TIDAK pernah ada sejarahnya juara dunia sepakbola dilatih
orang-orang asing," letup Manajer Mercu Buana, Kamaruddin
Panggabean menanggapi sikap beberapa klub Liga Utama yang
mengontrak pelatih maupun pemain asing.
Tokoh sepakbola dari Sumatera Utara yang sekarang mengelola klub
milik pengusaha besar, Probosutejo itu begitu yakin terhadap
kemampuan pelatih maupun pemain lokal. Katanya, sebagian besar
pemain Mercu Buana diambil dari perkebunan. "Saya sendiri
manajer kampungan. Tapi lihat nanti, manajer kampungan akan
mengobrak-abrik manajer internasional," sambungnya lagi seraya
tertawa.
Kata-kata itu diucapkan Kamaruddin menjelang pertandingan Mercu
Buana lawan Pardedetex, 29 Agustus yang lalu di Stadion Teladan,
Medan sebagai bagian dari pertandingan-pertandingan dalam
kompetisi Galatama 1982/1983. Sekalipun lawan tak sampai
babak-belur, Mercu Buana berhasil menahan lawannya 1-1. Padahal
Pardedetex diperkuat pemain asal Brazil, Jairo Matos serta
penasihat pelatih dari Belanda, Peter Steven.
Beberapa klub yang menyewa pelatih dan mengimpor pemain
barangkali belum punya ambisi untuk menjadi juara dunia, tapi
sekedar untuk mempertinggi mutu dan memancing penonton yang
lebih banyak. Klub Niac Mitra dari Surabaya, juara kompetisi
1981/1982 mengontrak penyerang Fandi Ahmad dan penjaga gawang
David Lee dari Singapura kelihatannya untuk mempertahankan
kedudukan juara. "Kami mengontrak kedua pemain itu karena
kebutuhan," kata M. Basri, pelatih merangkap manajer Niac Mitra.
Banyak pengamat memperkirakan Niac mengambil langkah tadi untuk
mengimbangi Tunas Inti yang dalam putaran kompetisi sekarang ini
berhasrat naik tingkat dengan mentransfer pemain-pemain kuat
seperti Rully Nere, Stefanus Sirey, Aun Harhara, Sudarno dan
Catur Sudarmanto. Dengan Fandi, barisan depan Niac tambah
mantap. Sedangkan masuknya David Lee menutup kelemahan
pertahanan klub tersebut, terutama setelah penjaga gawang
Purwono meninggalkan Niac Mitra beberapa waktu yang lalu.
Ternyata Niac berhasil memukul Tunas Inti 2 dalam pertandingan
28 Agustus yang lalu di Stadion Gelora 10 November, Surabaya.
Sekalipun gagal menaklukkan Mercu Buana, putra usahawan T.D.
Pardede, Jhoni, 28 tahun, yang bertindak sebagai pelatih akan
tetap mempertahankan Jairo Matos yang diperkirakan memperoleh
bayaran sekitar Rp 500.000/bulan. Dia menyebutkan permainan
individual Jairo sangat bagus dan pantas jadi teladan pemain
setempat. "Missi untuk mengontrak pemain asing akan jalan
terus," kata Jhoni Pardede.
Pardedetex pernah mengontrak dua pemain dari Inggris. Jairo
Matos sendiri ditransfer dari klub Yumiori, salah satu klub
divisi I di Jepang. Dia juga pernah memperkuat klub Atletico
Junior di Brazil, klub yang membesarkan Maradona.
Beberapa pemain lokal Pardedetex mengoceh bahwa pemain Brazil
yang berusia 28 tahun itu "sebenarnya tak ada apa-apanya,
kecuali tendangannya keras. Dia malas pula berlatih." Tetapi
kepada TEMPO, Jairo Matos memberi alasan: "Bukannya sepuluh
pemain yang menyesuaikan diri dengan saya, malah sebaliknya.
Akibatnya permainan saya, maaf, tak keluar semua."
Jairo mendapat keistimewaan tinggal di salah satu kamar mewah di
Hotel Pardede International Medan. Selama dua tahun di
Pardedetex, katanya dia sudah bisa mengumpul uang "sedikit" di
bank. Waktu di Jepang dari kakinya dia berhasil mengumpul uang
membeli dua rumah, satu apartemen dan 2 hektar tanah pertanian
di Brazil yang kesemuanya diurus istrinya yang tinggal di sana.
"Saya harap Pardedetex bisa memberikan hasil seperti itu,"
katanya.
Sedangkan kehadiran Fandi Ahmad dan David Lee di Niac Mitra
mendapat sambutan hangat dari penggemar sepakbola di Surabaya.
Banyak penonton yang menyerbu untuk mengelu-elukan kedua pemain
impor itu sehabis pertandingan.
Di kalangan pemain sendiri mereka tidak asing lagi. Mereka sudah
beberapa kali berjumpa dalam pertandingan. Ketika di King's Cup
di Bangkok Mei yang lalu (Indonesia diwakili Niac Mitra) mereka
tinggal di hotel yang sama. Sempat saling bertukar makanan yang
mereka bawa dari kota mereka masing-masing.
KAMI tidak mempersoalkan berapa Fandi dibayar, karena itu adalah
wewenang pemilik klub," ujar Budi Aswin dan Tommy Latuperissa.
"Yang kami pikirkan sekarang, bagaimana dapat bekerja sama
sebaik-baiknya dalam tim," tambah Budi Aswin.
Untuk menjalin kerja sama nampaknya tidak terlalu sulit, karena
seperti dikatakan pelatih Basri, kedua pemain itu bisa
mempergunakan bahasa Melayu yang juga bisa ditangkap anak
asuhannya. "Kalau kami mendatangkan pemain dari Eropa atau
negara Asia yang lain, komunikasi belum bisa dijamin."
Dari Niac Mitra Fandi memperoleh bayaran S$ 75.000/tahun atau
sekitar Rp 23 juta. Ditambah bonus 10% dari hasil pemasukan pada
setiap pertandingan. Kaki Bukit, klub amatir asal Fandi Ahmad
mendapat "uang isyarat iktikad baik" dari Niac sebesar S$5.000.
Keputusan Fandi untuk menerima tawaran klub yang berpangkalan di
Surabaya itu pekan lalu agak membikin tercengang para pecandu
bola. Karena dia sendiri sudah begitu bersemangat untuk menerima
tawaran dengan penghasilan yang sama besarnya dari klub tangguh,
Ayax, dari Negeri Belanda.
Tetapi Fandi yang menurut pengakuannya sendiri "sangat dekat
dengan keluarga" berbalik haluan begitu tawaran kontrak dari
Ayax itu masuk dalam sidang keluarganya sendiri yang terdiri
dari ayahnya, Ahmad Wartam, pamannya Ismail serta pelatih Usman.
Ditambah lagi dengan keberatan Persatuan Sepakbola Singapura
yang menganggap kontrak yang disodorkan Ayax itu mengandung
beberapa kelemahan. Misalnya tidak jelas apakah Fandi boleh atau
tidak memperkuat tim nasional Singapura. Dan kalau Fandi rindu
kampung, siapa yang membayar tiket pulang?
Dalam kontrak dengan Niac Mitra, soal kesempatan memperkuat tim
nasional Singapura nampaknya bisa diperoleh Fandi. Sebab dalam
sebuah upacara perpisahan di Singapura yang dihadiri para
pengurus bola negara itu, pemain berusia 20 tahun tadi berjanji
akan pulang untuk memperkuat tim nasional Singapura kalau memang
diperlukan.
FANDI sendiri melihat kesempatan untuk maju pesat terbuka dengan
memasuki Ayax. Tetapi dia bimbang untuk menghadapi kontrak yang
minimal berjangka 3 tahun. "Rasanya berat sekali, bisa bikin
susah," katanya.
Sedangkan keluarganya sendiri mengkhawatirkan Fandi akan
terganggu ibadatnya kalau tinggal di Negeri Belanda. "Sedangkan
tinggal di sini rasanya seperti di negeri sendiri. Datuk saya
yang laki-laki berasal dari Banyumas," kata Fandi menjelaskan
tentang kakeknya, Wartam.
Gaya permainan Fandi menurut pelatih Basri hampir sama dengan
Risdianto. Dalam latihan bersama anak-anak Niac Mitra, dia
kelihatan tidak begitu banyak berlari. Tapi sekali pemain yang
tingginya 172 cm dergan bobot 62 kg itu membawa bola, sulit
lawan menghadangnya.
Dengan penghasilan dari Niac Mitra dan kontrak promosi sepatu
olahraga converse buatan Amerika, Fandi Ahmad merupakan pemain
sepakbola terkaya yang dimiliki Singapura.
Sedangkan teman senegaranya David Lee memperoleh bayaran
S$50,000 atau sekitar Rp 16 juta. Anak tertua dari empat
bersaudara, putra pengusaha bis di Singapura itu selain bermain
bola, dulunya bekerja sebagai tukang gambar di biro teknik
dengan gaji sekitar Rp 250.000 sebulan. Ia memilih menjadi
pemain profesional karena keluarganya semuanya sudah jadi
pedagang.
Tinggi badannya 182 cm dan berat 72 kg. Wajah dan penampilan
David Lee simpatik. Ia suka tersenyum. Di Stadion Gelora 10
November, ketika Niac Mitra berhadapan dengan Tunas Inti, dia
cepat dikenal penonton karena untuk pertama kalinya kiper di
stadion itu tampil di bawah mistar dengan celana panjang. Waktu
tim Niac mau meninggalkan stadion banyak penggemar yang
menyalaminya sambil berteriak: "Hidup David!"
Ia aktif main bola setelah lulus sekolah menengah atas.
Sebelumnya dia main bulutangkis. Karirnya di sepakbola dimulai
sebagai penyerang. Tahun 1975 baru menjadi kiper. Tahun 1980 dia
dipercayakan menjadi kiper tim nasional Singapura.
Selain bahasa, pembawaan nampaknya menjadi penghalang komunikasi
pelatih asing dengan pemain lokal. Soalnya bisa saja sepele,
tapi menjengkelkan. Paul Cumming, 35 tahun, pelatih Indonesia
Muda kalau di lapangan gampang menyesuaikan diri dengan pemain.
Tapi di luar itu dia sulit diikuti. "Kalau sedang mengadakan
tour ke luar kota tak ada yang mau sekamar dengan dia. Gerutunya
dan ucapan-ucapannya yang rada sinis membuat anak-anak tak
tahan," cerita Haris, sekretaris IM.
Kabarnya, pernah semalaman Cumming mengejar-ngejar nyamuk sambil
menggerutu terus-menerus. Kita yang sekamar mana tahan, tambah
Haris. Sikapnya yang selalu sinis, menurut Haris, karena
pengalamannya yang tidak menyenangkan selama di Indonesia.
Antara lain pernah empat kali kecopetan. "Karena itu dia
kadang-kadang bersikap amat hati-hati dan sinis, terlebih-lebih
terhadap orang yang baru dikenalnya."
Cumming datang ke Indonesia atas rekomendasi pelatih kepala
PSSI, Mangindaan, ketika mereka berjumpa di Bangladesh. Dia
mulai melatih IM sejak Maret 1981. Pelatih asal Inggris ini
pernah mengikuti kursus pelatih yang diselenggarakan FIFA tahun
1977. Ia pernah melatih sebuah kesebelasan di Teheran. Hanya
setengah tahun ia berada di Iran, karena perang saudara yang
melanda negara itu. Dari situ dia meloncat ke Bangladesh. Tahun
1979 dia menjadi pelatih di Jordania. Dari sini dia terbang ke
Banda Aceh dan melatih Persiraja selama 4 bulan, sejak Oktober
1980.
"Kalau bisa saya akan tinggal di Indonesia selamanya," katanya.
"Karena melatih di sini lebih enak dibandingkan dengan negara
Asia lainnya. Intelegensia pemain Indonesia lebih tinggi
dibandingkan pemain Arab," katanya. Cuma katanya, pemain
Indonesia lemah dalam kerja sama.
Masih membujang. Dan kepingin bertemu jodoh dengan gadis
Indonesia. Karena, katanya, sudah tiga kali dia dikecewakan
cewek Inggris. Bayarannya sebulan US$1.500 atau sekitar Rp 1
juta. Di samping itu dia juga mendapat penghasilan tambahan
sebagai guru bahasa Inggris pada sebuah kursus bahasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini