BILA tersenyum, gigi-giginya yang rata tampak kekuning-kuningan.
Berkain kebaya murahan, otot-otot tangannya sulit disembunyikan.
Itulah Warti alias Warsono, banci pengamen asal Sala.
Dengan terbang kecrek (tamborine) di tangan kanan dan tas tangan
di lengan kiri, dia biasa mendatangi kumpulan orang di warung,
restoran, dirumah-rumah di kampung-kampung atau di mana saja.
Biasanya, tanpa salam atau tegur sapa terlebih dulu, dia
langsung membunyikan alat musiknya dan tarik suara membawakan
lagu-lagu dangdut. Orang pun mengulurkan kepingan Rp 50, Rp 100
atau kadang Rp 25. Uang itu langsung dia sisipkan di balik
kutangnya. Tapi tak jarang tarikan suaranya hanya dibalas
dengan gelengan kepala.
Tapi mengapa Warti ngamen? "Inilah takdir saya," tutur Warti.
Sejak kecil Warti alias Warsono memang suka bermain pasaran
bersama teman-teman sebayanya. Sehabis dikhitankan, Warsono yang
memang berfisik laki-laki itu ikut latihan dan bergabung dengan
rombongan ludruk.
Tatkala THR (taman hiburan rakyat) Semarang dibuka 1969, Ludruk
Gelora yang diikutinya membawa dia ke sana. Sejak itulah dimulai
karir Warsono sebagai pengamen banci di panggung. Namun peran
itu rupanya melekat sampai sekarang, diikuti perubahan-perubahan
fisiknya. Dia mengaku bisa main ludruk, jaran kepang, ngledek,
nembang dan macam-macam lagi. Semuanya berkat ikut rombongan
ludruk itu, tentu. Ia mengaku tak pernah bersekolah, tapi
mengenal gending, lagu.
Mengaku sebagai orang bebas, tak punya anak tak punya istri,
Warti meninggalkan rombongan ludruk dan terbawa nasib, terdampar
di Jakarta. Anak kedua dari empat bersaudara dari keluarga
pemilik warung di Purwodadi ini, kini tinggal di Kranji, Bekasi.
Berkumpul dengan sesama banci di sebuah perkampungan kumuh 23 km
sebelah timur Jakarta, siang hari Warti ngamen berkeliling
Ibukota. Di malam hari, dia mangkal di jembatan Jatinegara,
menjaring mangsa bila ada laki-laki iseng.
Dari semua kegiatan itu, "sehari saya bisa dapat Rp 5.000.
Kadang-kadang Rp 8.000," tutur Warti. Uang itu, katanya, untuk
nyandang, membeli bedak dan lipstik. Warti yang mengaku
beragama Islam dan masih suka sembahyang, tak melupakan orang
tua dan kampung halamannya. Kalau uangnya terkumpul banyak, dia
biasa pulang. Katanya, orang tuanya tahu mata pencahariannya,
tapi tak marah. Mungkin, karena ia selalu pulang membawa uang
banyak.
Warti mengaku tak menyesali nasibnya, meski sebenarnya dia
sekarang, katanya, "dimusuhi wanita, dijauhi laki-laki.
Maksudnya, kalau sedang ngamen diejek atau dijauhi orang. "Buat
apa sedih, sebab pasti masih ada yang tetap membutuhkan saya,"
katanya seperti menghibur diri.
Lain halnya Nani, 30 tahun, banci yang juga tinggal sekampung
dengan Warti di Kranji. Berdada bidang, tapi berwajah halus dan
bersuara lembut, Nani bernama asli Achmad Parodji, mengaku
sering dipukuli orang di mana-mana. "Orangnya memang penakut,"
kata Alimah, 44 tahun, pemimpin kompleks banci pengamen di
Kranji itu.
Meski suaranya bagus, Nani takut menyanyi sendiri. Kalau ngamen
selalu beramai-ramai. Nani baru Juli lalu bergabung sesama
kaumnya di sana.
"Lima hari yang lalu saya dipukuli orang, selagi ngamen di Blok
M Kebayoran," tutur Nani sedih. Sekelompok pemuda mabuk di Blok
M, begitu Nani menuturkan pengalamannya, memaksa dia menyanyi.
"Saya sudah nyanyi dua kali, tapi tidak dibayar. Mereka minta
saya menyanyi lagi, saya nggak mau. Eh, saya dipukuli," tutur
Nani meringis sambil megang-megang hidungnya yang mungkin masih
terasa sakit.
Lahir di Pekalongan dari keluarga pemilik warung, Achmad
Parodji alias Nani, waktu kecil disuruh orang tuanya bekerja di
pabrik. Tapi dia tak bisa kerja. Sehari-hari ia hanya berteman
dengan wanita. Sewaktu ia akan dikawinkan ayahnya, Achmad
Parodji memberontak. "Saya merasa judeg dan tak tahan lagi
menuruti kemauan orang tua," tuturnya.
Dia lari ke Semarang. Pelbagai pekerjaan dilakukannya: tukang
cuci piring di warung, sampai pembantu rumah tangga "Tapi di
mana-mana saya diejek," tuturnya. Tapi tatkala dia ikut Ibu Sri
Mengguk, seorang banci di Semarang, Nani merasa tenang. Ia tak
mengungkapkan sebabnya.
Tatkala Nani terdampar di Jakarta, dia juga bergabung dengan
para banci di Kranji. Tapi akhirnya ia menyesali nasibnya. "Saya
ingin mati muda. Makin cepat mati, makin baik," keluhnya. Dia
juga, katanya, menyesali Tuhan yang menakdirkan dirinya jadi
banci. "Mengapa saya dikasih Tuhan "barang" ini. Saya ingin jadi
perempuan," jeritnya sambil memegangi kelaminnya.
Dengan keadaannya seperti sekarang, Nani tak bisa memperagakan
pakaian wanita, "padahal saya ingin sekali jadi peragawati."
Juga ia menyesali laki-laki yang pernah jadi pacarnya. Nani,
katanya, pernah punya pacar ganteng, tapi kemudian "dicuri"
gadis sungguhan. Tapi bila teman-temannya menghiburnya dan
meminta ia menyanyi, Nani akan segera kembali tenang. Sambil
memegang kotak kayu bertali karet sebagai alat musiknya, Nani
menyentil-nyentil karet itu dan mengiba-iba menyanyi lagu
dangdut: Zacky, Zackky, Zacky...
Tapi Alimah selalu riang. Lahir di Surabaya pada 1938 sebagai
Aripin, Alimah pemilik pondokan banci-banci di Kranji itu,
tergolong banci yang yang beruntung. Selain masih ngamen setiap
3 atau 4 hari, dia memiliki rumah pondokan berukuran 10 x 12
m, terdiri dari lima kamar. Dengan tiga atau empat orang
banci tiap kamar, kamar-kamar sempit, berlantai tanah, tanpa
listrik dan ventilasi, Alimah pasang tarif Rp 3.000 per kamar
sebulan.
Berwajah lonjong agak dingin, anak keenam dari sembilan
bersaudara dari seorang Mandor Alas di kawasan Palemahan,
Ja-Tim itu, sejak kecil memang bertingkah-laku
kewanita-wanitaan. Alimah, katanya, dipandang membuat malu
keluarga -- maklum Mandor Alas jabatan terpandang waktu itu. Dan
karena tak tahan diperlakukan keluarga secara tak wajar, 1957,
Alimah kabur dari rumah dan kemudian jadi pemain ludruk. "Sejak
itu saya mateni obor," tuturnya. Maksudnya, dia sudah bersumpah
tak akan pulang menemui sanak saudaranya lagi.
Alimah yang meninggalkan dunia ludruk sejak 1973, sangat gemar
memelihara laki-laki. Sepanjang hidupnya sudah enam laki-laki
dijadikannya "suami". Anehnya, bila kemudian laki-laki itu ingin
kawin dengan perempuan sungguhan, ia membantu mencarikan atau
membiayai perkawinan mereka.
Terakhir Alimah menikahkan Udin, laki-laki buah hatinya yang
berumur 20-an dengan gadis Sala. Bahkan Udin kini masih tinggal
bersamanya, di ranjang yang bersebelahan dengan ranjangnya.
Laki-laki bekas "suaminya" yang masih dikenangnya ialah Hendrik
dan Johny, "dua laki-laki Manado asli." Oleh sekitar 20-an banci
yang menyewa kamarnya, Alimah yang suka minum bir, biasa
dipanggil Mbak Gendut, mungkin karena tubuhnya kini gembrot.
Alimah agaknya banci yang sudah mapan. Tapi Sumarsono alias Siti
Syaunakh, di Surabaya baru saja memasuki dunia banci ngamen.
Lahir 5 Mei 1952 di Sendangarum, Sleman, Yogyakarta, Siti
Syaunakh mengaku baru satu tahun saja ngamen. Sebelumnya,
katanya, keadaan hidupnya lumayan. Waktu itu, dia menjual jamu
tradisional dan tukang pijat. Jamu itu, katanya, buatan dia
sendiri berdasarkan resep yang diperolehnya melalui mimpi. "Saya
ngamen karena terpaksa," katanya.
Cukup panjang kisah Siti Syaunakh hingga ia jadi pengamen
sekarang. Sebagai anak kelahiran Yogya, bersama keluarganya,
sejak kelas satu SD, dia pindah ke Buduran, Sidoarjo, 20 km
selatan Surabaya. Dia pernah hidup mengembara di Jakarta dan
Medan. Tapi belakangan ini, dia lebih suka menetap di antara
para gelandangan di tepi Kali Mas, Wonokromo, Surabaya. Dia
tinggal berbaur dengan sejumlah banci lainnya, para tukang becak
dan tukang cari sampah.
Berkulit hitam, wajah persegi, Siti Syaunakh mengaku
berpendidikan Tsanawiyah Al Aisyah, Pondok Pesantren Sawalan
Panji, Tebuireng, Jombang. Tanda-tanda perubahan kelaminnya
mulai tampak sejak duduk di kelas 3 SD. Dia suka mengenakan rok
dan kalau ada perayaan di sekolah, suka menari bondan yang
biasanya dibawakan seorang wanita. Juga kemudian dia masuk grup
ludruk Ngajipi di Sidoarjo.
Anak kelima Tomo Karya bin Urip, tukang tambal ban dan buruh
tani ini, sebagai pemain ludruk dan ketoprak, senang membawakan
peran perempuan. Dia biasa jadi Eng Thay dalam lakon Sam Pak
Eng Thay, kisah romantis Cina klasik itu. Dan jadi mbok emban
dalam ketoprak.
Selama 1976-1979, Siti Syaunakh katanya jadi guru agama. Tapi
kemudian ditinggalkannya tanpa pensiun, karna ingin
mengembangkan usaha menjual jamu tradisional. Dia berangkat ke
Jakarta, berjualan di sebuah kios pemberian Haji Acil Komyah di
Ciledug, Tangerang. Di samping itu, dia juga berkeliling
mendagangkan jamunya. Dengan tempat tinggal gratis di rumah
haji tadi, Siti Syaunakh bisa mengumpulkan modal sampai Rp 1,8
juta. Tapi, begitu ceritanya, uang tersebut akhirnya ludes
ditipu orang. Karena malu dan kehilangan akal, Siti Syaunakh
kembali ke Surabaya dan terdampar di tepi Kali Mas itu.
Dengan mengenakan gaun batik berwarna dasar putih, lipstik merah
jambu dan wewangian di badannya, dia menggoyang-goyangkan
tubuhnya ngamen di kampung-kampung sekitar Wonokromo. Dengan
lagu-lagu langgam Jawa, dangdut dan samrohan juga Salome, Siti
Syaunakh bersenandung mengharapkan uluran recehan Rp 5 sampai
Rp 25. Sedikitnya Rp 300 dan paling tinggi Rp 1.500, bisa
terselip di kutangnya tiap hari.
Menghadapi mereka yang suka menyepelekan para banci pengamen,
Risye (bukan nama sehari-hari yang biasa dipakainya) di Bandung,
cuma gregetan bilang: "Kami tahankan saja, yang penting dapat
uang." Risye dan Ana ngamen di suatu kawasan tempat makan-makan
yang sudah jadi konsesinya bersama grup penyanyi laki-laki.
Memakai rok merah kembang-kembang rambut tertutup kain, bergincu
tebal dan bedak tak merata, Risye melenggang-lenggok membawakan
lagu dangdut Penasaran Rhoma Irama, dan sekitar 15 lagu lainnya.
Sudah 6 tahun Risye (25 tahun) berprofesi begitu bersama Ana (23
tahun). Risye, dulu buruh perkebunan bergaji cuma Rp 300 sehari
kini bisa mengantungi Rp 2.000 - Rp 3.000. Dia sesungguhnya
bukan banci, karena dia beristri dan beranak dua. Tapi untuk
menarik perhatian orang ia selalu bertingkah sebagai banci.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini