NY. Yayah Sofiah janda berusia 39 tahun, membuka lembaran tahun
1983 dengan penuh harapan. Kepala S.D Inpres Cimalaka ini, 15 km
dari Bandung, bersama empat anaknya sampai sekarang masih
menghuni rumah warisan suaminya. Jika terkabul, dia akan
mendapat sebuah rumah sederhana dari pemerintah dalam tahun
anggaran yang baru ini.
Pemerintah akan membangun 50 ribu rumah untuk kepala sekolah dan
para guru SD Inpres. Itu "untuk memberi ketenangan bekerja bagi
para pendidik anak-anak bangsa di daerah terpencil," kau
Presiden di DPR 6 Januari lalu. Tahun lalu pemerintah
menyediakan dana untuk membangun 20 ribu rumah untuk kepala
sekolah dan guru SD inpres Dan tahun ini, untuk menutup
kekurangan, pemerintah masih akan rnembangun 13 ribu lebih SD
Inpres.
Tahun lalu sudah disediakan anggaran untuk membangun 22.600 SD
Inres. Untuk itu, dalam tahun ini disediakan dana Rp 589
milyar, sama dengan tahun lalu, untuk membangun SD Inres, rumah
guru, pembelian buku baaan dan alat-alat olah raga.
Untuk program pemerataan, pemerintah juga memberikan dana Inpres
desa, Kabupaten, Daerah Tingkat I, Kesehatan, Penghijauan dan
Reboisasi, Pasar dan Penunjang jalan -- seluruhnya berjumlah Rp
1,4 milyar untuk tahun 83/84, naik 0,5% dari tahun lalu.
Sejak 82/83, sektor Pendidikan makin mendapat perhatian, dengan
disediakannya dana Rp 1.302 milyar. Sektor yang meliputi
pendidikan di berbagai departemen, terutama Departemen
Pendidikan, sejak tahun lalu naik pangkat menjadi prioritas No.
1 -- menggeser sektor Pertanian dan Pengairan (Rp 1,2 trilyun),
yang sepanjang Pelita II selalu paling atas. Sekalipun begitu,
kenaikan sektor Pendidikan tak lagi sehebat tahun sebelumnya,
tapi hanya naik Rp 27 milyar (2%).
Sektor Perhubungan dan Pariwisata juga naik dengan 19%, menjadi
Rp 1.307 milyar. Itu tampaknya disengaja untuk mendorong
industri pariwisata. Kabarnya adalah Presiden yang amat terkesan
ketika berkunjung ke Spanyol bulan Oktober lalu. Anggota MEE
yang tergolong paling "miskin" itu, pandai menghimpun devisa
dari arus turis yang masuk. Setiap tahun jumlah turis yang
berlibur di Spanyol tercatat dua kali dari jumlah penduduknya
yang 40 juta.
Adapun sektor Pertanian, sokoguru Orde Baru, masih mendapat dana
sebanyak Rp 1.323 milyar, naik 5%. Selain untuk meningkatkan
produksi padi, dengan tetap menyediakan subsidi pupuk,
pemerintah nampaknya ingin memperbaiki taraf hidup daerah
pedesaan. Sedang sektor Pertambangan dan Energi naik 18%,
menjadi Rp 1.116 milyar.
Kenaikan empat besar itu sesungguhnya tak seberapa, jika tingkat
inflasi benar mencapai 12% dalam tahun ini, dan kurs rupiah
makin mengalami depresiasi terhadap dollar. Maka proyek-proyek
Inpres yang dibiayai dengan rupiah diduga terpengaruh. Kenaikan
BBM pekan lalu, misalnya, yang sebelumnya sudah didahului
kenaikan harga semen dan beberapa bahan bangunan lain, pasti
akan membuat biaya konstruksi makin mahal.
Menteri PU Purnomosidi sudah mengeluarkan perintah, agar
harga-harga kontrak yang sudah ditandatangani tak dinaikkan
sesuai dengan meningkatnya harga BBM. Para rekanan hanya
dibolehIkan melakukan optimasi, yakni mengurangi segi keindahan
dan kenyamanan suatu bangunan, tanpa mengurangi kualitas. Suatu
kelonggaran yang di mata para pengusaha, tak berarti banyak.
Bisa dipastikan dalam waktu dekat ini akan ada sejumlah
pengusaha yang berteriak kesakitan, atau menyatakan gugur alias
bangkrut.
Apakah instruksi menteri itu juga berlaku buat para rekanan
bangunan Inpres, agaknya begitu. Bahkan ada yang mengakui,
terpaksa melakukan suatu pekerjaan di bawah mutu, demi menekan
kerugian yang lebih besar. Itu anura lain terjadi di Sumatcra
Utara, dalam pembangunan sebuah jalan. Masih di Sum-Ut, para
rekanan kecil seperti Bachtiar, Direktur U.D. Citra di Medan
juga sedang mengerang, setelah banjir merusak bagian jalan yang
sedang dikerjakannya. Naas, bagi Bachtiar, karena Pemda Sum-Ut,
menurut dia, tak mau tahu tentang risiko. "Inilah antara lain
yang mendorong para pemborong untuk mengerjakan proyek yang asal
jadi," katanya.
Selain godaan musim, seperti banjir, ada pula godaan lain:
pungli. Sejumlah pemborong kecil di Medan yang ditemui wartawan
TEMPO secara terus terang mengakui telah menyediakan apa yang
mereka sebut "dana taktis" guna memperlancar pekerjaan. Itu
biasa. D. Muchli, Direktur PT Trisara, rekanan Perum Telkom,
misalnya, menyediakan dana taktis sebesar 5% dari biaya proyek
untuk yang besar. "Prinsip saya, selama proyek masih
menguntungkan, dan permintaan masih masuk akal, akan saya
layani," katanya.
Di Sumatera Utara, kata Bachtiar, uang pelicin itu berkisar
10-15% dari nilai proyek. Pendeknya, sambung Syahrun Isa, Wakil
Ketua Kadin Sum-Ut, tak ada pemborong di situ yang luput dari
pungli. Dan yang meminta pungli itu pun, ujar Ny. Lia Dhalia,
Direktur PT Putera Sukapura, Bandung, rekanan Dep. P & K, dari
tukang tik sampai kepala bagian.
Pungli, umpaknya akan kumat lagi Pembangunan Puskesmas Pembantu
untuk 1983/84, misalnya, hanya berjumlah 1.250 gedung --
sebelumnya 2.000 gedung. Kompetisi memperebutkan proyek itu, di
tengah anggaran yang semakin ketat, akan semakin terasa.
"Kesempatan memperoleh proyek pun akan semakin kecil," ujar A.
Halim, 54 tahun, Direktur CV Bhakti Rahayu, Yogya. Dia pernah
mengerjakan pembangunan gedung Yaketunis milik Dinas Sosial
Yogya seharga Rp 4 juta.
Tapi mudah-mudahan pungli semacam itu tak akan mengenai Proyek
Inpres Desa, yang jumlah bantuannya per desa untuk tahun
anggaran mendatang tetap Rp 1,25 juu. Secara keseluruhan Inpres
Desa ini naik dari Rp 88,4 milyar (1982/83) menjadi Rp 91,6
milyar (1983/84), karena jumlah desa yang akan dibantu memang
naik dari 65.127 menjadi 66.437 desa. Bantuan per desa itu,
sengaja tak dinaikkan volumenya untuk menjaga agar desa tidak
tergantung sekali pada bantuan pusat.
Di tengah terbaasnya anggaran pembangunan itu, pemerintah toh
tetap ingin melihat rakyat di pedesaan hidup sehat. Dalam upaya
itu tahun anggaran mendatang pemerintah akan membangun tambahan
94.350 Proyek Air Bersih Pedesaan, sebelumnya hanya 83.825.
Berkat proyek itulah, yang menelan biaya sekitar Rp 0,5 juta,
penduduk Desa Babakan Loa-Nyengseret, Bandung, kini bisa
menikmati air bersih, yang mengalir sejak dua tahun lalu.
Sumardi, kepala desanya, melarang penduduk memasang pipa dari
sumber air ke rumahnya.
Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen
(KMKP), selama 9 tahun (Desember 1973-September 1982) telah
mencapai Rp 2.065 milyar (meliputi 1,5 juta lebih pemohon). Ny.
Sumarni, 28 tahun, yang membuka warung ayam goreng di sudut Jl.
Soekarno-Hatta, Bandung, misalnya, adalah penerima KIK sebesar
Rp 2 juta yang sukses. "Dulu saya hanya menjual ayam goreng 10
ekor, sekarang jadi 30 ekor, omset tiap hari pun kini mencapai
Rp 300 ribu," katanya bangga.
Kebanggaan menerima KIK, juga dikemukakan Warizain Hidayat yang
menerima KIK dua kali -- Rp 5,5 juu (April 1982) dan Rp 4 juta
(akhir 1982). Warizain, yang kini memimpin CV Putera Harapan di
Surabaya, mampu menghasilkan meja tulis, lemari, dan
perlengkapan mebelair. Sukses serupa juga diperoleh Maaruf,
penjual majalah dan koran merangkap bisnis kendaraan bekas di
Tanjungpinang (Riau), yang memanfaatkan KIK (Rp 3 juta), dan
KMKP (Rp 3,5 juta). Tapi di masa resesi ini ia menyatakan "harus
hati-hati."
Fasilitas Kredit Kecil (KK) yang diselenggarakan sejak 1973
hingga Oktober 1982 sudah mencapai Rp 305 milyar, meliputi 3,2
juta pemohon. Untuk menjangkau golongan ekonomi lemah yang belum
dapat KIK, KMKP, dan KK terutama para pedagang kecil dan bakul
di desa serta kota -- pemerintah menyediakan Kredit Candak Kulak
(KCK). Sampai Oktober tahun lalu, yang memanfaatkan KCK
berjumlah 10 juta lebih pedagang, dengan nilai pinjaman Rp 108
milyar.
Mbah Wardi, 6 tahun, yang mengusahakan tempe di Tanjungpinang,
misalnya, tertolong betul dengan fasilitas KCK ini. Sudah 4 kali
dia memanfaatkan KCK, pertama diberi Rp 30 ribu, dan terakhir
(Desember 1982) sebesar Rp 50 ribu. Kini setiap hari dia bisa
merebus kedelai sebanyak 10 kg, sebelumnya hanya sekitar 3 kg.
"Tapi saya tak bisa membuat lebih dari 500 bungkus tempe setiap
hari karena sudah tua dan tak ada yang membantu," kata Mbah
Wardi.
Toh pengembalian KCK lewat Koperasi Unit Desa Bangun Maju,
Tanjungpinang Barat, belakangan ini cenderung seret. Dari dana
Rp 1 juta yang dikelola koperasi itu, Rp 800 ribu di antaranya
macet. "Macam-macam alasan mereka pening kepala mendengarnya,"
kata Suyatno, Ketua Bangun Maju. Karena itulah KCK tahun ini
penyalurannya untuk sementara dihentikan.
Bagaimana kelompok kecil ini menghadapi tahun suram 1983/84?
Belum jelas benar. Yang pasti kehidupan mereka yang
menggantungkan pada karet dan kopi, misalnya, akan semakin sulit
selama ekspor non-minyak itu belum juga membaik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini