Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JEMA panik. Bungsunya yang masih berusia 8 bulan berulang kali muntah dan buang air besar. Suci Indah, si bayi, juga mengalami kejang, sesekali batuk, dan napasnya- tersengal-sengal. Semula Jema me-re-meh-kan penyakit yang dianggapnya biasa datang pada bayi, apalagi suhu Suci normal saja. Tapi, setelah pengobatan ke puskesmas tak membuahkan hasil dan si bayi kian lemas, Suci pun dibopong ke rumah sakit.
Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, infus dan antibiotik segera meng-alir di tubuh Suci. Untuk memperlancar napasnya, diberikan bantuan oksigen, sedot lendir, dan terapi uap. Dengan rangkaian pengobatan seperti itu, perlu waktu sepekan agar penyakitnya bisa ter-usir. ”Muntahnya berhenti dan napasnya tidak sesak lagi,” kata Jema, warga kawasan padat Manggarai Utara I, Jakarta Selatan, menceritakan kejadian yang menimpa anaknya dua bulan lalu.
Untunglah, Jema cepat tanggap. Meski- ekonomi rumah tangganya rombeng—ia tinggal di rumah kontrakan berukuran delapan meter persegi, anak-anaknya membantu hidup mereka sehari-hari dengan mengamen di pinggir jalan—ia tak ragu membawa Suci, anaknya yang ke-11, ke rumah sakit. Ia tidak tahu apa penyakit anaknya dan apa yang harus ia lakukan bila penyakit itu datang lagi. Wanita paruh baya itu baru mengangguk- saat tetangganya nimbrung bicara, -”Dokter bilang, Suci mengalami infeksi paru.”
Dalam dunia kedokteran, infeksi paru akut lazim disebut pneumonia. Pada pengidap pneumonia, rongga alveolus (gelembung paru-paru) terisi cairan sehingga oksigen tak bisa masuk ke aliran darah. Walhasil, terjadi kesukaran bernapas. Dalam kondisi normal, seharusnya rongga tersebut berisi udara.
Kini Suci, bayi berpipi gembil itu, sudah sehat kembali. Ia beruntung penyakitnya segera diobati. Di Indonesia, pneumonia paling sering menyebabkan kematian pada bayi dan anak usia di bawah lima tahun (balita). ”Setiap hari, hampir 300 balita mati akibat pneumonia,” kata dr Mardjanis Said dalam pidato pengukuhan guru besar dalam ilmu kesehatan anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, akhir April lalu.
Angka ini bukan tanpa dasar. Mardja-nis merujuk survei kesehatan rumah tangga Departemen Kesehatan pada 2001, yang menyebut kematian akibat- pneumonia pada balita adalah 5 per 1.000 -balita dalam setahun. Dengan jumlah- balita yang menurut Survei Statistik Ekonomi Nasional mencapai 20 juta, berarti ada 100 ribu balita setahun yang menjadi korban pneumonia. Itu sama dengan 300 balita sehari atau satu balita yang -tercabut nyawanya setiap lima menit. Angka- yang sungguh besar.
Ironisnya, kematian balita sebanyak- itu luput dari perhatian publik. Mardjanis tak heran dengan kurangnya kepedulian atas pneumonia. Penyakit itu memang -belum banyak dikenal masyarakat, apalagi di pedesaan. Padahal korban pneumonia banyak ditemukan di pelosok pedesaan.
”Bisa dimengerti bila kalangan ahli menyebut penyakit ini sebagai the forgotten pandemic alias wabah raya yang terlupakan,” kata Mardjanis. Melihat besarnya korban, pneumonia pun dinobatkan sebagai pembunuh balita nomor -wahid.
Penyebab utama terjadinya pneumonia- adalah bakteri. Ada tiga jenis bakteri yang paling sering ditemukan: Streptococcus pneumoniae atau pneumokokus, hemophilus influenzae type b (Hib), dan Staphylococcus aureus (S. Aureus). Di Indo-nesia, diperkirakan 75 persen pneumonia pada balita disebabkan pneumokokus dan Hib.
Menurut rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO), gejala sederhana untuk mendeteksi pneumonia secara dini adalah bila anak balita batuk dan sulit bernapas. Napasnya cepat dan ia terlihat- sesak napas. Napas cepat pada bayi berusia kurang dari dua bulan terjadi jika napasnya lebih dari 60 kali per menit. Sementara, pada bayi usia dua bulan hingga satu tahun, napas cepat terjadi jika ia menarik napas lebih dari 50 kali per menit. Khusus anak di atas satu tahun, bila napasnya lebih dari 40 kali per menit, masuk kategori nafas cepat.
Untuk mengukur kecepatan napas, petugas kesehatan biasa menggunakan alat berupa soundtimer. Sebagai pengganti, bisa gunakan arloji dan jam din-ding. ”Cuma, tak gampang menghitung napas dengan jam,” kata Mardjanis.
Bila pneumonia menjadi semakin berat, balita pengidapnya akan mengalami sesak napas. Tandanya, setiap kali ia menarik napas bakal terlihat cekungan di dinding dada bagian bawah. Bila gejala-gejala awal yang sangat penting itu bisa diketahui semua orang, terutama ibu yang memiliki balita, deteksi dan peng-obatan dini bisa dilakukan.
Sebenarnya, ujar Mardjanis, banyak kasus pneumonia yang dapat diobati secara efektif dengan antibiotik. Sebalik-nya, bila pengobatan terlambat, kematian dapat sangat cepat terjadi pada saat awal terkena infeksi. Balita yang meng-idap pneumonia ringan dengan gejala batuk dan napas cepat tak perlu dirawat di rumah sakit. Cukup minum antibiotik seperti kotrimoksazol atau amoksisilin.
Jika pneumonia sudah ditandai napas sesak, apa boleh buat, perawatan di rumah sakit tak bisa dihindarkan. Pasien bakal mendapatkan oksigen dan antibio-tik dengan suntikan. Karena itu, ”Penge-nalan dini dan pemberian antibiotik secepatnya merupakan kunci penanggulangan pneumonia pada balita,” kata Mardjanis.
Departemen Kesehatan menyebut sejumlah faktor risiko yang meningkatkan angka kematian akibat pneumonia. Antara lain, umur kurang dari dua bulan, berat badan lahir rendah, kurang gizi, dan rendahnya tingkat sosio-ekonomi, tingkat pendidikan ibu, dan tingkat jangkauan pelayanan kesehatan. Selain itu, faktor lain yang berpengaruh adalah kepadatan tempat tinggal, imunisasi yang tidak memadai, dan menderita penyakit kronis.
Pemerintah sebenarnya sudah melakukan upaya untuk memberantas pneumonia sejak 1984. Saat itu Departemen Kese-hat-an membentuk Subdirektorat Infeksi Sa-luran Pernapasan Akut (ISPA)—pneumo-nia masuk di sini. Lembaga ini ber-ada di lingkungan Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Pe-nyehatan Lingkungan Permukiman. Sa-yang, hingga sekarang upaya itu belum mem-berikan hasil yang memuaskan untuk menekan laju kematian akibat pneumo-nia.
Penyebabnya, ujar Fonny J. Silfanus, Kepala Subdirektorat ISPA, ada sejumlah hal. Antara lain, perhatian pemerintah daerah terhadap penyakit ini masih kecil. Mereka masih memprioritaskan penanganan penyakit lain seperti campak, demam berdarah, dan diare. Karena bukan prioritas, dana untuk penanganan pneumonia amat kecil. ”Pneumonia menjadi the forgotten disease,” katanya.
Faktor lain, belum semua petugas kese-hatan di lapangan mendapat pelatihan khusus sehingga bisa mendeteksi pneumonia secara dini. Buntutnya, pasien sering terlambat ditangani sehingga angka kematiannya tinggi. Soal persediaan obat antibiotik seperti kotrimoksazol, Fonny mengaku tak ada masalah.
Untuk menambal kelemahan yang ada, Departemen Kesehatan menetapkan penanggulangan pneumonia sebagai salah satu program prioritas nasional. Dengan cara itu, kepedulian pemerintah daerah terhadap pneumonia bisa digenjot. Tentu saja, pelatihan pendeteksian dini tak boleh dilupakan. Bila upaya itu berhasil, ”Pada akhir 2009 kita harapkan kematian balita akibat pneumonia bisa turun menjadi dua per 1.000 balita,” ujar Fonny.
Ada resep sederhana yang disodorkan Fonny dan jajarannya agar balita tak terjangkit pneumonia. Racikannya adalah melaksanakan imunisasi campak, difteri, pertusis (biang ketiga penyakit ini bisa juga menyebabkan pneumonia), membuat ventilasi dan sirkulasi udara bersih yang memadai, serta mengurangi- polusi udara dalam rumah—termasuk asap -rokok. Tak boleh lupa, berupaya memperbaiki status gizi, memberikan air susu ibu eksklusif, dan menjauhkan balita dari penderita batuk.
Memang ada vaksin Hib dan pneumokokus untuk memberantas penyakit ini. Namun, menurut Fonny dan Mardjanis, upaya itu sulit diterapkan secara massal karena harganya masih sangat mahal. Sekadar contoh, sekali pemberian vaksin pneumokokus, butuh biaya sekitar Rp 800 ribu. Padahal, hingga usia satu tahun, bayi mesti divaksin sampai empat kali. ”Kita masih belum mampu,” kata Mardjanis.
Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo