Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Harapan buat si kecil

Para guru SD yang terpencil akan dapat rumah, penerima kredit kik banyak yang maju, tapi yang candak kulak terpaksa direm dulu. hanya para rekanan kecil yang menjerit dan merasa dikejar terus oleh pungli.

15 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NY. Yayah Sofiah janda berusia 39 tahun, membuka lembaran tahun 1983 dengan penuh harapan. Kepala S.D Inpres Cimalaka ini, 15 km dari Bandung, bersama empat anaknya sampai sekarang masih menghuni rumah warisan suaminya. Jika terkabul, dia akan mendapat sebuah rumah sederhana dari pemerintah dalam tahun anggaran yang baru ini. Pemerintah akan membangun 50 ribu rumah untuk kepala sekolah dan para guru SD Inpres. Itu "untuk memberi ketenangan bekerja bagi para pendidik anak-anak bangsa di daerah terpencil," kau Presiden di DPR 6 Januari lalu. Tahun lalu pemerintah menyediakan dana untuk membangun 20 ribu rumah untuk kepala sekolah dan guru SD inpres Dan tahun ini, untuk menutup kekurangan, pemerintah masih akan rnembangun 13 ribu lebih SD Inpres. Tahun lalu sudah disediakan anggaran untuk membangun 22.600 SD Inres. Untuk itu, dalam tahun ini disediakan dana Rp 589 milyar, sama dengan tahun lalu, untuk membangun SD Inres, rumah guru, pembelian buku baaan dan alat-alat olah raga. Untuk program pemerataan, pemerintah juga memberikan dana Inpres desa, Kabupaten, Daerah Tingkat I, Kesehatan, Penghijauan dan Reboisasi, Pasar dan Penunjang jalan -- seluruhnya berjumlah Rp 1,4 milyar untuk tahun 83/84, naik 0,5% dari tahun lalu. Sejak 82/83, sektor Pendidikan makin mendapat perhatian, dengan disediakannya dana Rp 1.302 milyar. Sektor yang meliputi pendidikan di berbagai departemen, terutama Departemen Pendidikan, sejak tahun lalu naik pangkat menjadi prioritas No. 1 -- menggeser sektor Pertanian dan Pengairan (Rp 1,2 trilyun), yang sepanjang Pelita II selalu paling atas. Sekalipun begitu, kenaikan sektor Pendidikan tak lagi sehebat tahun sebelumnya, tapi hanya naik Rp 27 milyar (2%). Sektor Perhubungan dan Pariwisata juga naik dengan 19%, menjadi Rp 1.307 milyar. Itu tampaknya disengaja untuk mendorong industri pariwisata. Kabarnya adalah Presiden yang amat terkesan ketika berkunjung ke Spanyol bulan Oktober lalu. Anggota MEE yang tergolong paling "miskin" itu, pandai menghimpun devisa dari arus turis yang masuk. Setiap tahun jumlah turis yang berlibur di Spanyol tercatat dua kali dari jumlah penduduknya yang 40 juta. Adapun sektor Pertanian, sokoguru Orde Baru, masih mendapat dana sebanyak Rp 1.323 milyar, naik 5%. Selain untuk meningkatkan produksi padi, dengan tetap menyediakan subsidi pupuk, pemerintah nampaknya ingin memperbaiki taraf hidup daerah pedesaan. Sedang sektor Pertambangan dan Energi naik 18%, menjadi Rp 1.116 milyar. Kenaikan empat besar itu sesungguhnya tak seberapa, jika tingkat inflasi benar mencapai 12% dalam tahun ini, dan kurs rupiah makin mengalami depresiasi terhadap dollar. Maka proyek-proyek Inpres yang dibiayai dengan rupiah diduga terpengaruh. Kenaikan BBM pekan lalu, misalnya, yang sebelumnya sudah didahului kenaikan harga semen dan beberapa bahan bangunan lain, pasti akan membuat biaya konstruksi makin mahal. Menteri PU Purnomosidi sudah mengeluarkan perintah, agar harga-harga kontrak yang sudah ditandatangani tak dinaikkan sesuai dengan meningkatnya harga BBM. Para rekanan hanya dibolehIkan melakukan optimasi, yakni mengurangi segi keindahan dan kenyamanan suatu bangunan, tanpa mengurangi kualitas. Suatu kelonggaran yang di mata para pengusaha, tak berarti banyak. Bisa dipastikan dalam waktu dekat ini akan ada sejumlah pengusaha yang berteriak kesakitan, atau menyatakan gugur alias bangkrut. Apakah instruksi menteri itu juga berlaku buat para rekanan bangunan Inpres, agaknya begitu. Bahkan ada yang mengakui, terpaksa melakukan suatu pekerjaan di bawah mutu, demi menekan kerugian yang lebih besar. Itu anura lain terjadi di Sumatcra Utara, dalam pembangunan sebuah jalan. Masih di Sum-Ut, para rekanan kecil seperti Bachtiar, Direktur U.D. Citra di Medan juga sedang mengerang, setelah banjir merusak bagian jalan yang sedang dikerjakannya. Naas, bagi Bachtiar, karena Pemda Sum-Ut, menurut dia, tak mau tahu tentang risiko. "Inilah antara lain yang mendorong para pemborong untuk mengerjakan proyek yang asal jadi," katanya. Selain godaan musim, seperti banjir, ada pula godaan lain: pungli. Sejumlah pemborong kecil di Medan yang ditemui wartawan TEMPO secara terus terang mengakui telah menyediakan apa yang mereka sebut "dana taktis" guna memperlancar pekerjaan. Itu biasa. D. Muchli, Direktur PT Trisara, rekanan Perum Telkom, misalnya, menyediakan dana taktis sebesar 5% dari biaya proyek untuk yang besar. "Prinsip saya, selama proyek masih menguntungkan, dan permintaan masih masuk akal, akan saya layani," katanya. Di Sumatera Utara, kata Bachtiar, uang pelicin itu berkisar 10-15% dari nilai proyek. Pendeknya, sambung Syahrun Isa, Wakil Ketua Kadin Sum-Ut, tak ada pemborong di situ yang luput dari pungli. Dan yang meminta pungli itu pun, ujar Ny. Lia Dhalia, Direktur PT Putera Sukapura, Bandung, rekanan Dep. P & K, dari tukang tik sampai kepala bagian. Pungli, umpaknya akan kumat lagi Pembangunan Puskesmas Pembantu untuk 1983/84, misalnya, hanya berjumlah 1.250 gedung -- sebelumnya 2.000 gedung. Kompetisi memperebutkan proyek itu, di tengah anggaran yang semakin ketat, akan semakin terasa. "Kesempatan memperoleh proyek pun akan semakin kecil," ujar A. Halim, 54 tahun, Direktur CV Bhakti Rahayu, Yogya. Dia pernah mengerjakan pembangunan gedung Yaketunis milik Dinas Sosial Yogya seharga Rp 4 juta. Tapi mudah-mudahan pungli semacam itu tak akan mengenai Proyek Inpres Desa, yang jumlah bantuannya per desa untuk tahun anggaran mendatang tetap Rp 1,25 juu. Secara keseluruhan Inpres Desa ini naik dari Rp 88,4 milyar (1982/83) menjadi Rp 91,6 milyar (1983/84), karena jumlah desa yang akan dibantu memang naik dari 65.127 menjadi 66.437 desa. Bantuan per desa itu, sengaja tak dinaikkan volumenya untuk menjaga agar desa tidak tergantung sekali pada bantuan pusat. Di tengah terbaasnya anggaran pembangunan itu, pemerintah toh tetap ingin melihat rakyat di pedesaan hidup sehat. Dalam upaya itu tahun anggaran mendatang pemerintah akan membangun tambahan 94.350 Proyek Air Bersih Pedesaan, sebelumnya hanya 83.825. Berkat proyek itulah, yang menelan biaya sekitar Rp 0,5 juta, penduduk Desa Babakan Loa-Nyengseret, Bandung, kini bisa menikmati air bersih, yang mengalir sejak dua tahun lalu. Sumardi, kepala desanya, melarang penduduk memasang pipa dari sumber air ke rumahnya. Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), selama 9 tahun (Desember 1973-September 1982) telah mencapai Rp 2.065 milyar (meliputi 1,5 juta lebih pemohon). Ny. Sumarni, 28 tahun, yang membuka warung ayam goreng di sudut Jl. Soekarno-Hatta, Bandung, misalnya, adalah penerima KIK sebesar Rp 2 juta yang sukses. "Dulu saya hanya menjual ayam goreng 10 ekor, sekarang jadi 30 ekor, omset tiap hari pun kini mencapai Rp 300 ribu," katanya bangga. Kebanggaan menerima KIK, juga dikemukakan Warizain Hidayat yang menerima KIK dua kali -- Rp 5,5 juu (April 1982) dan Rp 4 juta (akhir 1982). Warizain, yang kini memimpin CV Putera Harapan di Surabaya, mampu menghasilkan meja tulis, lemari, dan perlengkapan mebelair. Sukses serupa juga diperoleh Maaruf, penjual majalah dan koran merangkap bisnis kendaraan bekas di Tanjungpinang (Riau), yang memanfaatkan KIK (Rp 3 juta), dan KMKP (Rp 3,5 juta). Tapi di masa resesi ini ia menyatakan "harus hati-hati." Fasilitas Kredit Kecil (KK) yang diselenggarakan sejak 1973 hingga Oktober 1982 sudah mencapai Rp 305 milyar, meliputi 3,2 juta pemohon. Untuk menjangkau golongan ekonomi lemah yang belum dapat KIK, KMKP, dan KK terutama para pedagang kecil dan bakul di desa serta kota -- pemerintah menyediakan Kredit Candak Kulak (KCK). Sampai Oktober tahun lalu, yang memanfaatkan KCK berjumlah 10 juta lebih pedagang, dengan nilai pinjaman Rp 108 milyar. Mbah Wardi, 6 tahun, yang mengusahakan tempe di Tanjungpinang, misalnya, tertolong betul dengan fasilitas KCK ini. Sudah 4 kali dia memanfaatkan KCK, pertama diberi Rp 30 ribu, dan terakhir (Desember 1982) sebesar Rp 50 ribu. Kini setiap hari dia bisa merebus kedelai sebanyak 10 kg, sebelumnya hanya sekitar 3 kg. "Tapi saya tak bisa membuat lebih dari 500 bungkus tempe setiap hari karena sudah tua dan tak ada yang membantu," kata Mbah Wardi. Toh pengembalian KCK lewat Koperasi Unit Desa Bangun Maju, Tanjungpinang Barat, belakangan ini cenderung seret. Dari dana Rp 1 juta yang dikelola koperasi itu, Rp 800 ribu di antaranya macet. "Macam-macam alasan mereka pening kepala mendengarnya," kata Suyatno, Ketua Bangun Maju. Karena itulah KCK tahun ini penyalurannya untuk sementara dihentikan. Bagaimana kelompok kecil ini menghadapi tahun suram 1983/84? Belum jelas benar. Yang pasti kehidupan mereka yang menggantungkan pada karet dan kopi, misalnya, akan semakin sulit selama ekspor non-minyak itu belum juga membaik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus