Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Pengamen yang menyandang nasib

Suka duka banci-banci pengamen, mereka ngamen di mana saja. ada yang pasrah, ada yang ingin mati muda.(sd)

4 September 1982 | 00.00 WIB

Pengamen yang menyandang nasib
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
BILA tersenyum, gigi-giginya yang rata tampak kekuning-kuningan. Berkain kebaya murahan, otot-otot tangannya sulit disembunyikan. Itulah Warti alias Warsono, banci pengamen asal Sala. Dengan terbang kecrek (tamborine) di tangan kanan dan tas tangan di lengan kiri, dia biasa mendatangi kumpulan orang di warung, restoran, dirumah-rumah di kampung-kampung atau di mana saja. Biasanya, tanpa salam atau tegur sapa terlebih dulu, dia langsung membunyikan alat musiknya dan tarik suara membawakan lagu-lagu dangdut. Orang pun mengulurkan kepingan Rp 50, Rp 100 atau kadang Rp 25. Uang itu langsung dia sisipkan di balik kutangnya. Tapi tak jarang tarikan suaranya hanya dibalas dengan gelengan kepala. Tapi mengapa Warti ngamen? "Inilah takdir saya," tutur Warti. Sejak kecil Warti alias Warsono memang suka bermain pasaran bersama teman-teman sebayanya. Sehabis dikhitankan, Warsono yang memang berfisik laki-laki itu ikut latihan dan bergabung dengan rombongan ludruk. Tatkala THR (taman hiburan rakyat) Semarang dibuka 1969, Ludruk Gelora yang diikutinya membawa dia ke sana. Sejak itulah dimulai karir Warsono sebagai pengamen banci di panggung. Namun peran itu rupanya melekat sampai sekarang, diikuti perubahan-perubahan fisiknya. Dia mengaku bisa main ludruk, jaran kepang, ngledek, nembang dan macam-macam lagi. Semuanya berkat ikut rombongan ludruk itu, tentu. Ia mengaku tak pernah bersekolah, tapi mengenal gending, lagu. Mengaku sebagai orang bebas, tak punya anak tak punya istri, Warti meninggalkan rombongan ludruk dan terbawa nasib, terdampar di Jakarta. Anak kedua dari empat bersaudara dari keluarga pemilik warung di Purwodadi ini, kini tinggal di Kranji, Bekasi. Berkumpul dengan sesama banci di sebuah perkampungan kumuh 23 km sebelah timur Jakarta, siang hari Warti ngamen berkeliling Ibukota. Di malam hari, dia mangkal di jembatan Jatinegara, menjaring mangsa bila ada laki-laki iseng. Dari semua kegiatan itu, "sehari saya bisa dapat Rp 5.000. Kadang-kadang Rp 8.000," tutur Warti. Uang itu, katanya, untuk nyandang, membeli bedak dan lipstik. Warti yang mengaku beragama Islam dan masih suka sembahyang, tak melupakan orang tua dan kampung halamannya. Kalau uangnya terkumpul banyak, dia biasa pulang. Katanya, orang tuanya tahu mata pencahariannya, tapi tak marah. Mungkin, karena ia selalu pulang membawa uang banyak. Warti mengaku tak menyesali nasibnya, meski sebenarnya dia sekarang, katanya, "dimusuhi wanita, dijauhi laki-laki. Maksudnya, kalau sedang ngamen diejek atau dijauhi orang. "Buat apa sedih, sebab pasti masih ada yang tetap membutuhkan saya," katanya seperti menghibur diri. Lain halnya Nani, 30 tahun, banci yang juga tinggal sekampung dengan Warti di Kranji. Berdada bidang, tapi berwajah halus dan bersuara lembut, Nani bernama asli Achmad Parodji, mengaku sering dipukuli orang di mana-mana. "Orangnya memang penakut," kata Alimah, 44 tahun, pemimpin kompleks banci pengamen di Kranji itu. Meski suaranya bagus, Nani takut menyanyi sendiri. Kalau ngamen selalu beramai-ramai. Nani baru Juli lalu bergabung sesama kaumnya di sana. "Lima hari yang lalu saya dipukuli orang, selagi ngamen di Blok M Kebayoran," tutur Nani sedih. Sekelompok pemuda mabuk di Blok M, begitu Nani menuturkan pengalamannya, memaksa dia menyanyi. "Saya sudah nyanyi dua kali, tapi tidak dibayar. Mereka minta saya menyanyi lagi, saya nggak mau. Eh, saya dipukuli," tutur Nani meringis sambil megang-megang hidungnya yang mungkin masih terasa sakit. Lahir di Pekalongan dari keluarga pemilik warung, Achmad Parodji alias Nani, waktu kecil disuruh orang tuanya bekerja di pabrik. Tapi dia tak bisa kerja. Sehari-hari ia hanya berteman dengan wanita. Sewaktu ia akan dikawinkan ayahnya, Achmad Parodji memberontak. "Saya merasa judeg dan tak tahan lagi menuruti kemauan orang tua," tuturnya. Dia lari ke Semarang. Pelbagai pekerjaan dilakukannya: tukang cuci piring di warung, sampai pembantu rumah tangga "Tapi di mana-mana saya diejek," tuturnya. Tapi tatkala dia ikut Ibu Sri Mengguk, seorang banci di Semarang, Nani merasa tenang. Ia tak mengungkapkan sebabnya. Tatkala Nani terdampar di Jakarta, dia juga bergabung dengan para banci di Kranji. Tapi akhirnya ia menyesali nasibnya. "Saya ingin mati muda. Makin cepat mati, makin baik," keluhnya. Dia juga, katanya, menyesali Tuhan yang menakdirkan dirinya jadi banci. "Mengapa saya dikasih Tuhan "barang" ini. Saya ingin jadi perempuan," jeritnya sambil memegangi kelaminnya. Dengan keadaannya seperti sekarang, Nani tak bisa memperagakan pakaian wanita, "padahal saya ingin sekali jadi peragawati." Juga ia menyesali laki-laki yang pernah jadi pacarnya. Nani, katanya, pernah punya pacar ganteng, tapi kemudian "dicuri" gadis sungguhan. Tapi bila teman-temannya menghiburnya dan meminta ia menyanyi, Nani akan segera kembali tenang. Sambil memegang kotak kayu bertali karet sebagai alat musiknya, Nani menyentil-nyentil karet itu dan mengiba-iba menyanyi lagu dangdut: Zacky, Zackky, Zacky... Tapi Alimah selalu riang. Lahir di Surabaya pada 1938 sebagai Aripin, Alimah pemilik pondokan banci-banci di Kranji itu, tergolong banci yang yang beruntung. Selain masih ngamen setiap 3 atau 4 hari, dia memiliki rumah pondokan berukuran 10 x 12 m, terdiri dari lima kamar. Dengan tiga atau empat orang banci tiap kamar, kamar-kamar sempit, berlantai tanah, tanpa listrik dan ventilasi, Alimah pasang tarif Rp 3.000 per kamar sebulan. Berwajah lonjong agak dingin, anak keenam dari sembilan bersaudara dari seorang Mandor Alas di kawasan Palemahan, Ja-Tim itu, sejak kecil memang bertingkah-laku kewanita-wanitaan. Alimah, katanya, dipandang membuat malu keluarga -- maklum Mandor Alas jabatan terpandang waktu itu. Dan karena tak tahan diperlakukan keluarga secara tak wajar, 1957, Alimah kabur dari rumah dan kemudian jadi pemain ludruk. "Sejak itu saya mateni obor," tuturnya. Maksudnya, dia sudah bersumpah tak akan pulang menemui sanak saudaranya lagi. Alimah yang meninggalkan dunia ludruk sejak 1973, sangat gemar memelihara laki-laki. Sepanjang hidupnya sudah enam laki-laki dijadikannya "suami". Anehnya, bila kemudian laki-laki itu ingin kawin dengan perempuan sungguhan, ia membantu mencarikan atau membiayai perkawinan mereka. Terakhir Alimah menikahkan Udin, laki-laki buah hatinya yang berumur 20-an dengan gadis Sala. Bahkan Udin kini masih tinggal bersamanya, di ranjang yang bersebelahan dengan ranjangnya. Laki-laki bekas "suaminya" yang masih dikenangnya ialah Hendrik dan Johny, "dua laki-laki Manado asli." Oleh sekitar 20-an banci yang menyewa kamarnya, Alimah yang suka minum bir, biasa dipanggil Mbak Gendut, mungkin karena tubuhnya kini gembrot. Alimah agaknya banci yang sudah mapan. Tapi Sumarsono alias Siti Syaunakh, di Surabaya baru saja memasuki dunia banci ngamen. Lahir 5 Mei 1952 di Sendangarum, Sleman, Yogyakarta, Siti Syaunakh mengaku baru satu tahun saja ngamen. Sebelumnya, katanya, keadaan hidupnya lumayan. Waktu itu, dia menjual jamu tradisional dan tukang pijat. Jamu itu, katanya, buatan dia sendiri berdasarkan resep yang diperolehnya melalui mimpi. "Saya ngamen karena terpaksa," katanya. Cukup panjang kisah Siti Syaunakh hingga ia jadi pengamen sekarang. Sebagai anak kelahiran Yogya, bersama keluarganya, sejak kelas satu SD, dia pindah ke Buduran, Sidoarjo, 20 km selatan Surabaya. Dia pernah hidup mengembara di Jakarta dan Medan. Tapi belakangan ini, dia lebih suka menetap di antara para gelandangan di tepi Kali Mas, Wonokromo, Surabaya. Dia tinggal berbaur dengan sejumlah banci lainnya, para tukang becak dan tukang cari sampah. Berkulit hitam, wajah persegi, Siti Syaunakh mengaku berpendidikan Tsanawiyah Al Aisyah, Pondok Pesantren Sawalan Panji, Tebuireng, Jombang. Tanda-tanda perubahan kelaminnya mulai tampak sejak duduk di kelas 3 SD. Dia suka mengenakan rok dan kalau ada perayaan di sekolah, suka menari bondan yang biasanya dibawakan seorang wanita. Juga kemudian dia masuk grup ludruk Ngajipi di Sidoarjo. Anak kelima Tomo Karya bin Urip, tukang tambal ban dan buruh tani ini, sebagai pemain ludruk dan ketoprak, senang membawakan peran perempuan. Dia biasa jadi Eng Thay dalam lakon Sam Pak Eng Thay, kisah romantis Cina klasik itu. Dan jadi mbok emban dalam ketoprak. Selama 1976-1979, Siti Syaunakh katanya jadi guru agama. Tapi kemudian ditinggalkannya tanpa pensiun, karna ingin mengembangkan usaha menjual jamu tradisional. Dia berangkat ke Jakarta, berjualan di sebuah kios pemberian Haji Acil Komyah di Ciledug, Tangerang. Di samping itu, dia juga berkeliling mendagangkan jamunya. Dengan tempat tinggal gratis di rumah haji tadi, Siti Syaunakh bisa mengumpulkan modal sampai Rp 1,8 juta. Tapi, begitu ceritanya, uang tersebut akhirnya ludes ditipu orang. Karena malu dan kehilangan akal, Siti Syaunakh kembali ke Surabaya dan terdampar di tepi Kali Mas itu. Dengan mengenakan gaun batik berwarna dasar putih, lipstik merah jambu dan wewangian di badannya, dia menggoyang-goyangkan tubuhnya ngamen di kampung-kampung sekitar Wonokromo. Dengan lagu-lagu langgam Jawa, dangdut dan samrohan juga Salome, Siti Syaunakh bersenandung mengharapkan uluran recehan Rp 5 sampai Rp 25. Sedikitnya Rp 300 dan paling tinggi Rp 1.500, bisa terselip di kutangnya tiap hari. Menghadapi mereka yang suka menyepelekan para banci pengamen, Risye (bukan nama sehari-hari yang biasa dipakainya) di Bandung, cuma gregetan bilang: "Kami tahankan saja, yang penting dapat uang." Risye dan Ana ngamen di suatu kawasan tempat makan-makan yang sudah jadi konsesinya bersama grup penyanyi laki-laki. Memakai rok merah kembang-kembang rambut tertutup kain, bergincu tebal dan bedak tak merata, Risye melenggang-lenggok membawakan lagu dangdut Penasaran Rhoma Irama, dan sekitar 15 lagu lainnya. Sudah 6 tahun Risye (25 tahun) berprofesi begitu bersama Ana (23 tahun). Risye, dulu buruh perkebunan bergaji cuma Rp 300 sehari kini bisa mengantungi Rp 2.000 - Rp 3.000. Dia sesungguhnya bukan banci, karena dia beristri dan beranak dua. Tapi untuk menarik perhatian orang ia selalu bertingkah sebagai banci.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus