Kecuali mengetatkan DIP (daftar isian proyek), pejabat eselon I dan II juga dilarang menjadi pimpinan proyek. "Mereka hanya menjadi pembina dan pengawas," katanya. Yang akan diserahi memimpin proyek ialah pejabat eselon III ke bawah. Agaknya langkah ini ditempuh untuk mengoreksi keadaan sebelumnya ketika kontrol atas proyek sedikit terbengkalai. "Kalau dirjen sekjen menjadi pimpinan proyek, lantas siapa yang mengawasi? " kata Menteri PAN Soemarlin. Kampanye "hati-hati" menggunakan anggaran yang dilancarkan pemerintah itu nampaknya juga akan semakin menggerogoti kantung pegawai negeri. Kecuali tidak akan mampu membeli mobil baru, pemerintah juga akan menjual mobil dinas kepada pejabat yang memakainya secara mencicil. Biaya perawatan dan minyak tidak ditanggung negara. Dari biaya perawatan dan bensin saja, pemerintah bisa berhemat banyak. Departemen Dalam Negeri, misalnya, kini mempunyai 388 mobil dan 557 sepeda motor. Anggaran bensin dan perawatan tiap mobil Rp 900.000 dan sepeda motor Rp 180.000 setahun. Jumlah seluruhnya -- termasuk bis, truk dan angkutan umum yang tidak dijual -- sebesar Rp 440 juta atau hampir tiga kali -- bantuan Inpres bagi Daerah Tingkat II (Rp 160 juta). Pemerintah DKI Jakarta memiliki 6.902 kendaraan dinas yang dibagikan kepada pegawainya, terdiri 751 sedan, 1.787 jeep dan 4.364 sepeda motor. Biaya perawatan dan minyak tiap tahun sekitar Rp 3 milyar atau sepertiga lebih anggaran Inpres Daerah Tingkat I (Rp 9 milyar yang didrop dari pusat. Kecuali berhemat, pegawai negeri juga diajak bekerja keras. Kegiatan seperti rapat kerja (raker), seminar dan lain-lain dibatasi. Wakil Gubernur Kalimantan Selatan pernah mengungkapkan, berbagal kegiatan serupa itu sangat menghambat tugas yang harus dilaksanakan pejabat daerah. "Tidak didatangi, ini perintah. Dihadiri, tugas-tugas di daerah menjadi kurang semestinya," kata H.M. Said di depan Komisi APBN DPR beberapa waktu lalu. Berapa kali dan besar biaya raker, seminar dan simposium itu, ternyata tidak semua departemen mencatatnya. Rata-rata tiap departemen mengadakan raker sekali setahun menjelang, pelaksanaan APBN. Ini kemudian diikuti eselon di bawahnya sampai tingkat daerah. Menjelang akhir tahun anggaran, masih ada lagi musim raker dan seminar, sekedar untuk "mengecilkan" Siap (Sisa Anggaran Pembangunan). Departemen PU punya kebiasaan menyelenggarakan raker 2 kali setahun, untuk menyusun dan mengevaluasi rencana program. Tahun lalu, departemen itu 3 kali seminar mengenai sanitasi, persungaian dan jalan yang disponsori Bank Dunia, dan tentang pertanahan kota, dibantu Depdagri. "Seminar macam itu sangat bermanfaat sebagai input pengetahuan baru," kata Soeroyo, Kepala Humas PU. Soal adanya ide baru yang muncul bisa saja terjadi. "Tapi, setelah diamati, seminar-seminar yang gencar sejak awal 1970-an itu, hasilnya ya itu-itu juga," kata Soemarlin. "Presiden pernah memberikan petunjuk dalam suatu sidang kabinet bahwa yang penting sekarang bukan raker dan seminar, tapi pelaksanaannya."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus