BENARKAH semua agama itu sama? Bolehkah seorang pelayat ikut mendoakan arwah yang meninggal, padahal mereka berlainan agama? Mungkinkah murid beragama Islam meremehkan agamanya karena Pendidikan Moral Pancasila? Masalah ini muncul lagi ketika pekan lalu satu delegasi datang ke DPR. Terdiri dari 19 orang, delegasi itu menyampaikan suatu "tuntutan bersama kepada DPR dan MPR RI," tentang "perlunya diadakan peninjauan secara menyeluruh atas buku Pendidikan Moral Pancasila." Sebanyak 12 jilid, buku itu dikeluarkan oleh Dep. P & K, dan dipakai di SD sampai SMTA sejak Oktober 1980. Materi yang dipermasalahkan delegasi tersebut tak jauh berbeda dengan yang pernah dipersoalkan oleh Fraksi Persatuan Pembangunan dalam sidang paripurna DPR, 13 Juni 1981. Tapi pernyataan kali ini nampaknya lebih ramai -- ditandatangani sekitar 50 tokoh Islam, termasuk K.H. Abdullah Syafii (Pesantren Asy-Syafi'iah), Prof. Mr. Dr. Kasman Singodimedjo (Muhammadiah), dan Mohammad Natsir (Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia). Dalam pengantar katanya, Musaffa Basyir, Pemimpin Redaksi majalah Kiblat, selaku ketua delegasi, bersuara tajam. Buku itu, kata Musaffa, "dinilai umat Islam" sebagai antara lain "bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 pasal 29." dan "menyelewengkan siswa-siswa Islam dari pengertian 'akidah Islam yang benar." Adapun butir-butir keberatan itu sendiri diuraikan oleh Dr. Anwar Haryono. Setebal 17 halaman, uraiannya tak jauh berbeda dengan pokok-pokok keberatan dari FPP dulu itu. Antara lain disinggung bab yang menyarankan tujuan yang sama dari berbagai agama. "Hari besar setiap agama berbeda. Sembahyang pun berbeda-beda. Tapi tujuannya sama: Menyembah Tuhan Yang Maha Esa," (PMP untuk SD kelas I, hal. 20). Juga dicatat hal merayakan hari besar bersama yang oleh buku PMP disebut sebagai pencerminan "semangat toleransi yang besar." Tak lupa dipersoalkan pula anjuran dalam buku itu agar para siswa bila melayat orang yang berlainan agama pun ikut mendoakan arwah yang meninggal. Dari Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Darji Darmodiharjo, datang jawaban: "Cara penyajian buku PMP memang belum sempurna." Secara berkala tim penyusun selalu mengadakan pertemuan membicarakan kritik atas buku tersebut dari mana pun datangnya, menurut dia. Akhir Agustus lalu misalnya, ada pertemuan pembicaraan metoda pengajaran PMP, di Kaliurang, Yogyakarta. "Nanti kalau kami cetak kedua kalinya, tentu akan ada perbaikan," kata Darji kepada TEMPO. Dan ditegaskannya, bahwa buku PMP bukan pelajaran agama. TAPI justru itulah yang dipersoalkan delegasi yang ke DPR itu. Pernyataannya yang dibacakan oleh Dr. Anwar, dr Haryono, di depan Hardjantho, Wakil Ketua DPR RI, menegaskan: "Sementara mata pelajaran Pendidikan Agama mendidik supaya anak-anak yakin akan kebenaran ajaran agama yang mereka peluk, buku PMP mengajarkan bahwa semua agama adalah sama." Maka dikhawatirkan "anak-anak bersikap mengentengkan ajaran agamanya sendiri." Kata-kata "agama adalah sama" dalam buku PMP itu tak dijelaskan secara gamblang maksudnya. Ini yang diserang Mohammad Natsir. Bila itu dimaksud untuk membina toleransi kehidupan beragama, kata bekas Perdana Menteri RI itu, "identitas masing-masing jangan sampai dilanggar." Dalam buku PMP, menurut Natsir, identitas itu dihilangkan. PMP itu sesungguhnya sebagian besar tentang bagaimana menjadi warganegara yang baik, sejarah UUD 1945, Pancasila, ketatanegaraan RI, wawasan Nusantara. Pelajaran itu di kelas sering memancing diskusi antara guru dan murid. Di SMPN I, Jakarta, guru Kosasih Zein, mempunyai kebijaksanaan sendiri. "Bila sampai pada pelajaran yang menyinggung agama, saya batasi untuk tidak memperuncing masalahnya," katanya. Di SD Muhammadiyah III, Jakarta, guru Sukirno melewatkan bab yang bertentangan dengan ajaran Islam. Kemudian kepada muridnya dikatakannya "Yang tertulis mengenai agama dalam buku itu sebagai pengertian saja." Tapi jangkauan buku PMP itu sangat jauh. Sebelum kelihatan cetakan kedua dan ada perbaikannya, delegasi tokoh Islam tadi tentu sepantasnya mengingatkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini