Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Yang Gigih Melawan Lupus

Pengidap penyakit lupus terus meningkat. Pemahaman terhadap penyakit dan sikap pantang menyerah penting agar mampu bertahan.

15 Mei 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anisa, nama samaran, duduk di bangsal rumah sakit sambil men-dekap guling. Ruam kemerahan mewarnai ke dua pipinya. Bentuknya mirip kupu-kupu dengan sayap melintang. Bibirnya juga meme-rah dan pecah-pecah.

Sudah sepekan gadis berusia 18 tahun itu mendekam di rumah sakit. Penyakit lupusnya kambuh. Semangatnya patah. Senyumnya baru merekah ketika seorang wanita ayu bertubuh tinggi merayunya. ”Anis, ingat, kamu sendiri yang bisa membuat supaya kamu cepat keluar dari sini.”

Tiara Savitri, si semampai itu, t-erus mengajak bicara hingga gundah di w-a-jah Anisa sedikit terangkat. Sebuah usa-ha yang tak mudah. Tiara, relawan penyakit lupus itu baru bisa pulang se-lepas tengah malam. Namun, wan-i-ta ber-usia 38 tahun itu tak mengeluh. De-lapan tahun berkiprah di bidang lu-pus, Tiara ta-hu betul kehangatan se-perti i-ni-lah yang diperlukan para pasien lupus.

Ia paham karena penyakit itu pernah bercokol di tubuhnya mulai 1987. Lewat perjuangan yang berat, juara harapan dua None Jakarta 1987 itu mampu bertahan. Bahkan, menilik penampilannya yang segar dan energik, tak ada yang men-duga Tiara adalah odapus (orang dengan lupus).

Menurut Profesor Zubairi Djoerban, ahli penyakit dalam FKUI-RSCM, lupus atau Systemic Lupus Erythemato-sus adalah penyakit otoimun alias menye-rang sistem daya tahan. Tubuh pen-derita lupus memproduksi antibodi berlebihan, yang sayangnya menyerang sel atau organ tubuh sendiri. Alhasil, anti-bodi merusak organ tubuh sendi-ri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Padahal, antibodi mestinya melawan bakteri atau virus yang masuk ke tubuh.

Lupus dalam bahasa Latin ber-arti se-rigala. Penyakit ini dinamakan lupus karena ruam kemerahan di pipi dan se-kitar hidung pasien menyerupai tanda di wajah serigala. Jumlah penderitanya di seluruh dunia terus bertambah. Rabu pekan lalu, hari lupus internasional diperingati di seluruh dunia.

Di Indonesia, odapus berkumpul da-lam beberapa yayasan, seperti Yayasan Lupus Indonesia (YLI) yang didirikan Tiara pada 1998 dan Yayasan Syamsi Dhuha yang didirikan Dian Syarief, pengidap lupus di Bandung, Mei 2004. Anggota YLI kini 7.000 orang, sedang di Syamsi Dhuha anggotanya melonjak dari 10 menjadi 160 orang dalam tempo dua tahun.

Jumlah pengidap lupus di seluruh Indonesia ditaksir sekitar 1,5 juta orang. ”Itu perkiraan minimal,” kata Zubairi, yang sejak akhir 1980-an sudah mena-ngani penyakit lupus. Di kalangan medis, puncak penelitian penyakit ini terjadi di AS pada 1948 saat Dr. Malcolm Hargraves melaporkan lebih terperinci mengenai adanya sel lupus erythema-tosus.

Statistik menyebutkan, 90 persen lupus menyerang wanita. Usia pasien ber-kisar 15-44 tahun, meski tak tertutup orang yang lebih muda atau tua juga terserang. Hingga kini, penyebabnya belum diketahui. Faktor genetik diduga berperan penting dalam lupus, dan faktor lingkungan sebagai pencetus. Misalnya, sinar matahari, stres, hormon, infeksi, dan obat-obatan.

Lupus biasa diobati dengan obat steroid. Namun, para ahli terus berupaya menemukan obat baru untuk menekan perkembangannya, di antaranya abatacept, abetimus sodium, rituximab, belibumab, dan lain-lain.

Problem terberat yang dihadapi penderita lupus adalah sulitnya para dokter menemukan penyakit tersebut. L-upus punya sejuta wajah. Gejalanya bisa menyerupai banyak penyakit lain, se-perti tuberkulosis, rematik, atau d-emam ber-darah. Hal ini sempat dialami Tia-ra. Sebelum Zubairi menemukan lupus, dok-ter sebelumnya menyebut Tiara m-engidap sifilis, jenis penyakit yang banyak di-derita pekerja seks. Hati Tiara, saat itu berusia 18 tahun dan belum menikah, benar-benar terpukul dan hancur.

”Rasanya mau menangis,” katanya. Adik aktor Donny Damara ini percaya banyak rekan senasib yang didiagnosis secara salah. Gejala yang muncul ber-beda satu dengan yang lain tergantung organ tubuh yang terserang.

Tiara mengalami berbagai gejala, se-perti demam, ruam merah di kulit, rambut rontok, kulit mengelupas dan bersisik bak ular. Ia menyebut kondisinya saat itu seperti monster. Wanita kelahiran Beograd, dulu ibu kota Yugoslavia, itu bahkan mengalami dua kali koma. Kematian sudah mengintip di ambang pintu.

Sempat membaik, lupusnya kembali nongol pada 1996. Ginjalnya bocor sehingga bobotnya merangkak jadi 120 kilogram. Ia hanya bisa telentang di ranjang. Tiga kali calon buah hatinya harus diambil karena kondisi tak memungkinkan. Baru pada kehamilan keempat dari pernikahannya dengan almarhum Julio Hardison, Tiara bisa melahi-rkan. Kini, Kemal Syakurnada Hardison te-lah berusia tujuh tahun.

Sebelas tahun bergelut melawan lupus, pada 1998 kondisi Tiara bera-njak pulih. Obat-obatan yang selama ini menemani ditinggalkan. Ia menerima lupus seba-gai bagian dari hidupnya, tapi tak mau menyerah kalah. ”Hidup sangatlah bermakna,” katanya.

Pada April 1998, ia mendirikan Yaya-san Lupus Indonesia. Selain melak-ukan pendampingan pada pasien lupus di ru-mah maupun yang terkapar di berbagai rumah sakit di sekitar Jakarta, yayasan juga melakukan penyuluhan. Pemaham-an tentang lupus penting agar pasien bisa berbuat yang terbaik bagi dirinya. Ke-luarga juga perlu disadarkan bahwa lupus bukanlah penyakit menular.

Pengalaman buruk dengan lupus juga dialami Veena Devi, 36 tahun, seorang pengacara. Penyakit itu baru terdeteksi 11 tahun kemudian. Gejala pertama yang ia rasakan mulai 1991 berupa migrain berat. Lalu pada 1995, sistem otot dan tulang terganggu sehingga tidak bisa berjalan. Pada 1996–1998 terkena deep vein trombosis sehingga diduga ter-kena demam berdarah.

Baru pada 2002, dokter mengatakan 80 persen ia positif terkena Lupus. Pada 2004, limpanya diangkat. Awalnya sua-mi-nya, Nico Priosakti, tak mau menerima kenyataan lupus telah bersarang di tubuh istrinya. Kini ia berubah. Nicolah yang paling mengetahui keadaan Veena bila muncul gejala kambuh hingga obat yang harus diminum.

Nico sudah seperti bayangan bagi Veena. Pendampingan seperti ini diperlukan para odapus, seperti yang dilakukan oleh Syamsi Dhuha, sebuah organisasi nirlaba di Bandung yang mengkhususkan untuk membantu para odapus.

Pendampingan, kunjungan, berbagi pengalaman, tafakur, olahraga adalah be-berapa kegiatan yang diadakan orga-nisasi yang didirikan Dian Syarief yang juga odapus. Ia divonis mengidap lupus pada 1999 dengan gejala trombositopenia alias berkurangnya jumlah trombosit dalam darah. Ruam merah di kulit sempat diduga sebagai gejala demam berdarah.

Setelah diagnosis didapat, peng-obat-an lupus dengan steroid dosis tinggi dilakukan. Jumlah trombosit memang ber-angsur naik, tapi efek samping obat sangat fatal. Infeksi di otak menyebabkan rusaknya saraf di pusat penglihatan sehingga hanya tersisa sekitar lima persen.

Sempat shock dengan penyakit yang dialami, lambat laun Dian mulai bersahabat dengan penyakitnya dan bangkit dari keterpurukan. Lewat yaya-san yang dikelolanya, ia berbagi dengan se-sama odapus, antara lain lewat kunjung-an ke rumah sakit, penggalangan dana, pemeriksaan kesehatan gratis, dan menghidupkan kelompok edukasi agar pe-mahaman pasien tentang lupus meningkat. ”Bagaimanapun, yang pa-ling tahu kondisi tubuh pasien, ya, pasien itu sendiri,” kata Dian.

Dwi Wiyana


Periksa Lupus Sendiri

Ada cara sederhana mendeteksi secara dini kemungkinan seseorang mengidap lupus. Yayasan Syamsi Dhuha, Bandung, mengutip sumber The Lupus Foundation of Ontario, Kanada, menyebutnya Saluri atawa Periksa Lupus Sendiri.

Inilah 11 pertanyaan yang mesti dijawab untuk pendeteksian awal:

  1. Apakah persendian Anda sering terasa sakit, nyeri, atau bengkak lebih dari tiga bulan?
  2. Pernahkah pada wajah Anda terdapat ruam kemerahan berbentuk kupu-kupu yang sayapnya melintang dari pipi ke pipi?
  3. Apakah Anda pernah sariawan lebih dari dua minggu?
  4. Apakah jari tangan dan atau jari kaki pucat, kaku, atau tidak nyaman di saat dingin?
  5. Apakah Anda mengalami kelainan darah, seperti anemia, leukositopenia (kurangnya jumlah leukosit dalam darah), atau trombositopenia (jumlah trombosit berkurang dalam darah)?
  6. Apakah Anda sering demam di atas 38 derajat Celsius dengan sebab yang tidak jelas?
  7. Apakah Anda pernah mengalami nyeri dada selama beberapa hari saat menarik napas?
  8. Apakah Anda sering merasa sangat lelah dan lemas, bahkan setelah cukup beristirahat?
  9. Apakah terdapat protein pada pemeriksaan urine Anda?
  10. Pernahkah Anda mengalami kejang?
  11. Apakah kulit Anda hipersensitif terhadap sinar matahari?

Bila Anda menjawab ”ya” untuk minimal empat pertanyaan, ada kemungkinan Anda terkena lupus. Segeralah berkonsultasi ke ahli penyakit dalam yang biasa menangani Lupus.

DW

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus